Selamat membaca, mudah-mudahan nggak bosen ada di rumah terus ya
.
.
Solar tiba di kantor pukul sepuluh pagi. Sesuai dugaannya, belum ada yang datang. Ia hendak duduk, tapi keheranan karena ada tas di kursinya. "Punya siapa nih?"
Solar merasa tempat duduk ini sudah diamanatkan Bu Dewa padanya. Ia pun memindahkan tas itu ke meja di sebelah yang tidak memiliki kursi. Ruangan creative hanya memiliki sekat pembatas di bagian depan, tidak ada batas apa pun antara mereka yang duduk bersebelahan. Jumlah kursinya ada enam, padahal mejanya ada tujuh.
Solar agak was was karena tidak paham alasan Bu Dewa ingin bicara dengannya. "Bu Dewa kenapa sampe nelpon gue dua puluh kali ya? Ngalahin rekor Papa yang pernah nelepon sepuluh kali."
Tiba-tiba saja pintu ruangan creative terbuka dan menunjukkan sosok yang Solar tak kenali. Dalam beberapa detik sosok itu masuk ke dalam memorinya. Lelaki itu menjulang tinggi, Solar hanya sepantaran bahunya. Rambutnya diikat cepol ke atas. Bentuk matanya kecil, dan meruncing di ujung. Sorot matanya dingin, seperti sedang marah padanya.
"Lo siapa?" Oh, lelaki itu memang marah pada Solar.
Solar seketika terkesima dengan suara bass yang dikeluarkan lelaki itu. Ia ingin mendengar suaranya lebih lama, jadi ia balik bertanya, "Lo siapa?"
Lelaki itu tidak memedulikan pertanyaan Solar. "Itu tempat duduk gue."
"Gue duduk di sini kemarin," Solar tak mau kalah.
"Tapi dari dulu, itu punya gue," lelaki itu juga semakin ngotot.
Solar mengerjap. Sepertinya ia tidak bisa mempertahankan keinginannya. Ia hendak pindah.
"Lo di sana aja."
Solar memperhatikan lelaki itu keluar dari ruangan. Beberapa detik kemudian kembali sembari menyeret kursi lain, lalu meletakkannya di sebelah Solar, setalah itu dia duduk tenang.
Solar melirik rambut cepol yang kemarin sering disebutkan Ratu. "Lo Akar ya?"
"Hm. Jadi, lo yang namanya Solar?" Akar sudah melihat nama Solar di grup WhatsApp.
Solar mencoba beramah-tamah dengan Akar yang sibuk merogoh sesuatu dari tas. "Iya. Lo pasti langsung mikirin BBM pas denger nama gue."
Akar melirik Solar seraya tersenyum tipis. "Nggak lah, nama lo artinya matahari, kan? Matahari bisa bikin akar tumbuh jadi pohon."
Solar terdiam sesaat. Kemudian, ia ikut tersenyum. Entah kenapa ia suka dengan perumpaan itu. Matahari bisa membuat akar tumbuh jadi pohon. Terdengar romantis. Ia memperhatikan Akar mengambil sebuah novel. Jarang-jarang ia melihat cowok keren membaca novel. Ia melirik judul novel tersebut. Mulutnya langsung menganga.
"Wih, udah ada orang ternyata!"
Solar tersentak ketika mendengar suara lain yang menggelegar. Berbeda dengan Akar, suara lelaki ini jauh lebih nyaring; menunjukkan kalau dia lelaki yang berisik. Di kepala lelaki berambut putih tipis itu terpasang headphone yang Solar tahu harganya mencapai jutaan. Dia kemungkinan seorang music freak.
"Hai, Solar!" Lelaki itu menawarkan tangan pada Solar untuk berjabat.
Solar menerima sambutan itu antusias. Ia terkesima melihat tato di sekujur tangan kanan lelaki itu. Menurutnya lelaki yang memiliki tato sangat unik. Apalagi diperlihatkan terangan-terangan. Artinya dia punya kepercayaan diri selangit. Ditambah garis bawah wajahnya yang dipenuhi rambut tipis. Terlihat manly sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]
General FictionEND [TERINSPIRASI DARI KISAH NYATA] . . Gimana rasanya punya bos yang kalau kita bikin kesalahan dikit, langsung minta kita resign? Solar (28) awalnya terkejut, baru sehari bekerja di divisi Creative production house yang memproduksi sinetron itu, i...