Bab 25 Bagian 1

1.6K 298 18
                                    

Apa bab kemarin cukup panas? wkwk. Btw, setelah ini update sesuai jadwal lagi ya hari Sabtu. Kalau ada hari libur di weekday, mungkin aku bakal update juga. Siap-siap saja wkwk.

Selamat membaca.

.

.

Tim creative shock berat mendengar keputusan Mas Surya. Ini adalah patah hati sesungguhnya dialami oleh karyawan posisi junior, ditinggal senior yang paling mengerti dan memperjuangkan hak-hak mereka.

"Mas, kami masih butuh lo," Jo kelimpungan. Ia menganggap Mas Surya adalah fondasi yang selama ini membuat mereka berdiri teguh, walaupun Bu Dewa sering mengeluarkan aturan-aturan secara sepihak dan menyerang mereka seenaknya.

Nimas tidak berkata apa-apa. Kepedihannya ia tunjukkan dengan susah-payah menahan tangis.

"Mas Surya," Solar tidak mampu mengucapkan kalimat apa pun. Ia berharap wajah sendunya yang penuh air mata ini tersampaikan bahwa ia ingin seniornya masih berada di sini.

"Surya, yang bener lo. Lo nggak ada bilang mau resign sama gue," Mas Jamal juga tak kalah terkejut. Nada suaranya terdengar kecewa.

"Surya, kamu harus berpikir jernih. Jangan mengajukan resign saat marah begini." Pak Bakar sebenarnya menyadari bahwa Mas Surya adalah salah satu aset karyawan terbaiknya. Dia sudah bekerja selama enam tahun dengannya, dan ia mengapresiasi segala usaha Mas Surya.

"Dari dulu juga saya sudah marah, Pak," Mas Surya tidak menahannya lagi. Ia lalu menunjuk ke Bu Dewa. "Bapak ngebiarin kekacauan terus terjadi di creative gara-gara orang ini. Bapak ngebiarin temen-temen saya keluar satu per satu, padahal mereka punya kontribusi besar ngebangun PH ini. Lagi-lagi suara saya nggak didengar. Jadi, saya melakukan hal yang sama kayak mereka. Keluar dari penjara."

Bu Dewa hanya menatap tajam Mas Surya.

"Bapak tahu? Habis lepas jahitan, saya izin tambahan absen beberapa hari ke Dewa karena kaki saya belum sepenuhnya sembuh. Tapi apa jawaban Dewa, Pak? Dia malah nyuruh saya langsung datang ke kantor, magrib juga nggak masalah katanya. Dewa pikir lepas jahitan operasi sama saja kayak lepas jahitan baju." Mas Surya mengeluarkan tawa sinis. "Saya sampai bingung Dewa ini polos atau emang lagi ngebego-begoin saya."

Pak Bakar benar-benar marah karena beranggapan Mas Surya sudah kelewat batas. "Surya, PH ini punya saya, jadi yang ngambil keputusan itu saya. Menurut saya Dewa punya potensi. Semua program berjalan dengan baik. Nggak perlu ngebahas lagi yang sudah lalu itu. Move on dong!"

Mas Surya mendelik tajam. Ia tidak ingat lagi soal sopan santun. Hari ini ia tumpahkan saja semuanya. "Program bisa berjalan bukan karena Dewa, tapi karena ada kontribusi dari semua divisi, Pak! Ah, sudahlah. Mau gimana pun saya ngeluarin protes, Bapak bakal tetap ngebela Dewa. Pokoknya saya mau resign. Jangan ngelarang saya."

Pak Bakar mengusap wajahnya sendiri; berusaha meredam emosinya. Ia sedang perang batin antara memilih karyawan yang kompeten atau sosok yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Mengeluarkan Bu Dewa dari kantor ini pasti akan menyakiti sahabatnya yang sudah tiada. "Saya nggak nyangka hari ini dua karyawan terbaik saya ngajuin resign. Gema juga begitu."

Tim creative semakin tersentak. Jika Mas Surya dan Mbak Gema tidak ada, yang tersisa hanya tim kreatif dan produksi yang bosnya sama-sama punya kepala sekeras batu. Bu Dewa dan Mas Mahmud yang tak sama, tapi sifatnya nyaris serupa. Kreatif dan produksi bisa berperang sepanjang waktu.

Solar berusaha keras memikirkan apa yang bisa ia lakukan. Ia menatap Mas Surya yang tampak sudah bulat dengan keputusannya. Ia tersentak saat Mas Surya membagikan tisu pada para perempuan. Ia menerimanya dengan luka hati yang semakin menganga. Setelah Mas Surya pergi, Cahaya Gemilang pasti tidak akan sama lagi. Apa ia ikut resign saja? Tapi ia belum ada kerja sebulan di sini.

Pak Bakar melirik ke Bu Dewa dengan wajah lelah. "Dewa, coba kamu bicara berdua sama Surya. Biar kalian masing-masing bisa mendinginkan kepala. Saya mau istirahat dulu, bisa-bisa asma saya kambuh." Ia memilih pergi karena keputusannya tidak ada yang bisa mengubah. Ia tetap memilih orang yang sama.

Tim creative hanya memperhatikan Pak Bakar keluar dari ruangan. Saking terguncangnya, creative masih tidak ada yang bersuara.

Mas Surya menggunakan kesempatan ini untuk lebih menggertak Bu Dewa karena pembelanya sudah pergi. "Harusnya tadi tuh kayak gini, Dewa. Nggak perlu ada Pak Bakar sebagai penengah. Lo bicara dari hati ke hati sama anak buah lo sendiri. Tapi lo malah mengubahnya jadi ajang perdebatan. Emang pinter ya lo manfaatin nepotisme lo di sini."

Bibir Bu Dewa menipis. Ia menatap tim-nya yang lain satu per satu. "Kalau ada yang mau kalian sampaikan ke saya, bilang aja. Kayaknya kalian banyak unek-unek," tantangnya.

Para creative hanya terdiam. Mereka sudah tidak bersemangat untuk membicarakan hal lain. Melihat wajah Bu Dewa yang tampak bahagia karena Mas Surya mengajukan resign, membuat mereka ingin keluar saja dari ruangan. Ingin ikut resign, tapi tidak semudah itu. Mereka juga membutuhkan pekerjaan, dan mencari pekerjaan baru adalah perjuangan yang cukup panjang. Paling bagus resign ketika sudah diterima kerja di kantor lain. Kalau tidak ada persiapan, mereka takut terlunta-lunta. Apalagi mereka punya sosok yang harus ditanggung.

Bu Dewa tersenyum sinis. "Lihat, Surya. Mereka nggak ada yang mau ngomong."

"Ya, iyalah. Mereka terlalu shock gara-gara gue ngajuin resign," Mas Surya tahu betul apa yang dirasakan oleh junior-juniornya.

Bu Dewa menggeleng. "Kamu ini terlalu gegabah. Padahal kamu udah punya nama di sini dan posisi kamu aman, tapi malah kamu sia-siakan. Bodoh."

Akar mengepalkan tangannya. Ia ingin sekali angkat bicara. Namun, mengingat ibunya yang berada di rumah sakit, ia harus menyelamatkan posisinya sendiri.

Gertakan Bu Dewa tidak berarti apa-apa. Mas Surya malah membalasnya santai. "Iya, sih. Tiga puluh persen program Cahaya Gemilang itu idenya gue. Jadi, Pak Bakar juga ngandelin gue." Wajahnya kemudian tiba-tiba mengeras. "Tapi inget nggak berapa program yang dibuat dari ide lo dalam tiga tahun ini? Nol besar! Kerjaan lo cuma mitang-miting, ngebacot sana-sini, terima beres kerjaan anak buah. Lo nelepon Solar di pagi buta cuma buat ngetes dia, kan? Lo emang paling seneng nunjukkin kekuasaan lo dengan membuat anak buah lo ngerasa bersalah. Padahal lo itu jarang begadang. Jadi, yang sebenarnya bego itu SIAPA?"

Solar bertepuk tangan atas kalimat-kalimat tajam yang Mas Surya lempar ke Bu Dewa sampai membuat bos mereka tidak berkutik. Ia menurunkan tangannya ketika Bu Dewa memelototinya.

Namun, bukan Bu Dewa namanya kalau ia tidak pandai bersilat lidah. "Kamu pasti nyadar ya nggak akan pernah menang dari saya? Udah kerja keras, tapi tetep aja kamu di bawah saya."

Solar rasanya ingin menyumpal mulut Bu Dewa dengan cabai biar dia memakan sendiri kalimat-kalimat pedasnya.

Mas Surya tersenyum santai. Ia tidak peduli Bu Dewa adalah perempuan, ia akan selalu berusaha membalikkan kata-katanya. "Betul sekali. Makanya gue bakal mengalahkan lo dari luar."

Tim creative terkesiap dengan ucapan Mas Surya.

"Gue bakal mendirikan PH yang bisa bersaing sama Cahaya Gemilang. Semua slot acara kalian PH gue yang ambil alih. Kita lihat gimana nasib lo kalau Cahaya Gemilang nggak ada, gue jamin lo nggak bisa semena-mena lagi kayak di sini."

"Kamu boleh ngomong gitu kalau benar-benar bisa melakukannya," ujar Bu Dewa memelotot. Baginya ancaman itu terlampau omong kosong.

"Lihat aja nanti. Gue bakal buktikan siapa yang bakal menang. Otak cerah gue atau otak pas-pasan dan nepotisme lo." Mas Surya menggebrak meja tanpa tanggung. "Cepet tanda tanganin surat resign gue!"

"Mas Surya! Jangan tinggalin kami," Ratu mulai menangis berharap Mas Surya bisa menahan diri.

Bu Dewa segera menuruti permintaan Mas Surya dengan napas memburu. Ia melempar kertasnya begitu saja, lalu hendak keluar. "Hari ini terakhir buatmu, nggak perlu nunggu sampai bulan depan."

Mas Surya memperhatikan Bu Dewa yang minggat dari ruang meeting sembari membanting pintu. "Ye, ngambek." Ia memperhatikan para juniornya terdiam memperlihatkan ekspresi serupa, dahi mengerut, bibir yang menipis, dan semangat yang hilang. Ia harus bicara dengan mereka. "Ayo, kita balik ke ruangan."

Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang