Anye memilih duduk diam disofa empuk diruang tamu. Didepannya berdiri suaminya dan seorang wanita berpakaian ketat yang berdiri disebelah suaminya. Anye membenarkan jilbab biru dibahunya sebelum menatap kedua orang didepannya.
"Aku sudah tunggu sebulan buat kamu jujur, ternyata pagi ini kamu malah berani gandeng dia kedepan aku" Anye berucap takjub.
Bian menatap Anye datar, tak ada ekspresi apapun diwajahnya. "Bukankah ini yang kamu mau?"
Anye mengangguk, matanya yang kelihatan bengkak menatap tajam Bian. "Aku cuma gak nyangka, aku kira wajah datar kamu menandakan kamu sudah tidak tertarik dengan apapun" Anye terkekeh diujung kalimatnya.
"Anye!" Bian menggeram.
"Apa?" Anye tidak akan diam saja, dan Anye tidak akan menangis lagi. Cukup sudah air mata berharganya dibuangnya sia-sia untuk lelaki sejenis Bian.
"Aku mau cerai!" Ucapnya final. Ia sudah berpikir matang-matang, nyatanya memang ada untungnya Bian memilih untuk mereka menunda mempunyai anak, jadi Anye tak perlu memikirkan bagaimana dampak kepada anaknya nanti.
"Kenapa?"
Apa katanya? Kenapa? Apa lagi yang harus Anye jelaskan? Bukankah semuanya sudah jelas?.
"Apa uang yang aku beri kurang?" Bian melanjutkan. Alisnya terangkat menelisik pandangan Anye.
Anye menipiskan bibirnya, ia tertawa sumbang. "hahaha, kamu lucu! Kamu fikir aku disini hanya karena uang?" Anye menarik napas, "seorang lelaki pernah bersumpah dihadapan makam kedua orang tuaku dan Tuhanku bahwa ia mencintaiku. Aku mengabdikan diri kepadanya atas dasar cinta. Aku percaya cintanya besar kepadaku, tapi aku tak menyangka ia bisa membaginya menjadi dua" Anye terkekeh, hatinya terasa perih saat melihat tangan Bian menggenggam erat tangan wanita lain. Tapi Anye harus berubah, ia tidak bisa hanya menjadi Anye yang lemah.
Wajah Bian mengeras mendengar ucapan Anye.
Anye berdiri, berjalan mendekati Bian dan seorang wanita bermake up menor disebelahnya.
"Armitha Nindia, nama kamu bagus. Dan aku yakin artinya juga sama bagusnya seperti nama kamu." Anye tersenyum sinis, "tapi dek, kamu belum ngerti gimana pernikahan. Dan aku jamin, Bian juga akan membuang kamu."
"Anye!!!" Bian berteriak marah.
Anye mengangkat tangan, menyerah. Ia terkekeh lalu menatap Bian. "Aku bukan wanita yang gila harta! Aku gak butuh harta kamu! Aku memang yatim piatu, tapi aku sanggup hidup tanpa kamu!"
Bian menatap Anye tajam, "aku gak akan ceraikan kamu!"
"Dan aku gak peduli" Anye menyahut santai. "Bukankah sekarang malah kamu yang gak mau lepasin aku? Ohh, dia kurang? Butuh berapa pelacur lagi?" Anye berucap menantang.
"Baiklah, Mulai sekarang saya menceraikan kamu. Dan sekarang kamu bukan lagi istriku" kata-kata talak langsung meluncur begitu saja dari bibir Bian yang sedang menahan amarah.
Anye tercengang. Hatinya...perih. Kenapa talak itu seakan mencabut separuh nyawanya?. "Terimakasih."
"Kamu tinggal tunggu surat cerai." lanjut Bian dengan suara tenang.
Mitha terlihat melirik Bian sebentar sebelum ikut menatap Anye dengan tatapan sinis. "Aku memang masih muda, tapi aku gak butuh wejangan kamu!" Tantangnya.
"Haha, santai. Aku gak akan usik kalian, dan kamu Bian, aku akan buktikan perkataanku!. Kamu akan segera menemukan balasanmu!"
Setelah itu Anye berlalu dari hadapan keduanya, Anye berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarnya dan kamar Bian--dulunya--.
Setengah jam berlalu, Bian masih tetap berdiri terdiam ditempat. Sementara Mitha sudah duduk disofa yang tadi diduduki Anye.
"Udahlah Mas, bukannya itu yang kamu mau dari dulu?" ucap Mitha santai.
Mitha benar, tapi entah kenapa Bian merasa ada sebagian dirinya yang ikut hilang dibawa Anye. Bian menggelengkan kepalanya, ini sudah benar. Ia sudah muak dengan Anye dan segala tentang Anye. Anye hanya beban dihidupnya selama dua tahun ini, ia benar, apa yang sudah dilakukannya ini benar.
Tak lama, terdengar kembali suara langkah kaki menuruni tangga.
"Saya tunggu surat cerai dari anda. Dan ingat, jangan pernah anda memunculkan wajah anda kedepan saya lagi!" Anye menekankan setiap kata dalam kalimatnya.
Bian menegang saat mendengar Anye kembali menyebut dirinya dengan sebutan saya.
"Karena, saya jijik dengan anda!" setelahnya Anye berlalu dari hadapan Bian.
"Assalamualaikum" suara Anye terdengar dari depan pintu.
"Waalaikumussalam" Bian menjawab lirih.
Bian menatap pintu dibelakangnya yang sudah tertutup. Anye tetaplah Anye. Bedanya kali ini, Anye bukanlah Anye-nya lagi.
🍂🍂🍂
Hai hai hai, aku muncul lagi dengan cerita baru yang tentunya saat melenceng dari dua ceritaku sebelumnya, hehe.
Cerita ini terinspirasi--dicatet ya, TERINSPIRASI, bukan menjiplak--dari cerita yang aku baca. Dan aku sangat suka-suka-suka dengan karakter Anye disini.
Test drive dulu wkwk😂
Semoga sukaaa
#yss👑👑👑
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir
RomanceNamanya Anyelir Gilsha Hizbya, panggilannya Anye. Seorang muslimah berjilbab yang suka sekali memakai kulot. Tapi dia juga wanita berusia 26 tahun yang kini harus menelan pahit-pahit perselingkuhan yang dilakukan suaminya. Seorang wanita malam dari...