"Mana ada gitu?!" Anye menyela tak terima. Jelas saja, mana mungkin dia menerima dikatai Kiya bucin hanya karena Vano memberikan bagian kulit ayam krispinya keatas nasi Anye.
Vano terkekeh spontan. Padahal dirinya yang dikatai Kiya bucin, kenapa malah Anye yang sewot?
"Heh! Aku ngatain pak Vano, astaga Anye." Kiya menepuk keningnya lesu. Anye kenapa sangat sensitif malam ini?
Anye nyengir seketika. "Hehe, aku kira kamu ngatain aku."
"Kamu ngatain aku." Bibir Kiya dimonyongkannya sembari mengikuti nada bicara Anye.
Vano tergelak pasrah. Sudah puas dia menahan tawanya sejak sepuluh menit yang lalu, sekarang dia memilih mengeluarkannya langsung. "Kalian ini astaga. Gak bisa sekali aja serius?"
Kontan Kiya dan Anye menggeleng bersamaan. "Enggak."
Vano menghentikan tawanya. Gelengan kepala tak percaya dilayangkannya kepada dua wanita dihadapannya. "Kalian ini satu frekuensi atau gimana sih?"
"Bapak Gabut?"
"Mas gabut?"
Lagi-lagi bersamaan. Kiya dan Anye saling pandang sebelum sama-sama menarik kepala untuk tertawa ngakak sepuasan. Masa bodo dengan image cewek didepan cowok. Toh Vano sudah mereka anggap jejadian karena bersama mereka.
Vano menyuapkan lagi kepalan nasi kemulutnya. Menyaksikan kekompakan dan rasa sayang yang dihadirkan dua wanita dihadapannya membuatnya tidak ingin menganggu keasikan mereka.
"Pak, martabak pandan uenak loh apalagi dimakan dingin-dingin gini." Kiya berceletuk diantara tawanya yang sudah mulai mereda.
Vano mengangkat wajahnya, menatap Kiya yang tersenyum jahil kearahnya dengan tatapan horornya. Kiya sekarang sedang berusaha mengorek kantongnya ternyata. "Apalagi?"
Kiya memelototkan matanya kesal. Niat hatinya ingin membuat Vano kesal malah memutar kena ke dirinya. "Anye, bos kamu ini ngeselin banget."
Anye meminum air digelasnya sebelum menjawab enteng. "Emang. Riya' aja tiap hari. Aku udah kebal Ki."
Vano mendengus malas namun tak urung terkekeh. "Kamu jujur sekali Nye."
"Terimakasih, Mas."
Vano mengelurkan ponsel dari kantong celananya, mengotak-atiknya sebentar sebelum menempelkannya ketelinganya. "Belikan martabak pandan, bakso, mie ayam, ayam bakar, dan semua makanan yang kamu temui diperjalanan ke sini. Setengah jam dari sekarang kamu sudah ada disini. Alamatnya akan saya kirimkan." Vano menjauhkan ponselnya sebelum menaruhnya dilantai.
Kiya dan Anye memelotot tak percaya. Semua makanan yang kamu temui disepanjang jalan? Vano gila?
"Siapa yang mau makannya Mas?!" Jerit Anye histeris. Untung banyak penghuni kontrakan yang belum pulang jadi mereka aman dari protesan berurat ala-ala orang cari ribut.
Vano mengedikkan bahunya sebelum mencolekkan ayam ditangannya ke saus dimangkuk kecil disana. "Saya yang belikan. Kalian yang makan." Sang ayam yang berbalut saus melayang lalu terjatuh tepat didalam mulut Anye yang masih terbuka.
Anye kembali rileks. Mulutnya tertutup sebelum mengunyah dengan santai.
Kiya menatapnya tak percaya, itu tadi apa? Vano tadi menyuapi Anye? Disuapin?
"Buchinnn...." ucap Kiya lantang.
Vano dan Anye terkesiap.
Kiya kenapa? Kesurupan?
"Kamu kenapa?" Pertanyaan bernada polos itu datang dari Vano yang menyuapkan lagi potongan ayam beserta nasinya kemulut Anye yang menerimanya dengan senang hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir
RomanceNamanya Anyelir Gilsha Hizbya, panggilannya Anye. Seorang muslimah berjilbab yang suka sekali memakai kulot. Tapi dia juga wanita berusia 26 tahun yang kini harus menelan pahit-pahit perselingkuhan yang dilakukan suaminya. Seorang wanita malam dari...