Pagiii. Aku update hari ini yaaa. Selamat membacaaa
.
.Hari ini kantor tampak lebih sepi karena ketidakhadiran Akar. Semuanya sedang sibuk dengan pekerjaan yang sedang menumpuk. Beberapa di antara mereka ada yang memegang tiga program yang tengah tayang di televisi.
Sedangkan Solar belum diberikan program baru karena ia sudah punya kesibukan lain. Ia tengah mengerjakan pohon konflik untuk serial Emak, Tunggu Aku yang sebenarnya masih belum jelas akan diajukan atau tidak. Pengerjaan pohon konflik itu sempat tersendat karena banyak hal. Ia turuti saja permintaan Bu Dewa, walaupun ia sendiri tidak tahu pihak penerbit sudah memberikan izin atau belum.
Bu Dewa masih saja ngotot mengajukan novel kesukaannya untuk dijadikan sinetron. "Padahal ceritanya biasa aja," ungkap Solar. Karena sudah menjadi tugasnya, ia pun mengikuti saja perintah bosnya itu.
Sedang asyik berkutat dengan laptop, Solar menerima pesan dari Mas Mahmud. Ia membaca pesan itu malas-malasan. Naskah kemarin kan sudah disyutingkan, harusnya tidak ada masalah lagi soal itu.
Ke ruangan gue sekarang. GPL.
Solar mengernyit. Iya pikir singkatan GPL sudah terlupakan, tapi ternyata masih ada yang menggunakannya. Ah, biarkan saja. Yang penting ia tahu maksudnya apa. Ia pun keluar dari ruangan, menuruti permintaan Mas Mahmud karena bagaimana pun juga dia adalah bos di sini. Mudah-mudahan Mas Mahmud tidak membuat mood-nya jadi buruk.
.
.
Solar berada di hadapan Mas Mahmud. Ia baru kali pertama memasuki ruangannya, dan nyaris ingin bersin karena wanginya yang begitu tajam.
Mas Mahmud tidak berbasa-basi. Ia langsung menyodorkan sebuah naskah padanya. "BBM, jawab yang jujur. Ini lo yang kerjain atau Denok?"
Solar tersentak naskah itu kembali dibahas padahal seingatnya tim produksi sudah melaksanakan syuting. Jadi, harusnya tidak ada masalah apa-apa. "Naskahnya kenapa, Mas?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Jawab pertanyaan gue!"
Solar terdiam sesaat. Akhirnya ia jujur saja daripada ada ledakan yang kedua. "Itu gue yang revisi, Mas."
"Udah gue duga. Denok nggak mungkin nulis lumayan rapi begini, dan nurutin catatan dari meeting kemarin." Mas Mahmud menatap tajam Solar. "Kenapa lo nggak maksa Denok buat revisi?"
Solar sebenarnya tidak ingin mengingat kejadian menjengkelkan itu lagi. "Gue udah nurutin saran, Mas. Eh, Bu Dewa malah ngebela Mbak Denok."
"Emang ngaco Dewa! Lain kali jangan mau disuruh ngerjain kerjaannya penulis, soalnya lo nggak akan dapat apa-apa. Uangnya ke penulis semua. Paham?"
Solar hanya mengangguk, tidak mengerti Mas Mahmud sedang marah pada dirinya atau Bu Dewa. Ketika mengerjakan revisi itu ia tidak memikirkan soal uang. Ia hanya ingin menuntaskan kewajibannya.
"Ikut gue."
Mas Mahmud keluar dari ruangan, dan Solar pun mengekorinya. Ternyata Mas Mahmud berkunjung ke bangsal creative. Ia menghampiri meja Bu Dewa, lalu melempar naskah yang dibawanya sampai membuat Bu Dewa berjengit. "Dewa, lo kalau kerja pakai otak dikit. Jangan mentang-mentang temenan sama Denok, lo jadi nyusahin anak buah lo!"
"Kamu kenapa sih, Mud?" Bu Dewa terpancing emosinya.
Pertengkaran produser dan head creative ini menjadi tontonan gratis penghuni ruangan.
"Waduh, kenapa gue dijadiin bahan adu domba?" Solar merasa dijebak oleh Mas Mahmud yang memanfaatkan celah ini untuk menyerang Bu Dewa. Ia pun duduk gelisah di bangkunya sendiri sembari berharap pertengkaran itu segera disudahi. "Ah, gue bakal makin susah minta izin ke Korea sama Bu Dewa," lirihnya.
"Lo tahu nggak Solar yang revisi naskah Denok? Harusnya Denok yang ngerjain kewajibannya!" Mas Mahmud masih melanjutkan manuvernya. Sudah lama sekali ia menunggu kesempatan untuk memojokkan Bu Dewa.
Bu Dewa mendelik ke Solar, lalu fokus lagi pada Mas Mahmud. "Ya udah, naskahnya udah kelar. Terus masalahnya apa?" Seperti biasa Bu Dewa paling tidak sudi mengakui kesalahannya sendiri.
"Gue nggak akan mau syuting pakai naskah Denok. Penulis nggak kooperatif kayak dia suruh nguras kamar mandinya sendiri aja! Awas lo ya, jangan nerima pengajuan naskah dari Denok lagi!" Mas Mahmud mengeluarkan ancaman yang serius. Kali ini ia tidak mau dibantah. "Mentang-mentang Denok temen lo, lo nggak bisa seenaknya kayak Dewa. Nama lo Dewa, tapi lo bukan Dewa!"
Bu Dewa kembali mengembalikkan kalimat Mas Mahmud. "Denok cuma nulis FTV, bukan series. Kamu yang terlalu berlebihan, Mud!"
"Mau FTV, mau series kek, gue nggak mau ngurusin naskah Denok lagi. Lo juga pikiran lah nasib anak buah lo. Jangan jadi bos yang bisanya nyusahin anak buah dong! Lo harus lebih peka." Mas Mahmud keluar dari ruangan tanpa menunggu respons Bu Dewa.
Bu Dewa kemudian langsung memberikan perhitungan pada Solar. "Kamu ngaduin saya ke Mahmud?" Ia mengeluarkan pelototannya yang khas.
Solar sudah menduga hal ini akan terjadi. Ia mengembuskan napas kuat-kuat. Rasa-rasanya ia sudah kebal diomeli seperti ini. Ia tidak peduli Bu Dewa mau bicara apa. Ia pun membalasnya tanpa kenal takut. Ia rasa ia berhak menyampaikan isi hatinya pada bos. "Kalau saya bilang nggak, Ibu bakalan tetap omelin saya, kan?"
Bu Dewa mencoba menahan amarahnya. Baru kali ini Solar bersikap acuh tak acuh seperti itu. "Ini ya sifat asli kamu. Hari ini saya masih baik, tapi nggak tahu ya kalau besok." Ia lalu mengalihkan pandangannya ke Ratu sembari memelotot. "Ratu, tolong bicara sama Solar. Kalau saya bawa dia ke ruangan sebelah, bisa-bisa saya langsung mecat dia." Ia kemudian keluar dari ruangan untuk menjernihkan pikirannya. Kedatangan Mahmud berhasil membuat harinya ini jadi lebih buruk.
"Jih, kenapa nggak langsung pecat gue aja," bisik Solar yang sudah kebal dengan berbagai ancaman yang diberikan Bu Dewa. Ia sudah siap dengan segala konsekuensinya. Memangnya siapa yang suka diancam resign terus? Padahal ia juga sudah berusaha keras bekerja dengan benar. Ia tidak ada melakukan pelanggaran berat. Masuk ke kantor tepat pada waktunya. Kadang ia bingung, memangnya ia sesalah itu?
Ratu langsung melaksanakan apa yang Bu Dewa perintahkan. "Ikut gue. Buruan." Ia keluar dari ruangan duluan, diikuti oleh Solar yang malas-malasan.
Sebelum itu, Nimas menarik tangan Solar. Ia menunjukkan wajah khawatirnya. Baru saja diomongi kemarin, lagi-lagi ada masalah baru. Harusnya hal ini tidak perlu terjadi, tapi selama Mas Mahmud dan Bu Dewa tidak pernah akur maka akan terus berlangsung. "Solar, kalau nanti Ratu neriak-neriakin lo, lo jangan masukin ke hati ya." Ia sudah tahu betul kebiasaan Ratu saat menginterogasi orang.
Solar tersenyum tipis. "Iya, santai aja. Ratu sih nggak ada apa-apanya buat gue." Ia pun keluar dari ruangan untuk berhadapan dengan supervisornya yang hobi marah itu. Ia tidak akan kalah dari miniatur-nya Bu Dewa. Lagi pula ini bukan yang pertama.
Jadi, siapa yang bakal menang nih haha
KAMU SEDANG MEMBACA
Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]
General FictionEND [TERINSPIRASI DARI KISAH NYATA] . . Gimana rasanya punya bos yang kalau kita bikin kesalahan dikit, langsung minta kita resign? Solar (28) awalnya terkejut, baru sehari bekerja di divisi Creative production house yang memproduksi sinetron itu, i...