Bab 26 Bagian 2

1.7K 323 22
                                    

Makasih gaiis udah baca dan voment cerita ini. Btw, baca catatan kecilku di akhir cerita yak.

.

.

Solar yang masih menunduk, lalu mulai bertanya. "Dulu Bude nggak tahu juga kalau Mas Surya udah nikah?"

Jo mengangguk. "Dulu Bude malah sempet nembak Mas Surya langsung, dan ditolak. Bude sampai nggak masuk kantor tiga hari." Ia pun menepuk-nepuk bahu Solar. "Nggak usah dipikirin—"

"Wahaha! Rasain tuh Bude! Emang enak ditolak laki-laki yang udah nikah!"

Semua creative melongo. Lalu, semuanya terbahak-bahak kecuali Ratu. Akar sebisa mungkin menahan agar tawanya tidak menyembur. Tawa Solar yang menggelegar bak petasan terbuat dari kaleng rombeng itu memang tidak ada duanya.

Setelah tertawa, Jo masih khawatir dengan Solar. "Bikin kaget aja. Lo nggak kenapa-kenapa, kan? Nggak patah hati, kan?"

Solar menggeleng kuat, masih dengan tawanya yang membahana. "Mana ada gue patah hati? Gue malah seneng lihat Mas Surya dan Mbak Gema. Mereka bakalan mendirikan PH yang nggak akan tertandingi sama PH mana pun. Gue yakin itu."

Nimas menghela napas panjang. Lega. "Gue kira lo bakal sedih."

"Ya, nggaklah. Mereka cocok tahu. Gue nyadar gue hanyalah bayi kentang." Solar mengatakannya dari lubuk hati terdalam. Mungkin karena Mas Surya yang memperlakukannya seperti adik, ia pun tidak merasa tersakiti. Ia menyadari Mas Surya sudah memiliki kebahagiaannya sendiri. Sebagai orang yang menyukai Mas Surya, ia ikut senang ada seseorang yang akan menghibur Mas Surya selama 24 jam non stop. Di masa-masa berat ini, Mas Surya membutuhkan dukungan yang besar.

Fokus Solar kemudian beralih ke tumpukan box pizza di meja Nimas. "Makan yuk." Ia yang mengambil pizza-nya duluan, lalu disusul oleh rekan-rekannya.

Anehnya pizza yang enak ini tetap terasa hambar di lidah Solar. Apa karena makanan ini hadiah untuk perpisahan? "Ini pizza pertama dan terakhir dari Mas Surya yang gue makan."

Kalimat itu sukses membuat para creative terdiam sejenak.

"Besok, Mas Surya nggak ada lagi di sini," Nimas menatap pizza-nya dengan bibir yang membentuk bulan sabit terbalik.

"Mbak Nim, kenapa diingetin sih?" protes Ratu yang kemudian sesenggukan. Ia lalu menyandarkan kepalanya ke bahu Akar.

"Mas Surya udah banyak ngebantu kita. Siapa yang nggak lelah? Udah berjuang ke sana-kemari, tapi hasilnya masih gini-gini aja," Akar menyayangkan kepergian Mas Surya, tapi ia paham seniornya itu memikul beban berat sendiri. Kesedihan dan kelegaan bisa ia rasakan dalam satu waktu. Sedih karena Mas Surya harus pergi. Lega karena Mas Surya sudah menentukan masa depannya sendiri.

"Gue boleh jujur, kan? Gue punya firasat buruk buat kita ke depannya. Jadi, harus ingat kata Surya tadi, kita harus kompak." Mas Jamal yang makannya paling lahap. Ia hanya ingin menghargai pemberian ikhlas dari temannya. "Umur gue udah empat puluh, tapi Surya anggap gue sebagai seniornya. Dia nggak pernah merintah-merintah gue kayak Bude. Karya gue juga dia apresiasi dengan baik."

Giliran Nimas yang menyampaikan kesannya terhadap Mas Surya. "Dulu sinopsis FTV gue selalu dikomentarin jelek sama teve. Pas ada satu sinopsis gue diterima sama teve, Mas Surya langsung ajak kita karaokean buat ngerayainnya."

"Pas gue diminta bikin surat pernyataan sama Bude, Mas Surya ngerobek surat itu, sampai akhirnya diminta bikin surat pernyataan juga," Jo menarik napas banyak-banyak. "Seumur hidup, gue nggak akan ngelupain kejadian itu."

"Pas ibu gue masuk rumah sakit, Mas Surya yang anterin gue ke sana. Gara-gara itu PPM jadi molor sampai jam tujuh pagi," komentar Akar yang langsung menarik perhatian Solar.

Ratu pun ikut berbicara. "Mas Surya jauh lebih baik dari Bude. Gue tahu gue nggak bisa ngegantiin dia. Jadi, kalau besok gue diangkat jadi supervisor, gue mau minta maaf sebesar-besarnya sama kalian karena gue nggak akan mampu kayak Mas Surya."

Nimas langsung memeluk Ratu, dan akhirnya mereka sama-sama menangis.

"Mas Surya bela-belain nunggu meeting cuma buat ngehibur gue yang diancam resign, padahal besok lukanya harus dijahit ulang," Solar pun meratap sejadi-jadinya.

Mas Jamal tahu mereka semua sedih, tapi ia ingin mereka memberikan memori yang baik pada Mas Surya. "Woi, hapus air mata kalian. Kita kasih ke Surya senyuman terbaik kita."

Para perempuan creative menghapus air mata mereka. Mereka lanjut memakan pizza itu karena ini akan menjadi traktiran terakhir yang diberikan Mas Surya.

.

.

Mas Surya dan Mbak Gema kembali ke ruangan creative, dan menemukan para juniornya masih berkumpul di tengah ruangan.

"Nah, gitu dong dimakan," Mas Surya bertepuk tangan. Lalu, ia tersenyum getir karena menyampaikan hal yang memberatkan hatinya. "Gue harus pulang sekarang."

Tim creative pun terkejut.

Solar masih ingin Mas Surya berada di sini. "Kok cepet banget, Mas?"

"Disuruh sama HRD. Bude ngadu ke mereka gue ngebuat keonaran. Dan tadi kan gue teriakin Pak Bakar juga. Jadi, ya begitulah," Mas Surya hanya mampu tertawa karena tingkah bosnya yang kekanakan.

"Ish, emang tukang ngadu ibu gede satu itu," gerutu Jo.

Mas Surya manggut-manggut. Ia kemudian mengatakan hal yang sudah disimpannya sejak lama. "Sori ya, gue belum bisa jadi supervisor yang baik buat kalian. Gue udah coba banyak hal buat penuhin hak-hak kalian, tapi emang gue bukan siapa-siapa di sini. Suara gue lagi-lagi mental ke arah yang nggak jelas."

Solar berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia ingin melepaskan kepergian Mas Surya dengan senyuman.

"Tenang aja. Kalau kita berjodoh, kita bisa ketemu lagi di tempat yang lebih baik. Jadi, bekerja yang baik di sini, biar gue bisa rekrut kalian satu per satu," Mas Surya berkacak pinggang seraya terbahak-bahak. Ia kemudian memperhatikan Ratu. "Tu, siap-siap aja, Bu Dewa bakal angkat lo jadi supervisor. Lo punya pengalaman kerja paling lama dibandingin yang lain, dan Bu Dewa juga sering ngandelin lo."

Ratu menutup mulut untuk menahan isakannya. "Gue nggak akan pernah siap, Mas."

"Lo pasti bisa. Yakin sama diri sendiri dong," Mas Surya sebenarnya tahu Ratu belum siap menjadi supervisor karena masih kesulitan mengontrol emosinya. Namun, mau tidak mau dia harus menghadapi tantangan itu. Ia lalu berpaling ke Mas Jamal. "Mas Jamal, lo yang paling tua dan bijak di sini. Gue titip anak-anak ya."

Mas Jamal hanya mampu mengacungkan jempol.

"Jo, kalau suka sama orang jangan dipendem. Nanti lo bakal sembelit hati seumur hidup. Sakit, tahu," kelakar Mas Surya.

Jo hanya nyengir kuda, dan diam-diam melirik ke sosok yang disukainya.

"Akar, semoga ibu lo cepet sembuh ya. Jangan pernah merasa sendirian."

Akar hanya mengangguk, lalu menunduk.

"Nimas, lo sosok yang paling peka di ruangan ini. Kalau ada temen lo yang kesusahan, jangan ragu buat bantu dan dengerin baik-baik cerita mereka."

Nimas mulai sesenggukan. Ia bahkan tidak mampu bilang iya atau tidak.

Mas Surya kini menghadap ke Solar. "Solar, mimpi lo besar, jadi usaha lo harus besar juga."

Seperti ditarik oleh magnet, Solar memeluk Mas Surya begitu saja. Ia tidak sanggup membendungnya lagi. Air matanya menderas di kedua pipi. Suara paraunya terdengar menyayat. "Kenapa kantor ini nggak bisa ngehargain kerja keras karyawannya? Kenapa dunia ini nggak adil, Mas?"

Tangisan Solar membuat yang lain ikut menangis. Siapa sangka Akar dan Jo menitikkan air mata juga. Katanya pria bisa menangis ketika benar-benar terpuruk.

Dan ini adalah hari paling terburuk yang penghuni ruangan itu rasakan. Perpisahan yang diwarnai senyuman hanya ada di cerita dongeng. Perpisahan sesungguhnya akan selalu menyisakan air mata.

Btw kurang lebih itu yang kurasakan ketika supervisor-ku yang super baik dan membumi resign. Gimana jadinya nih creative yang dipimpin sama Ratu? Apa ada yang sudah bisa membayangkannya? hahaha 😂

Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang