"Oh, jadi kamu temannya, ya?"
Nayara mengangguk. Berusaha mempertahankan ekspresinya yang sedih itu. "Saya dengar kondisi Nada. Saya turut berduka cita atas kepergian anak Tante."
"Terima kasih, Nak," ucap wanita yang dipanggil tante oleh Nayara. "Saya bersyukur masih ada yang peduli sama Nada. Jauh-jauh saya datang ke sini hanya untuk melihat kenangan dia."
Nayara menunduk. Dia merasa seperti penjahat. Di depan ibu Nada yang terlihat sangat sedih dengan kepergian anaknya, dia malah datang ingin mengambil barang peninggalannya. Secara diam-diam pula.
Saat kedatangan Nayara di rumah Nada, ada seorang wanita dewasa yang diketahui sebagai ibu Nada.
Nayara tidak berbohong saat ditanyai identitasnya. Dia hanya mengatakan sebagian maksud kedatangannya agar ibu Nada tidak curiga.
"Tante, saya boleh masuk ke kamarnya? Cuma pengen lihat-lihat kenangan Nada..."
"Boleh, Nak." Dengan pelan ibu Nada menuntun Nayara pada sebuah kamar dengan pintu warna cokelat. "Silahkan masuk. Ibu tinggal sebentar."
Buru-buru Nayara masuk dan mencari-cari di sekitar kamar Nada. Dia terlalu fokus sampai tidak sempat memperhatikan kondisi dan nuansa kamar itu.
Nayara bersorak dalam hati kala melihat sebuah laptop hitam di atas tumpukan buku-buku di meja.
Sebagai perencana yang baik, Liam sudah menginstruksikan mereka untuk datang ke rumah target masing-masing dengan membawa tas ransel yang cukup besar.
Katanya itu sebagai persiapan kalau-kalau barang yang mereka temukan berukuran besar dan tidak bisa dibawa tanpa menimbulkan kecurigaan.
Yah, setidaknya itu terbukti membantu sekarang.
Nayara memakai kembali tasnya setelah memasukkan laptop Nada.
Berbalik, dia berdiri tegak saat ibu Nada masuk membawa segelas minuman yang terlihat menggiurkan. Setelah minum dan berbicara singkat dengan ibu Nada, dia pamit pergi.
Di jalan menuju tempatnya memarkir motor, Nayara tersenyum tipis. Memakai helm, dia memacu motornya menjauh.
Mission clear.
•••
Beda dengan Felix dan Nayara yang masuk ke rumah target secara terang-terangan, Liam justru sebaliknya. Hampir saja dia langsung masuk ke rumah Arka kalau saja tidak mendengar kegaduhan dari dalam sana.
Rumah Arka minimalis. Dilihat dari depan seperti kurang terurus. Pagarnya berkarat dan mulai miring, rumput-rumput tumbuh meninggi di sekitarnya.
Dari jarak posisi Liam saja, dia bisa melihat pantulan orang-orang berseragam SMA yang hampir semuanya memegang senjata seperti kayu atau tongkat bisbol.
Liam menelan ludah. Dari pada harus melawan orang-orang itu dengan otot, lebih baik dia berpikir cara agar perhatian merek teralih.
"Mumpung lagi nggak diperhatiin, gue lewat belakang aja," katanya pada diri sendiri. Pagar yang terbuka itu seperti memanggilnya masuk.
Liam mengambil batu, lalu melempar jendela depan hingga pecah dan berbunyi keras.
Saat fokus mereka teralihkan, langsung saja dia berlari ke bagian belakang rumah lewat tembok pembatas. Liam menarik kenop pintu belakang lalu masuk.
Pandangannya memaku satu pintu. Arka tinggal sendirian karena kabur dari rumah ayahnya. Dalam situasi itu, dia tidak mungkin mau ayahnya datang ke rumahnya. Jadi, sudah pasti ruangan yang tertutup rapat itu merupakan kamar Arka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just For a Moment (REVISI)
Mystery / Thriller"Karena sikap lamban lo, tiga orang itu mati." "Apa?" "Lo istimewa, Na, sama seperti yang dibilang partner gue. Lo bahkan jadi alasan kenapa dia membunuh tiga orang itu." "Maksudnya?" "Lo pikir kenapa semua korban berada di kelas yang sama dengan lo...