Anyelir 22. [Terimakasih, Mas]

4.6K 209 7
                                    

Anye masih menangis sesegukan saat melihat Vano dengan brutal memukuli Bian dilantai. Tangan Anye setia menutup kepalanya yang tak terbalut jilbab. Matanya menatap nyalang dua pria yang tengah bergelut hebat, sementara air matanya tidak pernah berhenti menuruni pipi mulusnya.

Sedangkan Bian yang sudah terkulai lemah dilantai pun hanya bisa pasrah menerima pukulan brutal Vano.

Bugh..bugh..

"Hiks...hiks...sudah Mas hiks..." suara Anye terdengar lirih ditengah kekalutan Vano.

Vano mengangkat kepalanya, bibirnya sedikit sobek karena Bian tadi sempat membalasnya. Vano berjalan cepat mendekati Anye yang masih menangis diatas kasur, bahkan air mata masih belum bosan mengaliri pipi Anye.

"Jilbab saya hiks...Mas, ambilkan jilbab saya hiks..." Anye berucap pelan saat Vano berdiri disebelahnya.

Dengan cepat Vano mencari jilbab yang dimaksud Anye lalu memakaikannya ke kepala Anye yang rambut panjangnya tampak berantakan.

"Anye..."

Anye menutup wajahnya semakin rapat dengan kedua telapak tangannya. Isakannya makin menjadi begitu mengingat hal menyakitkan tadi.

"Anye maafkan saya."

Anye menggeleng, suara tangisannya masih terdengar nyaring. "Hiks...bukan salah Mas...hiks..maafin saya hiks..udah pergi diem hiks...diem."

Vano duduk dihadapan Anye. Mengelus puncak kepala Anye yang sudah terbalut jilbab. "Shuttt... tenang, sudah ada saya." bisiknya.

Anye mengangkat wajahnya, air mata masih terus mengalir meski kini hanya ada isakan yang keluar sesekali. "Terimakasih, Mas. Terimakasih."

Vano tersenyum samar mendengarnya. "Kita pulang, ya?"

Anye menjauh saat Vano hendak menggapai tangannya. "Saya bisa jalan sendiri Mas."

Menghela napas, Vano bisa memastikan bahwa Anye sedikit banyak sekarang takut dengannya. Vano bangkit lalu berdiri disebelah kasur sembari menunggu Anye yang tengah menghapus air matanya, yang tentu akan kembali mengalir lagi. Setelah Anye berdiri disebelahnya, Vano memberikan tas selempang milik Anye yang tadi ditemukannya dilantai lift.

"Anye."

Anye tak menjawab. Ia masih terus berjalan keluar dari kamar tersebut. Bahkan meninggalkan Vano yang masih mematung dibelakangnya.

Vano menatap Bian yang masih terbatuk-batuk dilantai. "Saya pastikan anda menyesal."

"Anye istri saya!" Bian menjawab meskipun ringisan keluar dari mulutnya yang berdarah.

Vano menggeleng tegas. "Tidak. Dia akan segera lepas dari anda. Bahkan saya bisa tuntut anda jika dia meminta." setelahnya Vano langsung berjalan meninggalkan ruangan yang terasa pengap itu.

Vano berjalan agak cepat demi menyusul Anye yang sedang memencet tombol lift, masih dengan tubuh yang bergetar.

Setelah melihat pintu lift terbuka, Vano melangkah masuk bersama Anye yang berdiri agak berjarak darinya. Vano memilih diam. Hingga didalam lift hanya terdengar suara tangis dan sesegukan Anye.

Anye mengusap air mata dipipinya dengan sapu tangannya. Meskipun ia tau air matanya masih enggan berhenti mengalir. Pipinya bahkan sudah memerah dan perih karena ia terlalu keras mengusapnya.

Saat pintu lift terbuka, Anye hendak melangkahkan kakinya yang gemetar keluar. Sesaat sebelum ia merasakan tubuhnya melayang didalam gendongan Vano. Anye memberontak, meskipun lemas, ia masih merasa takut.

"Shutt. Saya tau kamu gak kuat jalan. Diem ya?"

Mendengar ucapan bernada lembut dari Vano berhasil membuat Anye menghentikan berontakannya dan menyamankan letak tubuhnya didalam gendongan Vano. Tangannya dilingkarkannya dileher Vano dengan kepala yang disembunyikannya didada bidang Vano, Anye memejamkan matanya yang terasa memberat karena terlalu lama menangis.

AnyelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang