Bab 32

1.6K 319 22
                                    

Halooo udah sampai bab 32 aja. Nggak kerasa ya haha. Thanks buat kalian yang udah baca cerita Solar. Selamat membaca chapter baru ya 🤗🤗
.
.

Pagi menjelang siang, Solar dan Nimas janji bertemu di taman belakang kantor. Mereka sudah absen dan menaruh tas, jadi jika Bu Dewa sudah datang pun mereka akan tetap aman.

Nimas sebenarnya tidak menyangka Solar ingin bicara dengannya. "Lo mau ngomongin apa, Solar?"

Solar enggan berbasa-basi. Ia mengambil foto, lalu menunjukannya ke Nimas. "Gue mau bicarain ini."

Nimas membelalak. "Beneran foto lo ya?"

Solar merasa ada yang janggal dari ucapan Nimas. "Lo pernah lihat?"

Nimas mengangguk cepat. "Nggak sengaja lihat di novelnya Akar. Ratu juga tahu foto ini."

Solar seketika melongo. Ia sekarang tahu masalahnya di mana. "Pantesan aja Ratu senewen banget sama gue." Ratu mengetahui Akar diam-diam menyimpan foto dan pernah menciumnya.

"Terus kenapa foto lo bisa ada di Akar?" Nimas berharap mendapatkan jawabannya sekarang karena Akar masih bungkam soal itu.

Solar merasa Nimas salah alamat. "Lah, mana gue tahu, Nim. Gue ngajak lo bicara berdua karena mau nanya soal ini. Kemarin Akar nggak sengaja jatuhin fotonya di dekat gue."

Solar bingung, Nimas jauh lebih bingung.

Nimas kemudian memberikan saran yang cukup jitu. "Lo harus tanya langsung ke Akar."

Bahu Solar serta merta loyo. Itu bukan saran yang bagus karena sejujurnya ia sudah malas berurusan dengan Akar. "Kemarin gue sumpah-sumpahin dia biar ngaku, tetap aja dia nggak mau ngasih tahu."

Nimas tertawa melihat ekspresi kesal Solar yang kocak. Ia merengkuh bahu Solar kuat-kuat. "Gue dukung lo sama Akar."

Solar seketika merinding bak mendapatkan doa buruk. "Nggak mau ah. Ngeri, Nim."

"Lo jangan gitu. Akar memang nggak seramah Jo, tapi dia sebenarnya mau ngebantu tanpa pamrih." Nimas lalu mengingat segala kebaikan yang pernah Akar lakukan padanya. "Waktu gue sakit sendirian di kos, Akar mau nganterin ke puskesmas terdekat. Dia nemenin gue nebus obat yang antrinya sampai dua jam. Dibandingkan Jo, Akar itu sosok yang sabar dan jarang ngeluh." Pipinya lalu bersemu merah. "Terus sekarang Akar tuh cowok paling ganteng di ruangan. Kalau aja dia punya kharisma kayak Mas Surya, mungkin mereka bakal kelihatan seimbang."

Solar punya alasan tersendiri dalam menilai Akar. Menurutnya attitude lebih penting. "Dia memang sempat ngebela gue. Tapi sindiran-sindirannya itu bikin gondok. Dia kayak yang kepengaruh sama Ratu. Dasar bucin."

Nimas pun memutuskan menyampaikan hal ini walaupun sebenarnya tidak punya hak untuk itu. "Akar biasa aja sama Ratu. Yang bucin cuma Ratu."

Solar tidak percaya sepenuhnya kata-kata Nimas. "Masa?" Ia butuh penjelasan lebih karena dua orang itu ke mana-mana selalu berdua. "Kemarin meeting sampai habis subuh, Akar bela-belain ngejemput Ratu."

"Ah itu udah biasa. Akar punya agenda sama Ratu. Ratu bahkan nyadar dimanfaatin, jadi dia balik memanfaatkan."

Kepala Solar bak dipenuhi oleh kunang-kunang. "Maksudnya?"

"Ratu punya gaji paling besar di antara kita-kita yang jadi officer. Ibunya Akar sakit keras, dan masih dirawat di rumah sakit. Gaji Akar mana cukup buat nutupin itu semua? Makanya mau nggak mau Akar nerima bantuan Ratu, tapi jadinya dia malah nggak bisa lepas dari Ratu. Butuh karena uangnya. Tapi Akar bukan orang jahat yang pergi begitu aja, jadi kalau Ratu minta ini dan itu, Akar turutin."

"Jadi, dia begitu demi ibunya." Saat itu pula Solar menyadari bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang Akar. Boleh jadi ia kesal, tapi ia tidak pernah tahu apa yang rekan kerjanya itu sudah lalui selama ini. Tiba-tiba saja wajahnya berubah sendu. Untuk ke depannya, ia akan mencoba lebih memahami Akar.

Nimas kemudian tersenyum. "Sebenarnya gue seneng banget pas tahu Akar ada cium lo. Gue pikir ada harapan Akar lepas dari Ratu. Soalnya Ratu makin ke sini, makin menggelikan. Padahal dulu Ratu normal-normal aja."

Solar mendengus kesal. "Ya, kalau Akar mau lepas dari Ratu, tinggal bayar utangnya, bukan memanfaatkan gue. Terus sampai kapan hubungan gue sama Ratu jadi kayak anjing dan kucing begini? Padahal gue nggak ada benci dia."

"Sabar ya. Ratu orangnya memang kayak gitu. Kantor ini punya karyawan yang sifatnya beragam." Gara-gara mengingat Akar, Nimas memasang ekspresi sedih. "Gue juga pengin bantu Akar, tapi gaji gue jauh di bawah Ratu. Besarnya sama kayak nulis satu FTV."

Seketika Solar mendelik. "Seriusan? Kok gaji kita sama?"

Nimas tersenyum getir. "Gue udah dua tahun di sini, tapi naik gaji di Cahaya Gemilang nggak semudah yang lo bayangkan. Mana nggak ada uang lembur juga. Kelebihannya mereka bakal kasih bonus kalau kita megang program yang sukses. Tapi acara yang share-nya bagus pun bisa dihitung jari."

Solar merasa menjadi manusia paling sial sedunia. "Jadi, cita-cita gue tepat ya, gue pengin jadi penulis naskah film. Uang penulis jauh lebih banyak dari creative kayak kita gini."

"Tepat sekali. Jadi, selamat berjuang ya Solar. Nggak masalah kok mulai dari bawah dulu. Jadi, lo bisa menikmati segala pemandangan indah dan buruk selama menuju ke atas."

"Wes, bisa juga kata-kata lo," Solar tertawa, diikuti oleh Nimas yang geli dengan kalimatnya sendiri.

"Gue juga lagi nyemangatin diri gue, tahu."

Solar terkekeh-kekeh. "Eh, makasih banget kemarin ngebela gue di depan Ratu."

Nimas tersenyum kecil. Ia memasang wajah sedih. "Setiap ada rekan kerja gue yang kena omel Bude, gue cuma bisa ngelihat. Gue nggak bisa ngebela mereka di depan Bude, jadi gue sering ngerasa bersalah. Kemarin Ratu terlalu nekan lo, mumpung dia temen baik gue, gue harus maju sebelum dia tambah semena-mena."

"Tapi seenggaknya lo pasti ada ngehibur mereka, kan?"

Nimas mengangguk pelan. "Cuma itu yang bisa gue lakukan."

Solar menatap gedung lantai dua di depannya. Entah sampai kapan ia akan bertahan di kantor yang memiliki kekacauannya sendiri. Kalau ia pindah ke kantor lain, belum tentu juga akan lebih baik. Setiap kantor pasti memiliki kebusukannya masing-masing. Yang ia bisa lakukan sekarang hanyalah jangan sampai ikut membusuk.

"Gue jadi penasaran deh. Lo sebenarnya suka sama Akar atau Jo sih?"

Pertanyaan Nimas yang terlalu mendadak itu membuat Solar blank karena ia tidak punya persiapan apa-apa. Kalau boleh jujur ia sekarang malah bingung. "Nggak tahu, deh. Pusing mikirin mereka berdua. Gue fokus sama karir gue aja." Solar lalu membalikannya pada Nimas. "Lo sendiri pasti ada yang disuka kan di ruangan?"

Nimas mendorong Solar kuat-kuat sampai hampir terjengkang dari kursi. "Sok tahu lo!"

"Aduh, santai, Nim!" Solar tertawa geli.

"Pertamax, Nimas!" pekik Mas Jamal yang menghampiri mereka tergopoh-gopoh seperti orang yang sedang dikejar sesuatu. "Gue nelepon kalian kenapa nggak diangkat?"

"Ponsel kita di-silent, Mas."

"Kenapa, Mas?"

Mas Jamal berusaha mengatur napasnya yang memburu. "Ayo, naik mobil gue. Kita ke Bogor sekarang. Ibunya Akar meninggal."

Solar dan Nimas bergegas menuruti ajakan Mas Jamal.

Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang