23. Menyamar

186 26 1
                                    

Bel pulang berbunyi. Nayara mengambil ponselnya lalu menghubungi Liam. “Kita ke kantor polisi?” tanyanya setelah panggilannya diangkat.

“Nggak, Ay. Kita kumpul di rooftop aja.”

Rooftop sekolah? Sekarang?”

“Iya,” sahut Liam di seberang sana. “Kita langsung eksyen aja.”

Nayara mengiyakan. Sepuluh menit kemudian mereka berkumpul di rooftop. Liam melihat-lihat ke bawah dari dinding pembatas, dan Felix berbaring di kursi yang biasanya dia duduki, pulas tertidur dengan dua tangan sebagai bantalnya.

“Udah lama lo nggak ke sini, kan?”

Nayara menoleh, ikut berdiri di samping Liam. Embusan angin seperti menggelitik, mengusik rambutnya hingga menari-nari. Dia mengikuti arah pandang Liam, pada lalu-lalang kehidupan di bawah sana.

“Hmm, lama banget. Rasanya udah lama juga gue nggak menggambar lagi,” balas Nayara.

“Lo nggak takut?” tanya Liam sembari memperhatikan satu semut yang berjalan di dinding pembatas. “Pelakunya bisa aja sekelas dengan lo. Pelakunya mungkin orang terdekat lo.”

Nayara mengedikkan bahu. “Entah. Makin ke sini, gue udah nggak peduli. Yang penting gue bisa bantu nangkep dia secepat mungkin,” jelasnya. Kepalanya memaling ke arah Liam. “Lo sendiri nggak takut? Pelakunya juga bisa jadi sekelas dengan lo.”

“Kalo gue...” Liam terlihat berpikir sejenak. Sebuah senyum terbit di bibirnya kala menatap Nayara. “cuma mau orang itu membayar apa yang dia lakuin. Mau sekelas atau nggak, dia udah bersalah dengan membunuh orang lain. Dan dia juga punya masalah sama gue.”

“Masalah apa?”

“Dia bermasalah,” ujar Liam menggantung. “karena bikin jodoh gue susah sampe luka-luka gini.”

Dasar.

Nayara mendecih sambil tersenyum kecil. Dia menggaruk lehernya kaku.

Ponsel Liam berdering. Nayara mengangguk saat cowok itu izin mengangkat panggilannya. Setelah beberapa saat, Liam kembali dengan raut cerah dan bingung yang bersatu.

“Kenapa?”

“Abang gue telepon. Dia kasih kabar baik dan buruk. Mau denger yang mana dulu?” tanya Liam memberi pilihan.

“Kabar buruk,” tutur Nayara cepat tanpa pikir panjang. Toh, ujung-ujungnya dia bakalan tahu keduanya dari Liam juga.

“Kabar buruknya, DNA yang ditemukan di mayat Nada nggak cocok dengan DNA Samudra. Dia juga punya alibi waktu kasusnya Arka terjadi,” beber Liam dengan satu tarikan napas.

Nayara memicing, dia bertanya curiga. “Apa alibinya? Apa nggak mungkin dibuat palsu?”

“Dia nggak masuk sekolah di hari Arka meninggal. Dari CCTV jalan, Samudra ada di tempat billiard seharian penuh. Dan baru pulang jam tujuh malam,” jelas Liam.

“Jadi dia nggak terlibat di kasus ini?” Nayara menyugar rambutnya frustrasi. Helaan napas kasar keluar dari mulutnya.

“Nggak juga. Dia masih terlibat, kok. Seenggaknya di kasus Tenri, dia jadi kaki tangan si pelaku,” sangkal Liam sedikit menenangkan Nayara.

“Kabar baiknya apa?” Harap-harap pertanyaan itu dikeluarkan.

Kali ini, Liam berkata sambil menahan senyumnya. “Polisi udah cetak daftar panggilan dari ponsel Samudra. Dan ada beberapa nomor yang ditandai sering ditelepon sama dia. Ternyata ada satu fakta yang nggak kita sadari dari awal.”

Just For a Moment (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang