Liam memukul-mukul meja bak tukang gendang handal. Cowok itu bersorak-sorak, memenuhi seisi kelas dengan suara pukulan dan teriakan yang amat nyaring. Jam istirahat ini, dia memang sedang menunggu sesuatu. Dan dalam masa menunggulah, dia menciptakan kegaduhan.
"Asek-asek uhuuy! Asek-asek uhuuuy!" teriaknya semakin menjadi. Dia membuka mulut, menarik napas dalam-dalam, lalu bersiap mengeluarkan teriakan terbaiknya. Tangannya masih menggendang meja. "AZIK-AZIK! UHUUU-AW! SAKIT BEGO!"
"Makanya diem." Felix, masih dengan mata sayunya melempar Liam dengan Pulpen yang sedari tadi dia pegang. Telinganya pengang mendengar suara cowok itu yang sama sekali tidak berfaedah. Dia menguap tidak peduli saat Liam terus mengaduh kesakitan.
"Nggak bisa gitu, dong!" protes Liam. "Masa orang yang bersorak buat memeriahkan suasana disuruh diem? Apa kata rakyat gue nanti?"
"Nggak ada yang mau jadi rakyat lo."
"Eh jangan salah." Menunjuk semua dinding, Liam cengengesan. "Lihat! Semut-semut itu bahagia kok, gue sorakin."
Felix yang kali ini berkutat dengan laptopnya tidak membalas perkataan Liam. Percuma juga. Dia punya seribu satu cara untuk membuatnya menerima tingkah absurd sobatnya itu. Asal Liam tidak ribut, Felix bisa mengerjakan sesuatu di laptopnya dengan tenang.
Liam masih cengengesan ketika ponselnya berbunyi diringi getaran singkat. Merogoh saku celana, ekspresinya berubah setelah membaca pesan dari Nayara. Kini dia mendekati Felix, dengan raut serius yang menghias wajahnya
Dia menunjukkan pesan itu, membuat Felix yang awalnya fokus pada laptop langsung membagi perhatiannya. Mereka bertukar pandangan, lalu kompak menoleh pada seseorang di pojok belakang kelas yang sedang bermain ponsel dengan kedua kaki dijulurkan di atas kursi.
Liam kembali menatap Felix, memberi kode yang dibalas gelengan kepala. Felix menunjuk laptopnya. "Cari bukti yang pas dulu, baru kita samperin dia."
"Lo butuh berapa lama lagi?" tanya Liam setelah mendaratkan bokoknya di kursi. "Apa sistemnya terlalu kuat untuk dibobol?"
Felix mengetik dengan gerakan yang luar biasa cepat. Matanya fokus pada deretan kode-kode di layar hitam laptopnya. "Lumayan. Tapi masih bisa. Sistemnya pake keamanan online, lebih mudah diretas dari pada yang offline."
Ya. Apa yang dari tadi dikerjakan Felix di laptopnya adalah hacking. Dia punya pengetahuan basic tentang itu. Walau tidak sehebat hacker-hacker kebanyakan, Felix pernah meretas CCTV sekolah dan menyebarkan rekaman manipulasi soal matematika ke seluruh penjuru sekolah. Hal yang membuat gempar sampai guru-guru kebingungan mencari dalangnya.
Sekarang dia kembali mencoba meretas keamanan CCTV sekolahnya. Walau kabelnya putus dan sudah tidak merekam lagi, mereka percaya ada sepotong petunjuk yang bisa diambil. Toh, mereka tidak tahu kapan kabel itu putus. Bisa jadi pelakunya baru sadar ada CCTV yang menyorot setelah dia melakukan kejahatannya.
Selama sepuluh menitan Felix berkutat dengan Liam yang kali ini diam menunggu. Segaris senyum terukir di bibir Felix, bersamaan dengan jarinya yang menekan tombol enter. Puluhan file CCTV terpampang di layar laptopnya.
Selayaknya mendapat jackpot, Liam menepuk-nepuk punggung Felix. Ikut tersenyum bangga pada sobat cerdiknya itu. Dia bersiul. "Emang jago lo."
Felix meregangkan tubuhnya sejenak, lalu memalingkan wajah pada Liam. "Kita buka file di hari kematiannya Tenri?" tanyanya membuat Liam mengangguk. Felix menekan beberapa file dan memilah berdasarkan tanggal. "Nah. Mari kita saksikan perbuatan bejatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Just For a Moment (REVISI)
Mystery / Thriller"Karena sikap lamban lo, tiga orang itu mati." "Apa?" "Lo istimewa, Na, sama seperti yang dibilang partner gue. Lo bahkan jadi alasan kenapa dia membunuh tiga orang itu." "Maksudnya?" "Lo pikir kenapa semua korban berada di kelas yang sama dengan lo...