9. Petunjuk

234 46 12
                                    

Baru semalam Nayara memikirkan kemungkinan-kemungkinan pada kasus Tenri yang membuatnya kebingungan. Sekarang, dia dihadapkan satu lagi kematian yang sama sekali tidak diprediksi.

Sepuluh menit yang lalu, dia disuruh oleh Bu Ira —guru seninya— untuk mengambil rekap daftar keanggotaan Klub Musik. Bukannya mendapat apa yang dia cari, Nayara justru disuguhkan sesuatu yang mengerikan.

Semua isi perutnya seperti berlomba keluar. Dia meraih pintu sebagai penopang agar tubuhnya tidak limbung. Nayara masih terpaku saat Liam memegang kedua bahunya.

"Ay, lihat gue," perintahnya. Nayara masih memaku pandangannya pada tubuh yang tergantung di langit-langit. Liam mengguncang bahu cewek itu. "Aya!"

Nayara tersentak. Matanya beralih pada Liam. "Dia Nada," ungkapnya dengan suara serak. "Teman sekelas gue."

Nayara tidak menangis. Matanya juga tidak berkaca. Cewek itu hanya tidak tahu bagaimana harus merespon pada keadaan yang mengejutkan itu.

"Oke. Tenang, Ay. Jangan panik..."

"Gue mesti jeda waktu. Gue mau nyelametin Nada!"

"Nggak bisa." Liam menunduk. "Nada udah meninggal."

Nayara melepaskan tangan Liam di bahunya. Dia berjalan mendekat, mengamati baik-baik keadaan Nada. Kali ini dengan kesadaran yang sudah kembali.

Rasanya menusuk sekali, melihat orang yang baru tadi pagi berada di ruangan yang sama dengannya, kini tergantung tinggi dengan posisi tidak wajar di ruangan yang sepi. 

Tidak lama Felix datang dengan langkahnya yang masih terlihat tenang. Dia mengamati keadaan sekilas.

"Naya, lo bawa kunci ruangan ini, kan?" tanya Felix membuat Nayara mengangguk. Cewek itu memberikan kuncinya saat Felix meminta. Felix menutup pintu lalu menguncinya. "Gue belum panggil guru."

"Loh, kenapa?" Liam bertanya paling awal.

"Ada baiknya kita observasi dulu mayatnya. Sebelum orang lain datang dan heboh manggil guru."

"Hell! Tapi dia butuh diturunin, bro!"

"Lo mau kasusnya ditutup sebagai bunuh diri seperti kasusnya Tenri?" tekan Felix. "Sekali lihat aja, gue tahu itu pembunuhan."

Liam mengacak rambutnya. "Jadi?"

"Sebut gue kejam, tapi gue gak sudi berdiam diri sementara gue tau dia korban pembunuhan," tandas Felix tanpa keraguan. Dia ikut berdiri di samping Nayara, memperhatikan tubuh yang sama sekali tidak bergerak itu.

"Lakuin apa aja." Nayara menoleh kearah Felix. "Selama itu buat ngungkap pelaku yang tega ngambil nyawa temen gue," Cewek itu mengangguk. "gue yang tanggung jawab."

"Hmm," gumam Felix singkat.

"Duh. Gue serasa bejat sendiri," gerutu Liam. Sepertinya dua orang itu salah tangkap. Bukan seperti itu maksud perkataannya. "Apakah manusia penuh dosa ini boleh bergabung dengan baginda raja dan ratu untuk menyelidiki kasus teman kita tercinta?"

"Hmm,"

Liam nyaris melongo saat keduanya bergumam bersamaan. Kalau dipikir-pikir, karakter Nayara dan Felix memang memiliki persamaan. Mereka sama-sama cuek, tapi juga jujur kalau berbicara.

Liam menepuk pelan pipinya. Sepertinya dia sudah melantur terlalu jauh.

"Bukti nomor satu, tangannya terikat," tunjuk Felix pada tangan Nada. "Gimana pun metodenya, dia tetep nggak bisa menggantung lehernya dengan tangan yang udah terikat begitu."

Nayara membenarkan ucapan Felix. "That's right."

Liam tidak ingin tertinggal. Cepat-cepat dia menambahkan, "Bukti nomor dua!" Tangannya menunjuk ke atas. "Langit-langit dan ikatan tali itu terlalu tinggi buat cewek yang berukuran imut-imut kayak dia."

Just For a Moment (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang