Bab 20

1.9K 331 22
                                    

Chapter 20 Nggak Suka? Ya, Resign Aja! Dipersembahkan oleh lagu Paul Kim - Dream yang jadi OST The King: Eternal Monarch hohoho

Btw ada perubahan sedikit di cover, akhirnya aku memutuskan mengakui kalau cerita ini terinspirasi dari kisah nyata. Kalian boleh berasumsi kalau Solar itu aku, emang agak-agak mirip soalnya haha. Aku dulu pernah kerja di PH, jadi tahu betul seluk-beluk dan flow kerja di PH Indonesia kayak gimana.

Okey, selamat membaca yaa...

.

.

Akar membawa Solar ke ruangan creative. Baguslah tempat itu sudah kosong karena hatinya sedang tidak keruan. Ia akan mendamprat siapa saja yang mengganggunya. "Duduk," titahnya pada Solar. Ia kemudian mengambil kotak P3K yang ada di meja Nimas.

Meja Nimas memang berisi berbagai macam keperluan creative mulai dari obat-obatan, tisu, permen, minyak kayu putih, dan lainnya. Nimas sudah seperti membuka lapak warung.

Solar meniup-niup tangannya yang terluka karena terseret di aspal. Ternyata cukup perih.

Akar meraih lembut tangan Solar itu, dan membersihkannya dengan alkohol.

"Auu!"

"Tahan. Emangnya lo masih SD?" ujar Akar yang terus mengusap tangan Solar.

Solar menggerutu, tapi ketika teringat kejadian tadi, wajahnya berubah sendu. Padahal ia hanya berniat untuk bercerita. Sedikit pun tidak terpikirkan untuk membawa Akar ke masalah yang lebih rumit. "Sori ya, Kar."

Akar menoleh sebentar, lalu melanjutkan kegiatannya.

Solar kembali melanjutkan kalimatnya. "Gue nggak nyangka lo langsung omelin Bu Dewa. Tadi gue ngadu ke lo karena pengin tahu aja. Gue kira itu salah satu SOP perusahaan. Gue sempat berpikir karya anak buah karya bosnya juga."

"Ya, nggaklah. Yang Bude lakukan itu udah termasuk plagiat. Plagiat cuma dilakukan sama orang nggak percaya diri dan nggak tahu malu. Ini bukan pertama kalinya Bude kayak begitu."

Solar bisa merasakan amarah itu masih tersimpan di hati Akar. "Siapa yang kena batunya?"

"Mas Jamal. Dia ngamuk sampai nendang kursi. Mas Jamal nggak dipecat sih, tapi gajinya dikurangi beberapa bulan buat gantiin kursi yang rusak itu. Yang salah bos, tetap aja anak buah yang lebih salah," Akar tertawa getir.

Baru kali ini Akar bicara panjang lebar pada Solar. Ia tidak tahu harus biasa saja atau senang. "Ternyata Bu Dewa kayak gitu ya. Dia gaptek, anak buahnya salah dikit langsung disuruh resign, nggak suka dikasih tahu salahnya di mana, suka mengakui kerjaan anak buah sebagai miliknya."

"Nanti lo bakal tahu sifat ngeselinnya yang lain."

Solar baru melihat orang yang punya jabatan tinggi seserakah itu. "Gue heran kenapa Bude bisa begitu. Dia dari keluarga yang nggak harmonis? Apa dia kurang kasih sayang? Apa karena dia ditolak sama Mas Surya? Atau karena dia dulu pernah ditindas sama orang?"

Akar mengedikkan bahu. "Mana gue tahu? Tapi seburuk apa pun hidup seseorang, dia nggak seharusnya nindas orang lain yang nggak salah apa-apa."

"Bener juga sih." Solar masih mengingat wajah galak Bu Dewa yang menyalang pada Akar. Bibirnya kembali mengerucut. "Lo sampai diminta bikin surat pernyataan, Kar."

"Gue nggak akan bikin suratnya. Gue nggak salah," Akar seperti yakin pada dirinya sendiri.

"Jangan gitu dong. Ratu takut banget lo dihukum sama Bu Dewa, makanya dia ngamuk sama gue," ujar Solar setengah memohon.

Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang