7. Kacang Almond Gosong

290 56 51
                                    

Hari itu mereka habiskan dengan mengenang Tenri. Entah bertukar cerita mengenai ingatannya bersama Tenri, atau menyanyikan lagu sebagai pengingat .

Lalu satu persatu mulai pamit pulang ketika matahari hampir terbenam. Nayara mengambil amplop dari dalam tas, lalu memasukkannya ke kotak hitam di  dekat foto Tenri. Amplop itu nantinya akan dikumpulkan dan diberikan sebagai bentuk belasungkawa kepada paman Tenri ketika beliau sudah kembali dari luar negeri.

Nayara menghampiri Aurel yang sedang berbincang dengan Putri. "Guys, gue pamit pulang, ya."

"Nggak mau bareng gue, Na? Tadi kata Liam ban motor lo kempes," ucap Aurel ramah.

Putri menambahkan, "Iya, Na. Gue juga pulang bareng Aurel kok."

Nayara tahu betul rumahnya dengan rumah dua orang itu berlawanan arah. Dia menggeleng. "Nggak deh. Gue pesen taksi on—"

"Weits weits weits," sosor Liam yang tiba-tiba muncul. Nayara mendengus saat perkataannya di potong. Liam cengengesan. "Percuma dong, gue bawa mobil kalo gak bisa dipake buat jodoh gue.”

"Siapa jodoh lo?" tanya Aurel penasaran.

"Dia." Liam menunjuk Nayara terang-terangan. "Udah baik, cantik, tinggi banget pula. Mana sikapnya uwuu begitu."

Nayara mengepalkan tangan kesal. Namun dibanding itu, rasanya lebih malu banget jadi pusat perhatian setelah ucapan gila Liam. Terlebih mereka menatapnya dengan wajah yang berkedut seperti menahan tawa.

"Gue cabut ya!" pamit Liam sambil menarik tangan Nayara.

Aurel mengamati interaksi itu. Sedikit heran dengan Liam yang terkenal dengan sikap gila dan absurd tapi tidak suka disentuh, mendadak sering melakukan kontak fisik dengan Nayara.

Tiba di mobil, sudah ada Felix yang menunggu sambil bermain ponsel. Telinganya tersumpal oleh earphone putih. Nayara sedikit mengerutkan kening ketika wajah Felix yang biasanya selalu terlihat suntuk kini berkilat penuh adrenalin.

"Nggak usah heran. Selain pelajaran dan game, mukanya emang kayak orang kehabisan energi," beber Liam. Dia membawa mobilnya menjauh dari rumah Tenri.

Nayara mangut-mangut. "Kenapa dia selalu duduk di belakang?"

"Yaa ... biar kalo selesai main game, dia bisa langsung tidur."

"Heh! Lo ngomongin gue kayak gue nggak ada disini aja," protes Felix membuat Liam menyemburkan tawanya keras-keras.

Dua orang ini memang sedikit berbeda. Mungkin kata 'unik' adalah kata paling halus yang bisa Nayara temukan untuk menjelaskan karakter dua manusia itu.

"Tadi gue udah nelpon bengkel langganan gue buat ngangkut motor lo. Sekarang kita tinggal ambil aja."

Nayara mengangguk pelan. Setelah menyandarkan punggungnya yang terasa lumayan pegal, dia berujar, "Hmm. Makasih."

•••

"Bang, motor yang tadi udah selesai, kan?"

"Udah, kok. Tuh, tinggal diambil aja," tunjuk abang-abang montir yang sepertinya kenal akrab dengan Liam.

"Biar gue yang bayar," kata Nayara cepat ketika melihat Liam merogoh saku ingin mengeluarkan dompet. Cewek itu menggoyangkan jari telunjuk di depan wajah Liam sebelum cowok itu mengeluarkan kalimatnya. "Gue punya uang, kok."

"Tapi," Liam menggaruk kepala salah tingkah setelah mendapat pelototan dari Nayara. "oke deh."

Nayara memberikan sejumlah uang kepada Si abang montir sesuai tarifnya.

"Beli minum bentar, kuy," ajak Liam. Nayara mengikut saja saat Liam berjalan menuju kedai di samping bengkel. Cowok itu membuka kulkas dan menoleh. "Mau minuman apa?"

"Coca cola aja." Naya menerima sekaleng minuman yang disodorkan padanya. "Felix gimana?"

Liam mengibaskan tangan enteng. "Palingan dia lagi tidur. Entar gue bawain ke mobil aja punya dia."

Nayara tidak menjawab. Dia meneguk minuman itu setelah membukanya. Rasanya sensasi segar dan menusuk-nusuk yang membanjiri tenggorokan bisa membuat pikirannya sedikit rileks.

Mata cokelat terang cewek itu memandang langit. Pikirannya jauh menerawang. "Tenri ... pasti ada di antara satu bintang itu, kan?"

Liam diam sambil menatap cewek itu dari samping. Cewek super tinggi —sekitar seratus tujuh puluh kalau tidak salah— yang membuatnya merasa semakin gila. Okelah, Liam sadar diri dengan tingkahnya yang 'sedikit' absurd. Tapi sejak sering menghabiskan waktu dengannya, tingkah itu seperti mau keluar semua.

Dan Liam mati-matian menahannya. Soalnya, bisa illfeel Nayara jika keseringan melihatnya seperti orang gila.

"Selama hidupnya, dia pasti kesepian banget. Sampai milih buat bunuh diri," kata Nayara membuyarkan lamunan Liam.

"Lo bener-bener mikir dia bunuh diri?"

"Iya..."

"Why?"

"Karena itu hasil penyelidikan polisi, kan?"

Liam menenggak minumannya. "Lagi?"

"Karena..." Nayara mendadak bingung memilah kata. "mungkin dia udah nggak sanggup?"

Liam tersenyum simpul. Dia menangkap sinar keraguan dari mata cewek itu. "Sekarang gue tanya. Apa yang paling lo ingat dari Tenri?"

"Senyumnya," sahut Nayara cepat. "Senyumnya tulus banget."

"Nah. Menurut lo, senyum itu ada menyiratkan rasa putus asa, nggak?"

Sebuah kesadaran baru menghantam Nayara. Dia menggeleng pelan. "Nggak. Walau auranya suram, sinar matanya selalu nunjukin kekuatan yang ngejreng."

"Apa dengan begitu, lo masih anggap kematiannya sebagai bunuh diri?"

Lagi, Nayara menggeleng pelan. Liam tidak melunturkan senyumnya. "Satu lagi. Lo gak sadar, kah?"

"Apa?"

"Di hari kematian Tenri, ada bau kacang almond gosong yang menguar dari tubuhnya."

Sial.

Nayara ingin menguburkan dirinya dalam tanah saking merasa bodoh.

Bagaimana bisa dia tidak sadar?

∆∆∆

Buat yang jago kimia, pasti udah bisa nebak.

See you later,
Algriff Spinx.

Just For a Moment (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang