"Anye?"
Panggilan dari Vano membuat Anye menghentikan gerakan tangannya yang membuka knop pintu. Anye menoleh, melihat Vano yang sedang menatapnya penuh harap. Sepertinya ada yang ingin Vano katakan kepadanya.
"Kenapa Mas?"
Vano menggaruk belakang lehernya kikuk. Bibirnya menyunggingkan senyum. "Saya mau bicara. Punya waktu?"
Anye mengangguk, "punya Mas. Tapi sepuluh menit lagi, ya? Saya harus sholat isya dulu."
Vano makin kikuk dibuatnya. "Ehh, iya. Saya juga. Kalau begitu sepuluh menit lagi saya tunggu di ruang tv, ya?"
Anye mengangguk lalu mendorong pintu terbuka, melangkah masuk sebelum menutup pintu dengan pelan. Setelah Anye masuk, Vano ikut melangkahkan kakinya menuju kamarnya.
Dilantai tiga ini memang mempunyai tiga kamar dan satu ruangan yang tidak bersekat. Ruangan itu diisi tv dan sofa nyaman oleh Ami, katanya untuk Vano kalau-kalau ingin bersantai. Satu kamar lainnya adalah kamar kosong lain yang biasanya digunakan untuk kamar tamu.
Sepuluh menit kemudian, Vano sudah duduk manis sambil menonton tv didepannya. Tapi matanya terus-terusan mencuri pandang kearah pintu bercat putih yang sampai sekarang belum terbuka.
Ceklek....
Vano mengalihkan pandangnya saat melihat Anye keluar dari pintu putih yang terbuka.
"Mas?" Anye berucap saat melihat Vano sudah duduk diatas sofa.
"Duduk Nye." Ajak Vano.
Anye mengambil duduk disebelah Vano dengan masih memberi jarak. Dia mengambil satu bantal sofa lalu menaruhnya dipangkuannya.
"Kenapa Mas?"
Vano berdeham sebentar, "saya... cerita tentang JS. Corp. Bian ada dalam kisah saya. Boleh?"
Anye mengangguk saja. Kepalanya diangkatnya hingga bisa menatap wajah Vano. "Silahkan Mas. Saya juga sebenernya kepo. Masih terlalu dini menurut saya kalau Mas bisa menaruh benci sebesar itu jika bukan karena masa lalu."
Vano yang semula tegang kini terkekeh pelan. "Saya kira kamu mau marah."
"Nggak lah, Mas. Mas boleh cerita apa saja sama saya. Selain sekretaris saya juga pendengar yang baik." Ucap Anye bangga.
"Bisa banget!" Cibir Vano.
Anye terkekeh. "Lanjuuut." Candanya.
Vano terkekeh, ketegangannya tadi perlahan hilang berganti perasaan nyaman. Harus Vano akui bahwa kini tubuhnya pun sudah terpengaruh oleh Anye.
"Waktu umur saya 24, kalo gak salah. Delapan tahun yang lalu." Vano berdehem. Menetralkan wajahnya yang tiba-tiba mengeras karena mengingat masa itu.
Anye memilih diam. Menunggu Vano melanjutkan kalimatnya.
"Saya sama Bian temen baik. Sedari kuliah kami sudah punya impian untuk mendirikan perusahaan sendiri. Dan JS. Corp, JinggaSamudera Corporation adalah namanya. Setelah wisuda, kami mulai merintis bisnis. Dua tahun kemudian JS. Corp bisa menduduki posisi lima besar perusahaan terbesar di Asia. Saya dan Bian bangga, kami akhirnya bisa sukses." Vano menggeram. Matanya berkaca saat mengingat kejadian selanjutnya.
Anye yang merasa Vano sedang menahan amarah pun mendekati Vano lalu mengelus perlahan punggung tangan Vano. "Shutt, pelan-pelan." Bisiknya.
"Saya percaya penuh sama Bian. Saya bahkan sampai meninggalkan Mama dan Papa untuk mendirikan bisnis sendiri. Papa dulunya pemilik perusahaan ternama yang ingin saya menjadi penerusnya. Tapi saya memilih untuk menolak dan pergi dari Papa. Saya dan Bian berperan sebagai pemilik dan pemimpin dari JS. Corp. Tapi, ternyata benar kata orang, kalau satu kapal dikendalikan oleh dua nahkoda maka kapal itu akan oleng dan hancur." Vano menghela napas. "Bian nusuk saya dari belakang. Dia dengan sengaja membuat bukti palsu bahwa saya korupsi."
Anye dapat merasakan Vano menggenggam tangannya lalu meremasnya kuat. Anye balas menggenggam tangan Vano. Kali ini biarkan dia memohon ampun kepada Tuhan karena tubuhnya yang merasa nyaman akan sentuhan Vano.
"Saya cuma dipenjara setahun karena bantuan Papa. Saat saya keluar, yang saya liat malah Bian sudah mendirikan bisnisnya sendiri. Saya sempat bertanya kemana JS. Corp, tapi dia malah berkata bahwa JS sudah bangkrut karena ulah saya. Dan sampai sekarang saya tidak tau kemana JS. Corp." Vano memandang Anye. "Saya sebenci itu sama Bian. Karena bagi saya, Bian adalah bajingan dari sebajing-bajingan orang."
Anye menghela napas. "Language Mas," peringatnya. "lagipun Mas harus bisa ikhlasin JS. Corp, Bukankah itu sudah delapan tahun yang lalu? Masbisa semaju dan sesukses sekarang karena usaha kamu sendiri, kan?"
Vano mengangguk pelan, ucapan Anye ada benarnya. "Saya mungkin bisa mengikhlaskan JS. Tapi saya tidak bisa memaafkan Bian. Karena bagi saya dia adalah orang paling egois dan serakah yang rela melakukan apapun demi hidupnya. Bahkan saya yang sudah menganggapnya saudaranya pun dengan sengaja dihancurkannya."
"Hish, gak boleh gitu. Jangan benci sendiri. Mending ajakin saya." Anye terkekeh.
Vano ikut terkekeh mendengar ucapan Anye. "Entengnya bilang gitu."
Anye menipiskan kekehannya hingga hanya tersisa senyum tipis. "Gitu dong. Saya gak suka liat Mas murung. Mas tau, kan kalau saya juga masih difase benci sama dia. Tapi saya yakin kalau kita ikhlas, maka semuanya akan terlewati begitu saja."
Vano mengangguk, "kamu bener. Tapi, menghancurkan Bian sudah ada dalam list keinginan terbesar dihidup saya. Gimana dong?"
"Heh! Gaboleh. Biarin aja dia makan uang haram."
"Berarti kamu udah pernah nyicip dong?"
"Nyicip apa?"
"Uang haramnya Bian."
Anye terdiam.
Berpikir.
"Hah?! Astaga, ya Allah gimana ini? Astaghfirullah. Maafin Anye ya Allah. Aduh, gimana buangnya dari tubuh saya Masbos?!" Anye berdiri sambil berucap heboh didepan Vano.
Vano yang melihat Anye kalang kabut pun tertawa puas. "Nah loh, gimana tuh Nye? Astaghfirullah. Kamu pernah makan pake uang haram." Vano berucap sedih, mengompori.
Anye berhenti, tubuhnya memutar, menatap Vano yang masih tertawa. "Masbos ikhlasin, ya? Kayaknya kalo Masbos ikhlas makanannya jadi halal deh."
"Saya ikhlas. Tapi bagian yang kamu makan aja. Bagian lain saya gak ikhlas."
"Ihh, mana bisa gitu?"
"Bisalah!"
"Gak ikhlas itu namanya! Kalo ikhlas tuh gak boleh setengah-setengah." Anye kembali mendudukan tubuhya, dia mencibir keras kemudian. "Sama kayak riya. Masbos kan kalo riya sama saya gak pernah setengah-setengah."
Vano tergelak keras mendengar cibiran Anye. "Mana ada gitu? Saya gak riya, Nye. Kan memang punya saya, kamu mau apa?"
Bibir Anye maju beberapa senti. "Sama aja riya! Hish, saya kesel loh sama Masbos kalo lagi riya. Tapi demi bonus apalah yang gak bisa."
"Anye sumpah, perut saya udah bener-bener sakit." Vano berusaha mentralkan tawanya. "Iyaiya, lain kali kalo saya mau riya saya kasih kamu bonus. Sebagai bukti kalo saya gak riya."
"Nah gitu dong!" Anye berucap ceria. "Kan saya jadi enak. Sekali riya satu juta kayaknya pas ya, Mas?"
Vano memutar bola mata malas, "maunya kamu, Nye!"
"Yaudah kalo gak mau." Anye mendengus sembari kembali duduk.
"Iya Anye! Apasih yang nggak buat kamu?" Kalau satu dunia bisa menyembuhkan luka dihati kamu pun aku nggak akan segan memberikan satu dunia kepadamu. Vano melanjutkan dalam hati.
Anye tertawa mendengarnya.
💐💐💐
Anye paling bisa bolak balikin hati Vano, wkwk.
Anye dan keceriaanya memang tak bisa dipisahkan😂Lope uuu
#yss👑👑👑
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir
RomanceNamanya Anyelir Gilsha Hizbya, panggilannya Anye. Seorang muslimah berjilbab yang suka sekali memakai kulot. Tapi dia juga wanita berusia 26 tahun yang kini harus menelan pahit-pahit perselingkuhan yang dilakukan suaminya. Seorang wanita malam dari...