Bab 8

2.4K 369 4
                                    

Gaiss, setelah ini aku mau hiatus sebentar sekitar 2 mingguan buat revisi naskah ini. Harap bersabar menunggu ya, setelah itu update bakalan lancar terus.

Selamat membaca dan menyelami kisah Solar dan rekan kerjanya ^^.

.

.

            Akar membawa motornya ke bilangan Rawa Belong yang pagi itu cukup padat. Menjemput Jo sebenarnya adalah hal yang buruk, tapi ia juga tidak tega jika rekan kerjanya itu tiba-tiba kena SP karena datang terlambat.

"Kar, lo tahu di mana kosan Jo?" Solar menepuk bahu Akar tidak sabar. Habisnya sejak tadi mereka belum sampai juga di tempat tujuan. Padahal sudah nyaris pukul 9!

"Lo nggak lihat jalanan di depan hampir ketutup semua?" Akar bête maksimal. Ia langsung membelokkan motornya ke jalan Syahdan yang sama macetnya dengan jalan utama Rawa Belong. "Kalau gue yang kena SP lo tanggung jawab ya!"

"Ih, jangan mikir yang jelek-jelek dong!" protes Solar. Ia melirik ponselnya, tidak ada kabar apa-apa dari kantor. "Gue yakin Bude belum dateng."

Akar hanya mendengus kesal. Ia kembali berbelok ke jalan yang lebih kecil. Susah payah ia membawa motornya agar tetap stabil di gang yang dilewati oleh banyak orang itu. Sampai akhirnya ia tiba di kosan dengan dinding serbahijau.

"Di sini kosannya?" Solar langsung turun dari motor tanpa menunggu jawaban dari Akar. Ia menaiki tangga yang tersedia di luar kosan, dan main masuk tanpa permisi dahulu. Seketika itu juga ia melihat seorang pria yang baru keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk. Tangannya dipenuhi oleh tato.

"Jo—"

"Aaaaaa!"

Solar bergidik karena Jo memekik kencang. Ia buru-buru keluar daripada harus membuat masalah baru.

Melihat wajah panik Solar, Akar hanya mencebik. "Ini kosan cowok dodol. Cewek nggak boleh masuk."

Solar menggaruk kepalanya. Ia menunggu di dekat motor hingga akhirnya Akar keluar seorang diri. Ia terang saja tersentak. "Lho? Jo di mana?"

Akar berusaha menahan emosinya. "Harusnya kita nggak usah ke sini."

"Hah? Tadi Jo—"

"Itu bukan Jo. Dia udah berangkat daritadi. Gue dikasih tahu temen di kamar sebelahnya."

"Lho?" Solar semakin melongo. Tidak menyangka bahwa perjuangannya menjemput Jo berakhir sia-sia. "Kalau udah berangkat, kenapa Jo nggak angkat telepon gue?"

Akar memberikan Solar delikan tajamnya. "Bisa aja dia lagi di jalan."

Solar menunduk. Ia jadi tidak enak karena sudah menyusahkan Akar. "Yah, sori. Gue tadi—"

"Pokoknya lo harus traktir gue nanti. Nggak mau tahu," permintaan Akar itu terdengar seperti ancaman serius.

"Iya, gue bakal nepatin janji," Solar memanyunkan bibirnya. Kemudian, ponselnya berbunyi. Ternyata telepon dari Jo. Ia buru-buru mengangkatnya. "Jo, lo udah di kantor?"

"Lo di mana? Bude udah dateng!"

Solar membelalak. Ia melompat ke motor, dan berseru kencang pada Akar. "Tancap gas, Kar!"

.

.

Akar dan Solar tiba di lobi setelah memarkir motornya. Solar senewen sendiri melihat Akar yang masih bisa jalan santai, padahal mereka terancam kena semprot Bu Dewa. Ia tanpa ragu menarik tangan pria itu agar jalannya bisa cepat, kalau perlu berlari.

Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang