Haloo, makasih udah nungguin cerita ini ya. Punya temen kantor yang emosian merepotkan ya, apalagi kalau ada masalah percintaan juga haha 😆😆. Untungnya masih ada temen yang baik sih, jadi nggak bikin stres-stres amat. 💃
Selamat membaca kisah Solar.
.
.
Solar dan Jo makan bersama di kedai pecel ayam yang berada di belakang kantor. Kedai itu biasanya selalu ramai saat malam begini, tapi untungnya mereka sempat mendapatkan kursi kosong.
"Jo, gue balik sejam lagi ya," Solar mengingatkan teman makannya itu.
Jo mengangguk pasti. "Iya, santai aja." Ia mengerti Solar butuh istirahat setelah melalui hari yang berat sejak kemarin.
Mereka memesan makanan dan harus menunggu pesanan yang sedang disiapkan. Di saat itu, Solar sebenarnya masih kepikiran tentang fotonya yang disimpan Akar. Ia ingin menceritakannya pada Jo, tapi hatinya masih ragu. Rasanya tidak tepat membicarakan Akar pada Jo. Soalnya Jo dan Akar tidak begitu akrab. Walaupun Jo orangnya ramah, Solar merasa butuh waktu lagi untuk menjadikan Jo sebagai teman curhatnya di masalah yang cukup pribadi.
"Hari ini keren banget ya lo. Nginep di kantor, terus ngerevisi naskah yang harusnya jadi tugas penulis," puji Jo sungguh-sungguh. Ia seumur-umur belum pernah mengerjakan naskah 90 scene seorang diri. Itu hal yang sangat merepotkan, terlebih jika deadline yang diberikan tidak manusiawi.
Solar mengembuskan napas kuat-kuat. Ia tidak merasa dirinya hebat. "Nyaris gila gue hari ini. Mana Bude mengancam gue resign lagi. Salah gue juga sih main nelen mentah-mentah perintahnya Mas Mahmud." Ia berdoa semoga saja nanti tidak diberikan tugas mengurusi naskahnya Mbak Denok. Mbak Denok tidak hanya membuatnya mengerjakan naskah yang seharusnya menjadi tugas penulis. Penulis sombong itu juga membuat hubungannya dengan Bu Dewa semakin runyam.
"Perintah apa?" tanya Jo yang belum tahu soal itu.
"Gue disaranin Mas Mahmud buat keluarin ancaman ke Mbak Denok kalau dia susah diatur lagi. Eh, ternyata Mbak Denok ngadu ke Bude." Kalau mengingat kejadian siang tadi, Solar rasanya ingin segera minggat dari kantor. Ia juga bisa down jika terlalu sering diminta resign begitu. "Sekali lagi dia nyuruh gue resign, gue bakalan beneran melakukannya."
"Jangan gitu dong," Jo melayangkan protes. Nadanya terdengar kecewa. "Lo kan baru mulai di sini. Jangan nyerah ya."
Solar meragukan dirinya sendiri. "Nggak tahu deh. Gue ngerasa apa yang gue kerjain selalu salah di mata bos. Dari awal gue udah susah mengambil hati Bude." Ia juga mengingat hubungannya dengan yang lain. "Mana supervisor kita galak banget sama gue. Bukan nggak mungkin kan Ratu jelek-jelekin gue di depan Bude? Kayaknya gue nggak akan tahan sampai setahun di kantor itu."
Jo menatap Solar lekat-lekat. Ia sangat mengenal rasa putus asa itu. Dulu, ia pernah merasakannya juga. "Gue boleh tahu alasan lo mau kerja di PH Cahaya Gemilang?" Ia berusaha mengingatkan Solar akan tujuannya.
"Sebenarnya karena gue pengin jadi penulis naskah film. Gue berharap dengan masuk ke PH, gue jadi tahu cara kerjanya gimana. Gue nggak masalah sama jam kerja-nya yang fleksibel. Cuma Bude yang gue nggak suka."
Jo tertawa getir. "Bener banget. Kalau aja bos kita Mas Surya, ceritanya pasti bakal beda."
"Dan alasan gue milih PH Cahaya Gemilang karena waktu itu ada Mas Fikar dari HRD nawarin kerjaan lewat aplikasi kerja Linklit."
"Oh ya?" Jo menganggap hal itu adalah lumrah. "Memang HRD sering cari calon karyawan di sana. Habisnya creative paling sering keluar-masuk kan karyawannya."
Solar terbahak-bahak. "Tapi gue salut sih sama kalian yang milih bertahan. Udah pada kerja di kantor lebih dari setahun, kan?"
Jo mengangguk. "Motivasi gue sih bukan Bude, tapi orangtua dan dia." Ia tersenyum sembari menatap Solar lekat-lekat.
Solar balik menatap Jo. Lelaki di depannya ini ramah, kocak, dan bisa diandalkan. Wajar saja jantungnya berdegup kencang. Berbeda sekali dibandingkan ketika ia menemukan fotonya yang terselip di buku Akar. Ia jadi teringat pesan Mas Surya yang meminta pada Jo untuk jujur pada seseorang. Mungkinkah.... Tiba-tiba saja rasa penasarannya meningkat tajam. "Siapa itu dia?" ujarnya dengan nada usil.
"Ada deh. Nanti juga lo tahu. Sekarang bukan waktu yang tepat buat ngebocorinnya." Jo tersenyum malu, dan fokus ke ponselnya.
Solar mengikuti permainan yang dilakukan Jo. "Oke, gue udah biasa nunggu."
Kedua alis Jo naik. Senyumannya semakin lebar saja. "Nungguin apa?"
Solar menoleh ke pelayan yang membawa makanan mereka. "Nungguin apa saja, salah satunya pesanan kita yang akhirnya datang juga."
Mereka pun memutuskan menyantap hidangan sembari membicarakan hal-hal tidak jelas. Semakin random, entah mengapai semakin asyik membicarakannya. Solar selalu menikmati obrolannya dengan Jo yang mengalir seperti air ini.
.
.
Solar lega karena pukul sepuluh malam sudah bisa tiba di kosan. Ia ingin segera mandi, lalu tidur. Naskah yang sudah direvisi juga sepertinya tidak ada masalah karena ia baru saja melihat kemunculan notifikasi dari Ratu yang sudah mengirimkan naskah final ke Mas Mahmud, Bu Dewa, dan sutradara. Itu artinya naskah tersebut sudah bisa digunakan untuk syuting.
Lalu, Solar masih kepikiran dengan Jo yang tadi terang-terangan menyukai seseorang, tapi enggan menyebutkan namanya. "Emang bisaan tuh cowok," ujarnya geli. Ia benar-benar menunggu hari itu tiba dengan perasaan yang berdebar-debar.
Ada lagi yang masih mengganggu pikiran Solar, yaitu Akar yang menyimpan fotonya. Jelas saja ia ingin tahu mengapa Akar melakukannya. Ia rasa tidak memiliki foto itu di media sosial mana pun. Kemungkinan Akar yang mengambil fotonya sendiri. Alasan mengapa Akar mengambilnya yang sangat ingin Solar tahu. "Gue pengin cerita deh, tapi sama siapa ya? Mas Jamal nggak paham soal beginian, Ratu nggak mungkin lah, tinggal Nimas kalau begitu."
Besok, Solar akan mencoba membuka masalahnya sama Nimas. Jadi, sekarang ia menghubungi Nimas untuk menyampaikan niatnya itu.
.
.
Setelah mengantar Solar ke kosannya, Jo mampir ke kosan Akar. Ia sudah menunggu sekitar 30 menit di gang itu. Memutuskan berada di tempat yang sama sampai yang dicarinya datang.
Akar tiba dengan motornya. Ia langsung turun ketika melihat Jo. "Ngapain lo di sini?"
Jo memasang wajah galak. Ia ucapkan saja yang ingin disampaikannya. "Gue nggak peduli lo bikin bingung Ratu, tapi buat Solar gue nggak akan diam."
Akar mengira Solar mungkin sudah bicara sama Jo. Seperti biasa ia memasang ekspresi tidak tertarik. "Nggak jelas lo."
"Lo yang nggak jelas! Kadang lo jahat sama Solar, kadang lo ramah sampai minjemin selimut yang dulu pengin gue pinjam aja nggak boleh."
Akar langsung mengerti maksud Jo. Ia balik menyerangnya. "Kenapa lo sampai segininya? Lo suka sama Solar?"
"Bukan urusan lo." Jo mendekatkan diri pada Akar biar wajah marahnya terlihat. "Pokoknya kalau ada apa-apa sama Solar, gue bakal maju duluan."
Dari ekspresinya, Akar tahu Jo sedang serius. Ia kemudian memperhatikan Jo yang pergi tanpa pamit. Ia juga tidak ingin membuat Solar bingung, tapi menjelaskannya pada siapa pun percuma. "Jangan sok tahu." Mereka semua tidak paham kesulitan yang di hadapinya saat ini. Ia yang akan menyelesaikannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]
General FictionEND [TERINSPIRASI DARI KISAH NYATA] . . Gimana rasanya punya bos yang kalau kita bikin kesalahan dikit, langsung minta kita resign? Solar (28) awalnya terkejut, baru sehari bekerja di divisi Creative production house yang memproduksi sinetron itu, i...