Anyelir 21. [Brengs*k-2]

4.1K 216 13
                                    

Tring... tring...

"Siapa yang nelpon sih? Masih jam tiga pagi astaga." Anye menggerutu kesal, tangannya bergerak diatas nakas. Mencari keberadaan ponselnya.

Nomor tidak dikenal. Anye menghela napasnya lalu menekan ikon jawab diponselnya.

"Halo?"

Sunyi, tak ada jawaban apapun dari seberang telpon.

"Halo? Kalau salah sambung saya matika--"

"Halo."

Tubuh Anye menegang. Dia mendudukan dirinya lalu mencerna suara bass diseberang telpon. Itu...suara Bian.

"Dengan siapa ya?" Anye menunggu dengan perasaan cemas. Berharap dalam hati bahwa bukan Bian yang menemukan nomor ponsel barunya.

"Biandra Gema Jingga."

Anye menghela napasnya. Percuma dia mengganti nomor ponselnya jika ujung-ujungnya pun Bian masih bisa menghubunginya.

"Okey. Jadi, ada apa?"

"Mitha keguguran."

Kenapa Bian laporan kepada dirinya?.

Anye mengernyit. "Lantas?"

"Anak itu bukan anak saya," terdengar Bian menghela napas lelah. "Saya ditipu oleh Mitha."

Anye mengangguk mengerti, meskipun Bian tak dapat melihatnya. "ohh. Jadi saya harus bagaimana? Mohon maaf tapi saya tidak ingin menawarkan bantuan kepada anda."

"Pagi ini ditaman dekat mansion. Saya tunggu kamu."

Tut..tut..

Ucapan bernada tegas itu menutup perbincangan mereka. Anye menghela napas, apalagi yang Bian inginkan darinya. Tapi dari pada memikirkan Bian, Anye lebih memilih bangkit lalu mengambil wudhu. Sepertinya sholat tahajud bisa menenangkan hatinya.

Selepas sholat tahajud, Anye memeriksa ponselnya yang tadi sempat bergetar tanda ada pesan masuk.

+6289091****
Datang sendiri. Jam lima.
Jika tidak, saya bisa melakukan apapun.
___

Anye menghela napas lelah. Setelahnya, Anye memilih untuk membaca Al-Quran selagi menunggu waktu subuh tiba.

🏵🏵🏵

Setelah sholat subuh, Anye bergegas membersihkan diri lalu bersiap hendak keluar. Setengah jam berlalu, Anye sudah siap dan sekarang tengah menutup pintu kamarnya dengan perlahan. Berharap agar dia tak membangunkan Vano.

Anye berjalan perlahan menuju lift. Tapi tubuhnya sontak memutar arah menuju tangga karena dirasanya lift tidak cukup efektif untuk acara pergi diam-diamnya. Dan bersyukur kini dia mengenakan flat shoes, sehingga dia tak menyebabkan suara saat menuruni tangga.

Jujur sebenarnya Anye takut. Apalagi jika dia harus berhadapan dengan Bian--yang tentu bisa saja nekat melakukan hal apapun. Anye memilin ujung jilbabnya saat tangannya perlahan membuka kunci pintu mansion. Tangan Anye bergetar saat kembali menutup pintu. Kepalanya berputar, memastikan tak ada yang memergokinya. Setelahnya, Anye berjalan menuju pagar, yang tentu juga berpenjaga. Sepelan mungkin Anye membuka pintu kecil yang berada disamping pos penjaga, dan untungnya penjaga sedang memantau keadaan gerbang, jadi tidak melihat kearahnya.

Anye menghela napas lelah saat dirinya berhasil berjalan agak jauh dari mansion Vano. Setelah merasa cukup, Anye kembali melangkahkan kakinya menuju taman yang dapat terlihat diujung pandangnya. Anye memutar tubuhnya, mencari sosok yang memiliki janji temu dengannya.

AnyelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang