32. Flashback

206 28 1
                                    

Note : Semua isi chapter ini adalah flasback.

∆∆∆

Aurel PoV

Delapan tahun yang lalu...

Dari dulu, aku selalu disuguhkan ratusan kertas berbahasa rumit yang sama sekali sulit kumengerti. Ayah dan Ibu bilang, kertas-kertas itu adalah pedoman yang harus kupelajari agar nantinya bisa memimpin perusahaan dengan baik.

Aku adalah anak tunggal dari keluarga inti Pratama, salah satu keluarga paling terhormat dan terkaya lantaran punya perusahaan raksasa yang bergerak dibidang pertambangan emas. Ayahku adalah pemilik perusahaan Pratama Corporation,  sedangkan Ibu adalah wanita berpendidikan tinggi yang juga berasal dari keluarga terpandang.

Karena mereka sama-sama punya pekerjaan dan tanggung jawab yang sangat besar, aku jadi sering ditinggal sendirian di rumah. Tidak benar-benar sendiri sih, melainkan bersama tumpukan berkas-berkas proyek perusahaan.

Tidak jarang juga mereka berdua bahkan pergi ke luar kota, mengurus sesuatu hingga tidak pulang berhari-hari. Seingatku, mereka pernah tidak pulang seminggu penuh karena ada masalah di salah satu cabang perusahaan.

Aku tidak keberatan. Hanya saja, setiap mereka pulang, yang selalu pertama kali ditanyakan hanya seputar apakah aku sudah membaca dan memahami berkas-berkas yang mereka tinggalkan bersamaku.

“Coba jelaskan bagaimana prosedur yang benar untuk  menangani masalah di lapangan kerja.”

Seperti biasa, Ayah akan mengajakku masuk ke ruang kerjanya, lalu menanyaiku dengan suara yang rendah seperti geraman yang kelihatannya bisa menghabisiku jika aku salah menjawab.

Aku menyahuti pertanyaan itu dengan suara pelan. Bukan karena aku gugup atau takut padanya, tetapi karena saat ini suaraku memang sedang kecil. Kulihat Ibu masuk ke ruangan ini sambil membawa nampan berisi segelas teh herbal milik Ayah.

“Kenapa suaramu pelan? Kamu gugup?” cecar Ibu setelah menaruh nampan di meja. “Berikan berkas-berkas perusahaan yang lebih banyak padanya. Dia masih tidak mengerti betapa pentingnya wibawa dan kepercayaan diri dalam memimpin.”

“Benar juga. Besok akan aku suruh Sekretaris Dua untuk membawa berkas itu ke kamarnya,” angguk Papa.

Satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah tersenyum. Setiap saat.

Memang begini keseharianku. Kalau tidak ditinggal berhari-hari sendirian dengan tumpukan berkas dan sebuah Black Card, ya aku pasti hanya disidang seperti ini. Sedikit saja ada kesalahan yang kulakukan, jumlah berkas yang mereka berikan pastinya akan bertambah.

Mereka lupa ya, aku masih bocah sembilan tahun?

•••

Karena keseringan menghabiskan waktu sendirian di rumah, aku jadi jarang bersosialisasi. Kebanyakan tidak benar-benar berteman denganku, orang-orang hanya mendekat karena tahu aku anak konglomerat.

Aku hanya sering dibawa ke acara pertemuan para petinggi. Yang kulihat di sana hanya wajah-wajah datar, atau orang yang melemparkan candaan garing hanya untuk menarik perhatian. Aku dipaksa berbaur dengan orang-orang berumur puluhan tahun di atasku.

Kalau tidak bisa mengimbangi percakapan itu, sampai di rumah Ayah dan Ibu pastinya akan menyidangku lagi. Mereka berbicara panjang lebar tentang pentingnya hal ini-itu, mereka mencecarku dengan berbagai tuntutan.

Awalnya aku ketakutan setengah mati. Aku bisa meringkuk di pojok kamar semalaman dengan mata terbuka lebar, sambil memikirkan bagaimana kehidupanku terus bergerak di bawah kendali mereka.

Awalnya aku marah, sedih, kecewa dan frustrasi. Satu pertanyaan terus bertengger di benakku, mengusik keseharianku hingga semua yang kulakukan kacau balau.

Apa anak lain juga hidup seperti ini?

•••

Tapi itu hanya awalnya. Kini, aku tidak bisa merasa apa-apa lagi. Aku kesulitan berekspresi dan mencerna makna ekspresi orangtuaku.

Just For a Moment (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang