Makasih banyak buat kalian yang udah nyempetin baca novel ini huhu.
Baca bab ini sambil dengerin lagu Your Eyes Tell - BTS yok
The gazing eyes are so colorful
You taught me
That someday the sadness will wind us togetherYour eyes tell
.
.
Solar menatap Akar serius. Ia masih cukup terkejut. Bagaimana bisa Akar punya fotonya? Tak ada respons apa pun dari lelaki itu, ia lalu menekannya lagi. "Lo mau pelet gue?"
Akar melongo. Bingung. "Hah?"
"Cowok Jakarta ternyata masih ada yang percaya sama kayak gituan ya." Solar melanjutkan manuvernya. "Atau lo orang yang bisa balik ke masa lalu. Makanya lo punya foto ini!" Ia mengucapkannya asal sembur saja.
Akar mematung bak arca. Dari mana juga Solar bisa berpikir seperti itu? Dia pasti terlalu banyak nonton film!
Solar menyipitkan matanya. Ia kemudian membayangkan adegan yang sering muncul di sinetron. "Masa gue amnesia? Ah, nggak mungkin. Gue nggak ada ngebentur tembok. Tabrakan sama gerobak penjual sayur juga nggak pernah." Ia memijat pelipisnya yang tiba-tiba jadi pening, lalu kembali mendelik pada Akar. "Cepet ngaku dari mana lo dapet foto gue! Kalau nggak, gue sumpahin lo jatuh cinta beneran sama gue!"
Bibir Akar masih kelu. Kenapa ia begitu ceroboh?
Solar memperhatikan mata Akar yang terus menatapnya itu. Ia mengenal mata itu. Pernah dilihatnya dulu ketika Akar memintanya bicara setelah insiden ciuman itu. Mata yang bercerita. "Mata lo itu, kayak yang mau ngomong sesuatu sama gue, tapi karena suatu hal lo lebih milih diam."
Jantung Akar berdegup kencang karena Solar yang menatapnya intens. Ia tidak ingin menyampaikannya sekarang. Waktunya kurang tepat. Ingin kabur, tapi tidak sanggup melakukannya. Mata itu seolah menarik seluruh medan gravitasinya. Sayangnya ia belum ingin terjebak lebih dalam lagi.
Solar merasa percuma saja memaksa Akar bicara. Ia tiba-tiba menunjuk padanya. "Jangan pikir gue bakal cinta juga sama lo, Jambu Mete. Gue nggak suka cowok jutek!"
Akar menggerutu. "Ambil aja fotonya. Nggak butuh juga." Ia buru-buru keluar ruangan daripada harus berhadapan dengan Solar yang omongannya semakin ngawur. Ia membuka pintu kuat-kuat. "Ck, hampir aja," lirihnya. Setelah itu berjalan menjauh dengan tergesa-gesa. Untuk sementara ia tidak akan berada di dekat Solar dulu.
Solar memperhatikan Akar sampai menghilang. Tadi ia agak tenang, tapi tiba-tiba sekarang jadi panik. Matanya kembali membesar. "Mampus gue! Dia beneran suka sama gue? Terus gue harus gimana? Aaakk!" Ia mengacak-acak rambutnya. Bukannya senang, tapi ada kengerian yang membuat bulu kuduknya naik. Akar sudah seperti penguntit misterius.
Solar berusaha mengingat hari itu. Ia sedang melihat-lihat di toko buku, tapi ia tidak ingat pernah bertemu Akar di sana. Ia yakin baru mengenal Akar di kantor ini. "Bodo amat. Sesuka dia mau suka gue atau nggak, yang penting gue nggak suka! Dasar laki nggak jelas!" Ia memilih melanjutkan tugas yang mesti rampung malam ini. Ia tidak sudi begadang seperti semalam tadi!
.
.
Solar sudah berhasil merampungkan 80 scene tepat pukul delapan malam. Perjuangan luar biasa yang ia lakukan seorang diri. Entah dari mana ia mendapatkan kekuatan. Ia menargetkan sejam lagi selesai, lalu dikumpulkan ke Ratu yang akan memeriksanya. Masalah nanti ada salah ketik, ia tidak peduli, biar Ratu yang membetulkannya. Yang penting ia sudah mengerjakan tugasnya. Ia sudah berpatokan pada catatan yang diberikan oleh Mas Mahmud, jadi seharusnya hasilnya bisa sesuai dengan yang Mas Mahmud inginkan. Catatan itu yang membantunya bisa mendapatkan ide.
Ratu memukul-mukul pembatas sekat di depannya untuk menarik perhatian Solar. "Woi, udah lo tagih belum ke Mbak Denok? Bilang jangan malam-malam kirimnya," serunya agak ketus.
Solar tidak peduli dengan gertakan itu dan tersenyum sinis. "Mbak Denok mana mau. Gue yang revisi sendiri."
Ratu langsung berdiri. Matanya pun membesar. "Gila lo. Yang capek kan lo sendiri!"
"Bodo amat, yang penting udah mau kelar." Solar menjulurkan lidahnya. Walaupun Ratu adalah supervisor, ia merasa tidak seharusnya Ratu menekannya terus. Jadi, ia akan selalu melawan balik.
Ratu mendengus kesal. "Lo mau gue laporin ke Bude?" Ia paling tidak senang dengan karyawan yang menyalahi prosedur kantor.
Nimas yang dari tadi mendengar percakapan mereka, jadi ikut senewen. "Tu, udah dong. Solar ada alasan kok kenapa dia mau ngerjain sendiri. Mbak Denok udah dibujuk baik-baik, dan diancam pedas sama aja. Lo ngertiin Solar dikit lah. Jangan ada ngadu-ngadu! Nggak bagus!"
Solar tidak menyangka Nimas membelanya. Padahal tadinya ia ingin mengatai Ratu sebagai tukang ngadu. Dalam hati, Solar bersyukur bahwa masih ada Nimas di sini. Yang lain sedang berada di luar.
Ratu kembali menggebrak meja. "Awas ya, kalau hasilnya jelek. Lo nggak boleh tidur sampai gue kelar baca naskahnya. Kalau masih berantakan, lo harus revisi."
Solar hanya mencebik, dan melanjutkan pekerjaannya. Ia melirik Nimas, dan mengucapkan terima kasih padanya sambil berbisik. Nimas tersenyum tipis.
Sejam berlalu, akhirnya naskah itu Solar kirimkan ke Ratu. "Kelar juga!"
Jo yang baru tiba di ruangan, langsung menawarkan sesuatu yang mungkin Solar butuhkan. "Solar, makan yok."
Solar berpikir sejenak. Sebenarnya ia ingin ke kosan, langsung tidur, tapi perutnya juga butuh diisi terlebih dahulu. "Boleh deh."
Jo memekik riang. "Nggak apa-apa ya cuma makan berdua?"
"Eh?" Solar kira mereka akan makan ramai-ramai. "Nimas sama yang lain nggak ikut?"
"Mas Jamal langsung diminta pulang sama istrinya karena anaknya masih sakit, Mbak Nim ada deadline malam ini, Akar dan Ratu bodo amat deh," Jo memutar matanya ketika mengucapkan kalimat terakhir.
Ratu yang mendengarnya mendelik tajam pada Jo dan Solar.
Solar terpingkal-pingkal mendengar jawaban terakhir Jo. "Ya udah, gue beres-beres dulu."
"Oke, gue tunggu di parkiran ya."
Solar mengangkat jempolnya. Ia segera melakukan apa yang diucapkannya tadi.
"Have fun ya, Solar," Nimas mengucapkannya setengah bercanda, dan menjulurkan lidahnya pada Solar.
Solar hanya tertawa. "Jangan cemburu, Nim."
"Ah, elo. Siapa juga yang cemburu? Jangan bikin gosip baru," protes Nimas sembari memanyunkan bibirnya.
Solar terkekeh-kekeh melihat Nimas yang pura-pura marah. "Gue duluan ya, Nim. Jangan lupa pulang ke kosan."
"Ye."
Solar segera menyusul Jo. Ia tidak sabar untuk makan.
Sementara itu dari tempat duduknya, Ratu memperhatikan Nimas yang sejak tadi tidak mengajaknya bicara. Tidak ada yang mengajaknya makan. Akar belum ada merespons pesannya. Kalau sudah malam begini yang waktunya agak bebas, Akar selalu menghilang entah ke mana. Akhir-akhir ini ia terlalu sering marah. Sehari saja ia ingin hidup tenang, tapi Solar selalu membuatnya emosi. Hanya, ia menyadarinya, teman-temannya mulai menjauh darinya.
Sebenarnya Ratu nggak jahat, dia cuma emosian wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]
General FictionEND [TERINSPIRASI DARI KISAH NYATA] . . Gimana rasanya punya bos yang kalau kita bikin kesalahan dikit, langsung minta kita resign? Solar (28) awalnya terkejut, baru sehari bekerja di divisi Creative production house yang memproduksi sinetron itu, i...