"I-itu Tenri, kan?!"
Pekikan dari Zanna berhasil mengembalikan kesadaran Nayara. Puluhan orang seketika mengerubungi tubuh Tenri, berdiri dan memperhatikannya tanpa ada yang membantu.
"Minggir!"
Liam berteriak lantang. Dia menatap nyalang seisi kantin dengan gagang sapu yang dikibas-kibaskan untuk menjauhkan orang dari jangkauannya.
Di sampingnya, Felix melakukan hal yang sama. Sorot matanya yang selalu sayu mengisyaratkan pada semuanya untuk membuka jalan. Sebelum mendekati tubuh Tenri yang terkapar di lantai, dia juga sudah menyuruh satu temannya untuk memanggil guru.
Felix berjongkok. Satu tangannya terulur meraba leher Tenri. Cowok blasteran Australia-Indonesia itu mengembuskan napas berat. Dia menatap Liam lalu menggeleng.
Tidak ada denyut nadi. Tenri memang benar-benar sudah mati.
"Bro, ada kertas di tangannya," beber Liam sambil ikut-ikutan berjongkok. Pelan-pelan dia mengambil kertas yang sudah tergulung dalam genggaman Tenri lalu memeriksanya.
Definisi memeriksa versi Liam adalah membaui, membalik-balikkan, dan menimbang-nimbang kertas itu. Baru setelah itu dia benar-benar membaca isinya.
"Maaf, aku nggak sanggup lagi. Aku berharap kematian ini dapat mengambil semua rasa malu yang sudah kutebar pada orang sekitarku. Aku pergi, bersama bayiku."
Apa-apaan itu? Liam berusaha keras untuk tidak meremas kembali kertas itu. Sepertinya yang dia baca barusan adalah surat wasiat. Untungnya dia mengecilkan volume suaranya sehingga tidak banyak yang mendengar isi kertas itu.
Hanya sampai di situ tindakan Liam dan Felix sebelum akhirnya Pak Hamid—guru BK di SMA Bumi Khatulistiwa—datang dan membubarkan kerumunan.
•••
Sisa pembelajaran tetap dilangsungkan. Walau berusaha mencerna rentetan materi yang diajarkan, Nayara tetap tidak bisa mengusir bayangan keadaan Tenri yang melekat di otaknya dalam waktu yang cukup lama.
Nayara memutar-mutar pulpennya. Saat menolehkan kepala, dia melihat Zanna sedang menggigit kuku dengan air muka yang pucat dan tubuh yang sedikit bergetar.
"Nggak usah nyalahin diri lo," bisik Nayara sambil menarik tangan Zanna agar tidak terus-terusan digigit.
Zanna menatap Nayara dengan air mata yang berusaha ditahan. Wajah pucatnya penuh akan penyesalan yang mendalam. Dia bergumam lirih, "Gue ikut nyebar aibnya. Gue juga bertanggung jawab atas kematiannya."
Tidak ada yang bisa Nayara lakukan selain mengusap pelan punggung sobatnya itu.
Semua orang berhak merasa takut atas kejadian yang terjadi di luar prediksi. Nalurinya, manusia akan merasa bersalah saat kemampuannya tidak berguna untuk orang yang membutuhkannya.
Jujur, Nayara juga dipenuhi rasa bersalah. Berulang kali dia mengutuk dirinya yang membeku saat sebenarnya dia bisa menolong Tenri dengan menjeda waktu.
Karenanya, Nayara mengerti dengan kegelisahan yang ditunjukkan Zanna. Kesalahan yang dia perbuat, walau tidak disengaja memang bisa menjadi satu penyebab kematian Tenri.
Ditinggal mati dengan keadaan yang tidak wajar memang memberi efek nano-nano.
Apalagi yang mati itu adalah teman sekelasnya.
•••
Suasana malam yang kali ini lumayan sepi tidak membuat Nayara mengurungkan niatnya. Dia menguatkan ikatan tali sepatu, membenarkan posisi topi lalu mulai berlari.
Lagu yang mengalun dari earphone di telinganya membuatnya semakin bersemangat. Dengan setelan pakaian serba hitam yang dia gunakan, Nayara berlari mengelilingi kompleks perumahannya.
Salah satu kegiatan yang tidak pernah Nayara lewatkan adalah olahraga. Dan lari adalah favoritnya.
Tiba di persimpangan, tak jauh di depannya, Liam juga berlari dengan semangatnya. Cowok itu terus memacu langkah sambil menggumamkan sesuatu yang tidak terlalu didengar Nayara.
"La la la. Aku senang sekaliiiiii. Doraemon," racau Liam sinting.
Ketika berlari tepat di belakang cowok itu, Nayara berusaha menahan rahangnya agar tidak menganga saking terkejutnya.
Demi apapun, dilihat dari belakang, badan dan suara Liam tidak ada nyambung-nyambungnya. Cowok itu memiliki tinggi sekitar 183, sebuah tinggi badan yang jarang dimiliki anak SMA. Jadi, wajar saja Nayara kaget mendengar suara yang dibuat imut-imut ketika menyanyikan lagu doraemon itu.
Tetapi Nayara lebih kaget ketika dia berhasil menyamai langkah lari Liam, dan melihat ekspresi cowok itu.
"Yaa Tuhan, tengilnya," ucapnya dengan napas yang ngos-ngosan.
"Hah?" Liam menghentikan larinya diikuti Nayara. "Doraemon tengil?"
"Elo yang tengil," beber Nayara. Dia ingat dengan cowok di sampingnya itu. Di kantin, Nayara baru sadar dia sedikit 'kagum' dengan aksi cowok itu bersama temannya. Ketika yang lain hanya sibuk memerhatikan, dia dan temannya maju dan mengecek kondisi Tenri.
Tapi, membandingkan ekspresi cowok itu sekarang dan saat di kantin, jelas jauh berbeda. Alih-alih keren dan berwibawa, Nayara justru hanya melihat cengiran lebar dan sorot mata 'sinting' dalam wajahnya.
"Loh, kan gue sekarang lagi jadi doraemon. Berarti doraemon juga tengil dong?"
"Serah," decaknya dongkol. Semakin dongkol lagi saat muka Liam benar-benar berubah jadi bloon. Seolah-olah cowok itu memang tidak mengerti arah pembicaraannya.
Nayara melanjutkan larinya. Dia menambah kecepatan ketika mendengar suara langkah kaki tepat di belakangnya. Ketika dia memelankan larinya, suara langkah kaki itu juga ikut memelan.
Cewek berambut hitam itu bergidik ngeri mendengar sebuah tawa menggelegar. Liam terbahak-bahak. Menurutnya, asik juga menakut-nakuti orang. Ya walau Liam tau Nayara tidak benar-benar takut.
Mendadak, Nayara berhenti berlari membuat Liam menabrak punggungnya. Liam terhuyung-huyung ke belakang. Dia menyeimbangkan tubuhnya. Saat mengedarkan pandangan lagi, Nayara sudah tidak ada. Cewek itu sudah lari duluan dan menghilang.
Ada yang aneh.
Selain jantungnya yang dugeun-dugeun, ini kali kedua Liam tidak bisa membaca ingatan orang. Dan itu semua terjadi saat Nayara ada di sekitarnya.
Apa ini artinya...
∆∆∆
Udah panjang, kan?
Algriff Spinx.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just For a Moment (REVISI)
Mystery / Thriller"Karena sikap lamban lo, tiga orang itu mati." "Apa?" "Lo istimewa, Na, sama seperti yang dibilang partner gue. Lo bahkan jadi alasan kenapa dia membunuh tiga orang itu." "Maksudnya?" "Lo pikir kenapa semua korban berada di kelas yang sama dengan lo...