Anyelir 20. [Lantai dua]

3K 169 5
                                    

"Anye, bangun dulu." Vano memegang kedua bahu Anye yang masih bergetar.

Selama perjalanan kembali ke mansion,  Anye menangis sesegukan dan kini duduk termangu dilantai ruang keluarga, Anye masih menangis sesegukan. Sedangkan Vano sedang berusaha membawa Anye kembali ke kamarnya, setidaknya Anye butuh istirahat sebentar.

Anye masih menangis, tapi dia berusaha berucap ditengah sesegukannya. "Hikss... gimana sih Mas hikss... sakit banget hati saya hiks..."

Vano yang semula jongkok disebelah Anye kini mendudukan dirinya. Dia menghela napas pelan sebelum menarik kepala Anye bersandar kedadanya. Anye hanya menurut dengan menyandarkan kepalanya yang sudah mulai terasa pening kedada Vano. Tak ada yang bersuara diantara mereka. Bahkan setelah setengah jam berlalu, tangis Anye baru berhenti meski masih menyisakan sesegukan yang sering terdengar.

"Anye." tangan Vano terangkat. Mengelus lembut kepala Anye yang sesekali bergetar karena sesegukan. "Saya tau kamu sakit. Tapi kamu gak berhak tangisin dia."

Anye mengangguk. Dia tau itu. Dia mengerti, sangat mengerti. Tapi, "Hati saya sakit, sakit banget Mas." lirih Anye.

Vano mengangguk mengerti. "Kamu tenangin diri dulu ya. Setelah kamu merasa tenang saya bakal bawa kamu ke suatu tempat."

Anye mendongak. Melihat dagu Vano yang tercukur mulus. "Saya gak mau keluar."

Tentu saja. Vano tau jika Anye pasti tak ingin bertemu Bian dan pelacurnya lagi. "Nggak keluar. Kamu tenang ya, setelahnya kamu akan tau."

Anye mengangguk. Sedikit demi sedikit ia mulai mencoba menetralkan napasnya dan menghentikan sesegukannya. Setelah agak tenang, Anye mengangkat kepalanya dari dada Vano. Vano bangkit, katanya hendak mengambilkan air putih untuknya.

Vano kembali dari dapur lalu menyodorkan segelas air putih kehadapan Anye. "Minum dulu."

Anye mengangguk lalu menerima gelas dari tangan Vano. Setelah meneguknya dua kali, Anye mengembalikannya kepada Vano yang masih berjongkok dihadapannya. "Makasih Mas."

Vano mengangguk lalu menaruh gelas itu keatas meja didekatnya. "Mama sama Papa pulang sebentar lagi. Mau ketemu mereka atau langsung ikut saya?"

Anye menghapus jejak air mata dipipi dan matanya. "Saya akan membersihkan diri nanti sebelum bertemu Mama Papa. Saya nggak mungkin ketemu mereka dengan keadaan seperti ini Mas."

Vano mengangguk mengerti lalu mengulurkan tangannya pada Anye. Anye menyambut tangan Vano untuk berdiri lalu menepuk sedikit kulotnya yang kotor karena debu, setelahnya Anye mengikuti langkah Vano yang sudah membawanya menuju lift.

"Kita kemana Mas?" Anye bertanya karena kesunyian didalam lift.

Vano menoleh sebentar sebelum pintu lift terbuka, mereka dilantai dua. "Kamu akan tau sendiri nanti."

Setelahnya, Vano berjalan mendahului Anye keluar dari lift. Langkah Vano yang pasti diikuti dari belakang oleh langkah pelan Anye. Anye agak... ragu.

Ceklek...

Vano membuka pintu satu-satunya ruangan disana. Pintu besar bercat coklat itu terbuka perlahan tepat setelah Vano mendorongnya. Setelah Vano melangkah masuk, Anye berdiri didepan pintu. Dia menatap takjub ruangan dihadapnnya. Ruangan ini sangat... indah.

Anye berjalan memasuki ruangan luas itu dengan tatapan yang terarah kesegala arah. Ruangan luas bernuansa hijau itu berhasil membius Anye dengan keindahannya.

Langit-langitnya di cat putih dengan dinding yang di cat hijau terang berhasil membuat ruangan terkesan hidup. Jangan lupakan pohon-pohon palsu yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk susunan yang indah dipandang mata.

Ruangan didepannya ini benar-benar seperti taman yang indah. Anye kembali tercengang saat melihat ke sudut ruangan, ada air terjun disana. Bukan, bukan air terjun palsu. Melainkan air terjun asli yang meski Anye tau menggunakan mesin. Tapi air terjun itu nyata, indah, dan mempesona. Layaknya air terjun sungguhan, air terjun itu juga memiliki bebatuan besar dan kolam dangkal dibawahnya.

Anye menolehkan kepalanya kepada Vano yang sudah duduk dikursi taman ditengah ruangan. Anye berjalan perlahan, Vano yang agaknya mengetahui keberadaannya pun menoleh kepadanya lalu memberikan senyum manis kepadanya. "Kemarilah."

Anye mengambil duduk disebelah Vano. Setelah menaruh tas nya didekat kakinya, Anye menyandarkan tubuhnya kesandaran kursi. Matanya menatap lekat air terjun dihadapnnya. "Cantik."

Vano tersenyum menanggapi ucapan Anye. Tangannya terangkat lalu ditaruhnya dibelakang tubuh Anye. Merangkul Anye. "Ini ruangan Mama. Mama yang susun dan buat semuanya. Suka?"

Anye tercengang, "Mama?"

Vano mengangguk, "Ruangan ini khusus dilantai dua. Itulah mengapa lantai dua jarang didatangi. Tapi ruangan ini adalah ruangan terindah disini." Vano mengelus pelan bahu Anye. "Mama buat ruangan ini saat Mama pindah kesini. Intinya diruangan ini Mama ingin menegaskan bahwa, semuanya baik-baik saja. Tenang, itu rasa yang dihadirkan ruangan ini saat kamu memasukinya, kan?"

Anye mengangguk membenarkan. Matanya masih fokus menatap air terjun biru dihadapannya.

"Kalau Mama ada masalah apapun, Mama akan datang kesini dan menemukan ketenangan disini. Because, tenang bisa mengendalikan segalanya. Dan saya pikir kamu juga butuh ketenangan. Setelah semuanya, saya rasa kamu butuh tenang barang sebentar saja untuk bisa memikirkan ulang semuanya."

Anye menolehkan kepalanya. Menemukan Vano yang tersenyum kearahnya, Anye balas tersenyum. "Terimakasih. Terimakasih Mas."

"Always Nye." Tangan Vano ternagkat mengelus kepala Anye yang terbalut jilbab. "Masalah kamu, adalah masalah saya juga. Ngerti?"

"Saya, akan berusaha tumbuhin rasa buat Mas. Saya janji." Anye berucap yakin.

Vano terkekeh. Lega rasanya saat melihat Anye sudah tenang. "Saya akan bantu kamu."

Anye mengernyit, "Bantu apa?"

"Saya akan buat kamu jatuh cinta sama saya, Anye." Vano menjawab yakin.

"Saya percaya." Anye mengangguk.

"Saya butuh kamu agar jangan goyah dan kembali kepada Bian. Bisa?"

"Kenapa saya harus kembali kepada Bian? Meskipun saya cinta..." Anye menghela napas. "Tapi saya yakin tidak akan kembali kepada Bian."

"Really?"

"Sure!" Anye mengangguk yakin. "Saya yakin, sakit yang Bian ciptakan untuk menghancurkan saya mampu menyingkirkan rasa cinta saya. Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya hanya butuh waktu."

"Thank you, Nye"

Anye menolehkan kepalanya manatap Vano saat mendengar ucapan bernada tulus dari Vano. "Thank's for?"

"You and chance for me."

"Saya nggak kasih Mas kesempatan, ihh. Mas aja yang main serobot."

Vano terkekeh. "Gak papa, yang penting kamu suka."

Bibir Anye mencebik meski akhirnya berhias tawa. "Enak aja! Kan Mas yang suka saya. Emang pesona Anye tuh sudah tidak bisa diragukan lagi."

"Pede nyaaa." Vano menyentil pelan kening Anye.

Anye menatap Vano tak terima. Tangannya dengan gesit memukul-mukul lengan Vano yang terbalut kaus. Sedangkan Vano hanya terkekeh sebelum akhirnya kembali membawa Anye bersandar kedadanya. Anye menolak halus dengan mendorong pelan dada Vano. Tapi Vano menahannya, sebelum bisikan yang mampu menenangkan hati Anye didengarnya.

"Shutt...sebentar saja. Saya hanya ingin kamu memastikan... Ada saya disisi kamu."

💐💐💐

Mas Vano ihh, kan aku jadi pengen😂

Thanks for reading
#yss👑👑👑

AnyelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang