20. Berkelahi

195 31 5
                                    

Mungkin kalau ada saat yang tepat untuk mengeluh, maka sekaranglah waktunya. Setidaknya itu yang kompak dipikirkan ketiga remaja SMA itu.

“Kok bisa kabur, sih?” gerutu Liam tidak ditahan-tahan.

Inspektur Leon kelihatan sama. Mukanya juga stres sekali. Ya memang rasanya kesal dan miris. Belum diapa-apakan sudah kabur begitu.

“Dia alesan mau ke toilet. Dan dari situlah dia kabur,” ungkapnya.

“Loh, nggak ada polisi yang dampingin? Masa dia wara-wiri sendirian?” tanya Liam bingung.

“Ya jelas ada, lah. Kamu pikir ini tempat wisata buat wara-wiri gitu?” sarkas Inspektur Leon. “Samudra mukul kepala polisi itu dengan tutup keramik dari kloset. Terus dia kabur dari kaca ventilasi yang terhubung dengan pagar beton pendek.”

Mendengarnya, tiga orang itu sama-sama berdecak kesal. Tapi tak urung Nayara berkata, “Kita mesti nyari dia kalo gitu. Sebelum dia pergi terlalu jauh.”

“Hmm,” gumam Felix. “Ayo.”

“Kalian mau cari dia dimana?”

Tidak ada yang menjawab. Inspektur Leon kian pusing. Masa iya mereka mau langsung pergi? Tanpa persiapan pula. Jalanan di sekitar kantor polisi itu ramai. Berbagai toko di pinggir jalan berjejer rapi, ada banyak penginapan juga.

Samudra bisa masuk dan bersembunyi di mana pun karena tempat itu terlalu luas.

Dan, tidak mungkin, kan, tiga anak ini pergi mencari dan mendatangi satu-satu tempat itu?

“Bang, jangan pusing-pusing gitu. Emang ada orang yang bilang-bilang mau kemana pas kabur?” Liam membuyarkan lamunan Inspektur Leon. “Tadi katanya Samudra kabur lewat ventilasi, kan?”

Inspektur Leon mengangguk. Liam mengatakan perhitungannya. “Kalo gitu kacanya mesti dipecahin, biar dia cukup lewat situ. Dan karena ada pecahannya, pasti ada minimal satu-dua luka yang dia dapat.”

Benar sekali. Perkiraan Liam tidak ada yang meleset. Dia memang bagus dalam soal mengobservasi.

Setelah berpikir baik-baik, Inspektur Leon merasa tolol banget karena langsung mengeluh. Penampilan Samudra pastilah kacau dan berdarah-darah. Jalanan itu mungkin ramai hingga Samudra akan sulit ditemukan. Tapi juga menguntungkan karena orang-orang itu bisa ditanyai.

Dengan alasan itulah kini Nayara dan Liam berada di pinggir jalan. Sementara Felix akan mencari dengan motor dan Inspektur Leon pergi menuju ruang pusat CCTV lalu lintas, merekalah yang kebagian tugas menanyai orang-orang.

“Kita misah, kan?”

Nayara dan Liam saling memandang, lalu menangguk bersamaan. Mereka memacu langkah berlawanan arah. Nayara ke arah kanan, Liam ke arah kiri.

Hampir semua dia tanyai. Nayara menghampiri bapak-bapak penjual cilok di perempatan jalan. Terengah, dia bertanya. “Pak, ada lihat cowok berseragam SMA yang banyak darahnya, nggak?”

Si bapak-bapak langsung berseru. “Oh ... Ada, Neng! Belum terlalu lama lewat di sini, kok.”

“Bapak yakin, kan? Orangnya lebih tinggi sedikit dari saya.”

“Yakin, Neng.” Bapak-bapak itu memegang tusuk pentolnya. “Tadi dia jalan sembunyi-sembunyi, tapi tetep saya perhatikan. Terus saya ikutin, dan tau-tau dia menghilang setelah masuk di sana.”

Nayara mengikuti arah yang ditunjuk kang cilok. Sebuah tempat bermain billiard yang terlihat tidak terawat dan sedikit menyeramkan.

Cat di tembok itu hampir semuanya mengelupas, banyak sarang laba-laba di langit-langitnya. Kalau bukan karena tulisan BILLIARD yang tergantung miring di depannya, Nayara pikir itu hanya tempat kosong.

Just For a Moment (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang