"Ngapain lo fotoin ini semua?"
Felix mengedikkan bahu. Ya dia tahu, memotret seseorang yang sudah meninggal memang lumayan tidak etis. Tapi dalam situasi seperti itu, semuanya jelas berguna. Mereka tidak perlu menunggu Inspektur Leon untuk pergi mengambil dokumentasi kasus di kantornya -yang mana itu akan membutuhkan waktu yang lama.
"Gue kan, nggak nyebar fotonya."
Inspektur Leon tidak merasa keberatan. Di umurnya yang tergolong masih muda, dia mendapatkan gelar Inspektur bukan tanpa alasan. Dia tangkas dan mampu mengajak orang yang tepat untuk bekerja sama menyelidiki kasus. Bahkan dia diberi keistimewaan untuk melakukan investigasi terbuka dengan siapapun yang dianggap berguna.
Karenanya, alih-alih memilih rekan kerja dari timnya, Inspektur Leon memilih ketiga anak ini. Selain karena mereka berada di semua TKP, kecerdasan dan ketelitian mereka sanggup menarik perhatiannya.
Cukup lama mereka mengamati foto-foto hasil jepretan Felix yang sebelumnya sudah dipindahkan ke laptop. Sebuah papan tulis trasparan berdiri di samping mereka, nantinya akan digunakan untuk menulis dan menghubungkan semua yang berkaitan dengan kasus itu.
Liam mengambil alih laptop. Setelah mengutak-atik sebentar, dia meletakkan lagi benda itu di meja dan menunjuk pada tiga foto yang ditampilkan bersamaan. "Coba lihat," perintahnya.
Mereka mengikuti arah tunjuk Liam. Foto yang ditampilkan adalah foto tangan dari ketiga korban. Felix mengernyih, dia mendapati satu keanehan yang cukup jelas tapi terlewatkan.
"Cat kuku merah?"
"NAH!" seru Liam tiba-tiba membuat yang lainnya terkejut. "Aneh nggak, sih? Masa mereka janjian pake cat kuku? Warna merah mencolok begitu pula?"
"Kalo Tenri dan Nada, mungkin masih dalam hal yang wajar. Tapi coba lihat tangan Arka. Dari penampilannya yang 'berantakan' dan suka berulah, hampir mustahil dia mau pake cat kuku begitu," sahut Nayara membenarkan.
"Ada yang lebih meyakinkan," timpal Inspektur Leon.
"Apa?"
"Cara pemakaian cat kukunya. Mulai dari Tenri, Nada dan Arka, semua catnya terpasang tidak rapi." Inspektur Leon menunjuk area tangan yang tertutupi cat kuku. "Dari ujung bagian kuku sampai sepertiga jari terkena cat."
Felix mengira-ngira. "Kelihatannya seperti dipakai pas lagi buru-buru. Pelakunya mungkin nggak punya banyak waktu untuk memakaikan mereka dengan hati-hati dan rapi."
"That's right!"
"Mungkin kita perlu nulis semua petunjuknya sekarang? Dan menghubungkan beberapa hal yang bisa dijadiin titik awal pencarian."
Mereka menyetujui usulan Nayara. Setelah membagi bagian, dengan spidol warna warni mereka menuliskan petunjuk dan daftar kejanggalan di papan tulis transparan. Berbagai deretan kalimat dan poin-poin dari kasus ini tertulis rapi.
Saat itu, mereka sepakat menamai kasus itu dengan nama 'Cat Kuku Merah'. Dan saat itu jugalah mereka memulai penyelidikan dengan awal yang lebih siap.
Nayara mundur beberapa langkah. Dia melihat semua tulisan yang bisa ditambahkan sewaktu-waktu mereka mendapat petunjuk. Beberapa foto tertempel di sana, lengkap dengan garis-garis dan tanda diagram yang menghubungkan mereka.
Di bagian teratas, ada simbol tanda tanya berwarna hitam yang menandakan kemisteriusannya. Nayara berharap bisa mengisi simbol itu dengan foto pelaku sesegera mungkin. Kilat tekad terpancar dari matanya.
Hanya butuh sesaat bagimu untuk mengambil nyawa orang-orang. Dan aku akan memberikan seluruh waktuku untuk membuatmu menyesali saat-saat itu.
Nayara kembali fokus ketika Inspektur Leon mengetuk-ngetukkan ujung spidolnya di salah satu tulisan. Polisi itu berujar, "Ini titik pertama pencarian kita."
•••
Pulang dari rumah Liam, Nayara tetap menjalankan harinya seperti biasa. Dia tetap belajar keras, tetap berusaha unggul di semua bidang, tetap berlatih bela diri dan olahraga. Yang berbeda hanya pada kemauannya.
Dulu, dia belajar dan berlatih keras hanya agar ibunya terkesan. Dia percaya suatu saat nanti, entah dengan alasan apapun ibunya akan menceritakan kehidupannya sebelum kecelakaan. Dia ingin mendengar cerita tentang ayahnya.
Sekarang berbeda. Nayara ingin menggunakan waktunya untuk diri sendiri, agar waktu yang dia jeda bisa berguna. Kebohongan-kebohongan yang terlihat setelah menjeda waktu akan dia gunakan.
Di sekolah, Nayara bukan termasuk siswi low-profile ataupun high-profile. Satu waktu, dia bisa mengimbangi pembicaraan dan membalasnya dengan tema yang masih sejalan. Di lain waktu, dia tahu kapan harus mengunci mulutnya dan bersikap tidak mencolok di kerumunan manusia.
Karena itu, di kantin inilah dia berada. Duduk bersama Zanna dan Putri di satu meja yang sama. Nayara berdeham. Setelah pesanan mereka datang, dia memulai pembicaraan.
"Belakangan ini agak aneh, ya."
Pancingan Nayara berhasil. Sekarang Zanna dan Putri menatapnya antusias. Dua temannya itu terlihat punya segudang kata-kata yang siap dikeluarkan sewaktu-waktu ada yang membicarakannya.
"Aneh banget," sahut Putri. "Dua temen sekelas kita bunuh diri. Satunya lagi pindah."
"Pindah?"
"Kabarnya Nada pindah ke sekolah lain di kampung halamannya. Orangtuanya nggak sanggup biayain, makanya nyuruh Nada lepas dari sini."
Jadi itu sebabnya tidak ada yang mencari Nada walau menghilang berhari-hari? Mayatnya memang disevakuasi secara diam-diam. Tidak ada yang melihatnya selain Nayara, Liam dan Felix. Tidak heran kabar apapun yang disebar pihak sekolah akan dipercayai semua orang.
"Tentang Tenri dan Arka, kalian ada denger sesuatu?" tanya Nayara.
"Selain kabar kalo mereka bunuh diri sampe menggemparkan satu sekolah, gue rasa nggak ada kabar lagi, deh." Putri mengangguk-ngangguk pelan.
Nayara menahan erangannya dalam hati. Tidak menyerah, dia kembali bertanya. "Mereka punya masalah sama salah satu murid di sini?"
Melihat Zanna dan Putri yang mulai menatapnya curiga, Nayara menambahkan cepat, "mereka kan, udah meninggal. Nggak enak kalau masalahnya masih ada. Gue bisa minta maaf kalo aja emang bener ada murid di sini yang bermasalah sama mereka."
Berhasil. Kini keduanya tersenyum membenarkan. Setelah beberapa saat, Putri berkata, "Gue nggak begitu tahu gosip-gosip mendalam. Biasanya gue cuma tahu yang di permukaan doang."
"Samudra. XI IPA 3."
Kini fokus perhatian berada pada Zanna. Cewek yang sedari tadi diam itu mengucapkan satu nama yang sudah ditunggu-tunggu oleh Nayara.
Merasa mendapat harapan kembali, Nayara menegakkan punggungnya. "Memang ada apa dengan Samudra?"
Zanna mengunyah satu bakso. Setelah menelan dia berujar, "Seminggu sebelum meninggal, gue pernah lihat Tenri sama Samudra di taman belakang. Karena tempatnya yang sepi, nggak sengaja gue denger sebagian pembicaraan mereka."
"Apa yang mereka bicarain?"
"Tenri bilang Samudra mesti tanggung jawab karena perkataannya nggak bener. Katanya Samudra udah nipu dia. Terus Samudra malah bilang nggak peduli. Setelahnya, Tenri nangis sambil mukul-mukul Samudra."
Nayara menyimpan semuanya dalam kepala. Dia berdeham. "Tenri nggak bilang dia minta tanggung jawab buat apa?"
"Entah. Gue udah pergi dan nggak denger pembicaraan mereka lagi." Zanna menyeruput es tehnya. "Gue nggak tahu kenapa, tapi sepenglihatan gue, nggak mungkin masalah yang mereka bicarain itu kecil. Tenri sampe nangis kejer, dan muka Samudra nelangsa banget."
Mengangguk-ngangguk paham, Nayara mengeluarkan ponselnya. Dia mengetik sederet kalimat, lalu menekan tombol kirim.
Setelahnya dia mengingat diskusi di rumah Liam. Pada Inspektur Leon yang menitikkan hubungan buruk yang dimiliki korban kasus Cat Kuku Merah sebagai titik awal penyelidikan.
To : Liam
Samudra. XI IPA 3. Sekelas dengan lo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just For a Moment (REVISI)
Mystery / Thriller"Karena sikap lamban lo, tiga orang itu mati." "Apa?" "Lo istimewa, Na, sama seperti yang dibilang partner gue. Lo bahkan jadi alasan kenapa dia membunuh tiga orang itu." "Maksudnya?" "Lo pikir kenapa semua korban berada di kelas yang sama dengan lo...