30. Koma

192 28 2
                                    

“Ayo keluar dari sini!” teriaknya kencang.

Tapi sebelum ada yang mengikuti perkataannya, terdengar bunyi-bunyian mesin yang semakin kencang dari arah rompi Zanna.

Bunyinya makin kencang hingga membuat telinga mereka pengang.

Liam, Felix, dan Zanna sudah menutup mata pasrah, sedangkan Nayara bodohnya malah membeku di tempat.

Timer yang baru disadarinya tertera di bom menunjukkan lima detik dihitung mundur.

Lima

Empat

Tiga

Dua

Satu

Nayara sudah bersiap ingin menjentikkan jarinya untuk menjeda waktu lagi. Tapi kemudian yang terjadi hanya hening beberapa saat.

Timer di bom sudah menampilkan angka 00.00 tapi tidak ada yang meledak. Nayara mendadak bergidik ngeri dengan keheningan itu.

“Apaan nih? Jadi cuma bohongan? Syukurlah.” Liam mengembuskan napas benar-benar lega.

“Lari!”

Nayara berteriak histeris, tetapi mereka hanya menatapnya bingung. “Lari gue bilang!” ulangnya dengan nada lebih tinggi agar mereka segera melakukan apa yang dia perintahkan.

BOOM!!

Terlambat.

Bersamaan dengan suara ledakan dari langit-langit yang amat memekakan, Nayara merasa tubuhnya terpental beberapa meter ke belakang.

Reruntuhan bangunan kontan jatuh menimpanya hingga rasanya seperti mandi hujan batu.

Jadi ini ending yang diciptakan Tuhan untuknya? Dia akan mati tertimbun reruntuhan batu dari bangunan sekolah?

Orang bilang, di saat-saat terakhir sebelum mencapai kematian, kita akan terbayang ingatan seseorang yang paling berharga. Mendadak kita akan merasa penuh penyesalan, hingga berharap diberikan kesempatan hidup untuk kedua kalinya dengan lebih baik.

Tapi, karena tidak ada bayang-bayang semacam itu yang menghampirinya, Nayara asumsikan belum saatnya dia ditakdirkan mati.

Kondisinya kacau.

Kali ini, badannya benar-benar terasa remuk. Dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia akan lebih bersyukur jika dibiarkan pingsan daripada terus-terusan merasa sakit yang bukan main itu.

Walau begitu, tangannya tetap menggapai-gapai keluar dari reruntuhan. Susah payah Nayara bangkit, menegakkan tubuhnya.

Dia terbatuk-batuk, dan darah segar langsung menyembur dari mulutnya.

Tidak bohong, rasanya mengerikan sekali. Dia harus bernapas patah-patah dengan menahan perih di bagian tulang rusuknya—sepertinya ada beberapa yang retak lantaran ditimpa batu yang sangat besar.

Nayara bahkan tidak bisa merasakan apa-apa di bahu kanannya saking mati rasanya.

Gawat!

Nayara tidak melihat satu pun temannya. Kalau belum pergi, kemungkinan terbesar mereka pingsan dan masih tertimbun di sekitaran reruntuhan itu.

Tertatih-tatih dia berdiri dan mengacak-acak semua batu itu dengan satu tangan. Nayara berharap sangat besar untuk keselamatan mereka. Dia menahan erangan ketika rusuknya makin terasa perih.

Sesuatu merembes ke arah sudut matanya dan menetes. Nayara mengusap dahinya dan terbelalak melihat cairan kental berbau amis menempel di tangannya. Pantas saja kepalanya berdenyut-denyut nyeri.

Just For a Moment (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang