Nayara kembali ke meja tempatnya meletakkan tas. Dia melirik jam di dinding perpustakaan yang menunjuk angka empat. Ini sudah masuk waktu untuk berkumpul dan mendiskusikan tugas kelompoknya.
Satu persatu temannya mulai datang. Lalu mereka mendiskusikan apa-apa saja yang harus dan tidak harus mereka masukkan dalam makalah tugasnya.
"Ini udah gue tulis sebagian besar poin yang bisa dikembangin. Tinggal cari buku buat riset infonya," kata Nayara setelah membagi-bagikan kertas berisi tulisannya.
"Ini buku yang gue kumpulin. Mungkin sebagian besar bisa dipake ngumpulin infonya," usul Aurel sambil mengeluarkan setumpuk buku cetak dari tas super besarnya.
"Sip. Ayo mulai!" seru Zanna yang kebetulan satu kelompok dengan Nayara.
Kelompok beranggotakan empat orang itu mulai mengerjakan bagian masing-masing. Kecuali satu cowok bertampang lempeng yang terus-terusan menopang pipinya dengan satu tangan. Rambutnya model shaggy dicat highlight biru tua.
Kancing seragamnya terbuka, menampilkan kaos hitam polos di baliknya. Juga telinga bertindik yang dipasangi anting hitam. Di lehernya tergantung kalung berbandul jangkar.
"Arka, ada yang nggak lo ngertiin, kah? Bilang aja, biar gue bantu," tegur Aurel.
Cowok bernama Arka itu melirik Aurel dengan tatapan datar, dia menaikkan sebelah alisnya.
"Atau lo mau gue jelasin cara ngumpulin informasi bagian lo?" tawar Aurel lagi.
"Serah."
Aurel menjelaskan materi yang harus Arka kumpulkan dengan pelan-pelan. Walau Arka tidak bergerak sedikit pun dan menatap buku dengan datar dan tidak antusias, cewek itu tetap tidak menghentikan aksinya.
"Ada buku yang kurang. Gue mau nyari dulu." Nayara beranjak dan mencari buku yang dia butuhkan.
Cewek itu menemukan buku yang dicarinya di jejeran rak yang lumayan jauh dari meja kelompoknya. Dia mengangkat tangan, sedikit berjinjit dan berhasil mengambil buku itu.
Terima kasih lagi pada tingginya yang 170 senti itu. Dia tidak perlu berdrama atau meminta tolong kepada orang untuk mengambilkannya buku di sudut teratas.
Baru satu langkah Nayara berbalik kembali menuju mejanya, telinganya mendengar suara aneh dari belakang. Ketika dia berbalik, yang menyambutnya adalah rak buku raksasa yang terjatuh ke arahnya.
Kemudian dia terjebak dalam kegelapan.
•••
Nayara merasa tepukan keras di pipinya, disusul suara-suara samar yang seperti menggelitik telinganya. Dia berusaha mengumpulkan kesadaran, lalu pelan-pelan membuka matanya.
Tubuhnya seperti sudah dijatuhi beban berkilo-kilo. Terutama di lengan kirinya. Nayara mengetatkan rahangnya, menahan ringisan yang ingin keluar.
Hal pertama yang ditangkap penglihatannya adalah Aurel yang menepuk pipinya. Kepalanya terbaring di paha cewek itu.
"Wah, untung lo nggak mati, Na!" tutur Aurel sambil tersenyum.
Mereka masih di perpustakaan. Hanya saja tubuh Nayara sudah dipindahkan dari rak buku raksasa yang menimpanya. Nayara berusaha duduk, dibantu dengan Aurel. "Gue ketiban rak buku, ya?"
"Iya. Untung Arka langsung bantu ngangkat raknya, terus lo ditarik menjauh sama Aurel," beber Zanna sambil menatap ngeri rak buku yang terbalik itu.
Nayara menatap Arka dan Aurel bergantian. Dia mengucapkan terimakasih.
"Na, you okay?"
"Oke kok, Zan. Lengan gue aja yang agak nyeri." Dia berdiri, diikuti Zanna dan Aurel.
Arka berlalu menjauh, lalu hilang dari pandangan setelah keluar dari pintu perpustakaan.
"Kerja kelompok sampai sini aja. Mungkin lo butuh istirahat," cetus Aurel.
"Gue masih sanggup. Kita lanjut aja."
Aurel menggoyangkan telunjuknya. "Cuma lo doang yang dapet luka kecil setelah ditimpa rak segede gitu," gumamnya. "Lagian, poin yang lo bagiin tadi udah lebih dari cukup. Kita-kita bisa ngerjain di rumah, kok."
Berat hati, Nayara mengangguk setuju. "Tapi buku yang berserakan itu gimana?"
Zanna angkat bicara, "Gue udah tanyain staff sini. Katanya, rak buku itu emang rentan jatuh. Jadi mereka aja yang beresin."
"Yaudah, gue duluan ya, Na," pamit Aurel. Dia melambaikan tangan, mengemasi buku dan tasnya, lalu keluar dari perpustakaan. Di belakangnya Zanna mengikuti.
Nayara memasukkan seluruh bukunya ke dalam tas. Dia meraih kunci motor di saku celananya, lalu berjalan menuju parkiran. Dia menggerak-gerakkan bahunya yang masih saja terasa ngilu.
"You killed them, right?"
Langkah Nayara terhenti kala mendengar geraman khas laki-laki dari balik tembok di depannya. Dia mengedipkan mata.
"Lo yang udah jebak mereka. Ngaku lo!"
Nayara masih berdiri diam. Terus menyimak dan menguping. Dia tidak bohong jika mengaku sedikit kepo dengan pembicaraan itu. Suara bass itu seperti suara Arka, cowok dingin teman satu kelompoknya.
"Tenri dan Nada. Lo bunuh mereka, kan?!"
Tenri?
Nada?
Telinga Nayara terbuka lebar-lebar seolah mendapat tanda-tanda petunjuk. Karena hanya suara Arka yang dia dengar, maka Nayara berasumsi cowok itu sedang berbicara di ponsel.
"Shit!"
Setelah umpatan itu, Arka keluar dari balik tembok. Tampangnya gusar, dengan aura suram yang makin menguar. Dia melayangkan tatapan tajam dan dingin pada Nayara, lalu menaiki satu motor merah yang terparkir tidak jauh dari motor Nayara.
Nayara berusaha berpikir. Dia kepo setengah mati.
Apasih yang mereka bicarakan, sampai membawa nama Tenri dan Nada?
∆∆∆
Algriff Spinx.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just For a Moment (REVISI)
Mystery / Thriller"Karena sikap lamban lo, tiga orang itu mati." "Apa?" "Lo istimewa, Na, sama seperti yang dibilang partner gue. Lo bahkan jadi alasan kenapa dia membunuh tiga orang itu." "Maksudnya?" "Lo pikir kenapa semua korban berada di kelas yang sama dengan lo...