Halooo jumpa lagi dengan cerita Solar. Makasih buat yang nyediain waktu buat berkunjung. Ceritanya semakin mendekati akhir btw wkwk. Oke dah, selamat membaca.
.
.Di dalam perjalanan Nimas terus menangis, sampai harus beberapa kali ditenangkan oleh Jo dan Solar.
"Mbak Nim, jangan sedih dong," hibur Jo sembari mengusap-usap bahu Nimas. Ia juga menghapus air mata Nimas menggunakan tisu.
Namun, Nimas masih kesulitan membendung air matanya. "Gimana nggak sedih Jo? Akar sayang banget sama ibunya. Dia udah mati-matian usaha biar ibunya bisa sembuh. Ayahnya udah meninggal pas dia kuliah, sekarang Akar tinggal sendirian."
Mas Jamal yang tengah menyetir mobil ikut merasakan kepedihan yang sama. Maka dari itu ia tidak pikir panjang langsung mengajak rekan-rekannya ke Bogor untuk melayat. "Tapi nanti usahain jangan nangis di depan Akar. Jangan ngebuat dia tambah sedih."
Solar baru menyadari jika Ratu tidak ada. "Mas, Ratu ke mana?"
"Tadi gue telepon nggak ada respons. Mungkin masih tidur. Gue kirim pesan aja biar dia langsung ke Bogor."
"Kalau Bude?" tanya Jo karena tadi ia belum sempat melihat Bu Dewa di kantor.
"Tenang aja, udah gue kabarin. Mungkin dia bakal nyusul sama Pak Bakar."
Solar yakin Ratu sudah berada di samping Akar. Ia juga berusaha menguatkan diri karena kehilangan ibu bukanlah hal yang asing baginya. Mungkin kepahitan itu akan kembali menghampirinya saat melihat orang-orang berpakaian serbahitam berkumpul. Warna yang begitu gelap, serta kesendirian yang seharian membuatnya menggigil. Apakah sekarang Akar tengah merasakannya juga?
.
.
Tim creative PH Cahaya Gemilang tiba di kediaman Akar di belakang kampus IPB Baranang Siang. Solar akhirnya paham mengapa Akar bisa berada di toko buku yang ada di fotonya itu. Toko buku tersebut jaraknya hanya satu kilometer dari sini. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa Akar memotretnya?
Namun, hal itu mungkin tidak akan bisa Solar ketahui sekarang. Hatinya seketika membeku melihat Akar yang terduduk di sebelah jenazah ibunya yang tertutup kain. Ada beberapa orang yang berada di sampingnya. Sepertinya mereka adalah saudara Akar. Tidak ada air mata yang ditunjukkannya, tapi sorotnya terlihat begitu kosong.
Akar langsung berdiri ketika menyadari kehadiran teman-temannya.
Nimas tidak sanggup melakukan hal yang Mas Jamal minta. Ia memeluk Akar erat-erat sambil tersedu-sedan. "Akar, yang sabar ya. Yang kuat ya," ujarnya sesenggukan.
Akar hanya mengangguk seraya tersenyum tipis. Ia mengusap air mata Nimas. "Jangan sedih."
Nimas malah semakin menangis. Ia mundur untuk memberikan kesempatan pada yang lain untuk menyampaikan belasungkawa.
Mas Jamal dan Jo memeluk Akar singkat.
Sekarang giliran Solar yang maju. Ia tidak yakin dengan hal ini. Ingin memeluknya juga, tapi kakinya tiba-tiba terasa berat. Mungkin akan lebih baik jika ia bersuara terlebih dahulu. "Gue turut berduka cita, Kar."
Akar menunjukkan senyuman tipisnya. "Makasih."
Solar masih berdiri di tempat yang sama, menatap Akar agak lama. Keraguan itu masih ada, tapi ia masih punya niat untuk memeluk Akar. Pelukan untuk orang yang kehilangan itu katanya menyembuhkan.
Akar tersentak dilihat seperti itu. Ia tidak tahu apa yang Solar rencanakan, tapi ia paham Solar sedang membacanya.
"Bara!" Namun suara Ratu yang kencang itu membuat rencana Solar gagal total.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]
General FictionEND [TERINSPIRASI DARI KISAH NYATA] . . Gimana rasanya punya bos yang kalau kita bikin kesalahan dikit, langsung minta kita resign? Solar (28) awalnya terkejut, baru sehari bekerja di divisi Creative production house yang memproduksi sinetron itu, i...