15. Diskusi

205 36 0
                                    

"Nah, coba ceritakan apa aja yang udah kalian temuin."

Setelah perkenalan yang lumayan mengagetkan, mereka berkumpul di satu ruang yang bisa di sebut gedung rakasasa yang ada di rumah Liam. Selain meja yang tidak kalah besarnya, ruangan itu kosong. Di sekelilingnya terdapat jendela yang memenuhi sisi dinding.

Nayara, Liam dan Felix melempar pandangan. Tidak ingin semakin lama, Liam angkat bicara. Dia memaparkan semua info dasar yang telah mereka temukan, tanpa berusaha menambahkan spekulasi-spekulasi pribadinya. Inspektur Leon mendengarkan saksama.

"Kemarin, waktu aku sama Felix ngecek CCTV, nggak ada yang bisa di dapet. Semua yang mengarah ke TKP rusak. Kabel-kabelnya kepotong gitu," tambah Liam.

"Gimana kalo kita mulai dari yang lain dulu?" usul Nayara hingga perhatian kini ditujukan padanya. Cewek itu berdeham, "Gini. Kalo emang mereka dibunuh, pasti pelakunya sama. Ada banyak hal yang bisa kita pake buat mencari kesamaan mereka. Salah satunya, surat yang ditemukan di tangan Tenri dan Nada."

"Tapi, kita, kan, nggak nemuin surat yang begituan di tangan Arka."

"Siapa bilang?" perkataan Liam dibantah Felix. Cowok bermata sayu itu menyodorkan ponselnya ke tengah meja hingga semuanya bisa melihat. Matanya menatap Nayara dan Liam. "Pas kalian berdua lagi sibuk marah-marah, aku observasi singkat mayat Arka. Dan sama kayak dua kasus sebelumnya, dia juga ninggalin surat."

Nayara dan Liam meringis dalam hati. Inspektur Leon diam mengamati. Segera mereka melihat apa yang ditampilkan layar ponsel Felix. Sebuah tulisan dalam kertas yang kusut karena digenggam, tapi masih cukup jelas untuk dibaca.

Liam membacanya keras-keras. "Sori. Gue capek dikejar-kejar masalah. Gue harap kalian sadar keburukan apa yang kalian tebar di hidup gue."

Lagi-lagi, semua surat yang mereka temukan akan membuat orang lain berpikir itu kasus bunuh diri. Andai Liam, Nayara ataupun Felix tidak teliti, rahasia itu akan selamanya terkubur. Diam-diam Inspektur Leon bersyukur orang-orang seperti mereka memiliki peduli yang tinggi.

"Coba kalian pikirkan polanya. Apa ada kesamaan?" tanya Inspektur Leon menguji. Sebenarnya dia sudah tahu, tapi melempar pertanyaan untuk membuka diskusi tidak akan memberi kerugian.

Dahi Liam berkedut-kedut, dia memutar otaknya. Menghubungkan semua isi surat yang sudah dia baca dan menemukan polanya. Dia berkata sambil berpikir. "Pertama, isi suratnya selalu diawali permintaan maaf. Tapi masalah mereka dituliskan seolah itu menjadi penyebab bunuh dirinya. Lalu diakhir kalimat selalu ada harapan yang sarat dengan kutukan."

"Berarti," Nayara mengetukkan telunjuknya di meja. "ketiganya punya reputasi buruk di sekolah. Hal yang dimanfaatkan sama 'Si bayangan' untuk membuat kematian mereka seperti bunuh diri."

"Si bayangan?" tanya Felix yang diangguki Nayara.

"Pelakunya seperti bayangan. Walau jelas disadari, siluetnya tetap sama. Hitam." Julukan dari Nayara membuat mereka yang ada di ruangan itu mengangguk membenarkan. Inspektur Leon bahkan tersenyum kecil. Dari pekerjaannya, dia sudah melihat dan menemukan begitu banyak penjahat berotak encer yang tindakannya di luar kemanusiaan.

"Asal tahu saja, pihak kepolisian mau menutup kasus ini bukan karena tidak ada petunjuk, tapi karena orang-orang besar di sekolah kalian yang meminta," bebernya. "Ditambah, ketiga anak itu punya latar keluarga yang rumit."

"Rumit bagaimana?"

"Tenri, kedua orangtuanya sudah meninggal. Dia diasuh oleh pamannya yang hampir tidak pernah pulang dari luar negeri. Lalu Nada tinggal sendiri, terpisah dengan orangtuanya yang berada di kampung. Sedangkan Arka, ibunya sudah meninggal sejak dia kecil. Dia kabur dari rumah karena ayahnya yang pemabuk dan suka memukulinya."

Nayara menggigit pipi dalamnya. Hatinya bergemuruh. Kenapa? Kenapa orang-orang seperti itu selalu didiamkan? Kenapa tidak ada yang maju dan mencarikan kebenaran hanya karena mereka punya masalah yang tidak mereka inginkan?

Kenapa ada orang yang tega memilih dan membunuh manusia begitu mudahnya?

Nayara berucap, "Dengan fakta itu, jelas kondisi perekonomian mereka tidak dalam kondisi yang baik." Inspektur Leon mengangguk, Liam dan Felix menyimak. "Racun sianida itu jenis racun yang sukar didapet. Nggak semua orang bisa beli. Ditambah, harganya mahal banget."

Yang lain masih menyimak penjelasan Nayara. "Jadi, Tenri dan Arka nggak bunuh diri. Mereka nggak sanggup beli racun mahal dalam dosis besar itu."

"Kesimpulannya, mereka dipaksa buat makan atau minum sesuatu yang udah terkandung sianida," simpul Felix.

"Atau bisa jadi, mereka sendiri yang makan itu dengan sukarela. Tanpa paksaan," sanggah Liam. Dia menggulirkan pandangan. "Coba inget-inget, deh. Nggak ada luka atau bekas-bekas perlawanan di tubuh mereka. Mungkin secara nggak sadar, mereka makan atau minum sesuatu pemberian orang lain yang mereka kenal."

"Cukup masuk akal. Tapi ingat, itu masih bentuk spekulasi. Kita masih harus mencari bukti nyata yang mendukung hipotesis itu," ujar Inspektur Leon.

"Ah, andai ada yang bisa dipake buat acuan." Liam membuang napas. "Semacam foto biar kita bisa lihat kembali keadaan mayat mereka."

"Aku punya salinan foto-foto dokumentasi kasusnya," celetuk Inspektur Leon. Ketika semuanya menatap harap-harap, dia menambahkan, "tapi di kantor."

"Eihh." Liam mencibir. "Kalo gitu mesti nunggu lagi, dong?"

"Nunggu apaan? Gue punya foto-fotonya, kok."

Setelah itulah, kali kedua Felix menyodorkan ponselnya. Bagai superman yang bersinar di tengah kegelapan, apa yang diberikannya menyulut harapan. Di ponselnya terpampang foto-foto TKP. Mulai dari milik Tenri hingga Arka. Beserta foto mayat-mayat mereka yang diambil sebelum diacak-acak oleh pihak manapun.

Ketika semua menatapnya kagum, Felix menguap. Dalam hati dia tersenyum bangga. Mulai dari dia menunggu lama agar bisa mengusir kerumunan di TKP, atau datang paling awal agar TKP-nya masih bersih. Semuanya tidak sia-sia.

Just For a Moment (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang