Setelah meninggalkan anak-anak itu di ruang tunggu, Inspektur Leon berjalan di lorong menuju ruang Tim 1 Tim Kasus Kejahatan Besar. Selaku kapten tim, dia harus menyelesaikan tumpukan kasus dengan cepat dan tepat.
Maksudnya, tidak menangkap pelaku yang salah.
Inspektur itu membuka pintu, dan mendapati seluruh rekan timnya—yang berjumlah lima orang—berpindah fokus padanya. Setelah menutup pintu dia berjalan ke mejanya dan memeriksa data pribadi Samudra yang dari tadi dia bawa.
Inspektur Leon menoleh pada Gilang, rekan kerja terdekat yang paling sering keluar dengannya. “Sudah periksa alibinya?”
“Belum,” Gilang menggeleng. “Anak itu baru aja dibawa masuk ke ruang interogasi setelah barang-barangnya disita sementara.”
Mangut-mangut, kini Inspektur Leon membaca data Samudra. “Yatim. Tinggal hanya berdua dengan ibunya. Pernah ditahan dengan laporan penggunaan narkoba, tapi kembali dibebaskan karena sumber yang tidak jelas dan bukti yang kurang.”
“Dia juga beberapa kali keluar masuk pusat rehab karena sering melukai diri sendiri dengan benda tajam,” tambah Gilang.
Inspektur Leon mengembuskan napas. Tangannya menjulurkan sebuah flashdisk pada Gilang. “Tolong analisis video ini. Pastikan juga yang terekam di situ adalah Samudra. Rekap waktu perkiraan kejadian. Nanti aku akan cocokkan dengan alibinya.”
Ketika perintahnya diangguki, dia kembali bertanya. “DNA yang ditemukan di tubuh Nada sudah keluar?”
“Belum. Tim forensik bilang hasilnya baru akan keluar dua hari lagi.” Gilang menunjuk dirinya. “Mesti aku telepon untuk dipercepat?”
“Nggak usah. Aku akan kesana sebentar sore.”
“Untuk apa?”
“Membawa sampel rambut Samudra. Supaya ketika hasilnya keluar bisa langsung dicocokkan,” jelas Inspektur Leon. Pandangannya beredar. “Bagaimana dengan permohonan surat penahanannya?”
Salah satu rekannya yang lain menyahut, memberi tahu kalau permohonan itu sedang tertahan dan tidak bisa langsung disetujui oleh kepala atasan karena Samudra masih di bawah umur.
Inspektur Leon menyugar rambutnya. Dalam 24 jam, Samudra bisa saja lepas karena penangkapannya tidak resmi alias tanpa surat. Dia juga tidak mungkin pergi mengajukan protes pada atasannya.
Semua memang jadi rumit. Pihak SMA Bumi Khatulistiwa tidak mau bekerja sama dan meminta agar kasus ini ditutup. Belum lagi tidak ada keluarga dari para korban yang bisa dimintai keterangan. Lalu atasannya yang terus menekan dan memberi batas waktu penyelidikan hanya dalam satu bulan.
Inspektur Leon pening. Ingin sekali menjeda waktu agar bisa menjauh sementara dari tumpukan kasus yang melambai-lambai minta diperhatikan.
“Yaudah. Sekalian juga yang lain, cetak daftar panggilan dan pencarian daring di ponsel Samudra. Kalau ada yang janggal segera beri tahu aku.”
Semuanya menyahut setuju dan mulai melakukan sesuai instruksi. Gilang buru-buru bertanya ketika Inspektur Leon kelihatan merapikan kumpulan berkas di mejanya dan membawanya di tangan.
“Udah mau nginterogasi Samudra?”
Inspektur Leon mengangguk.
“Aku perlu ikut?” tanyanya lagi.
“Nggak usah,” tolak Inspektur Leon sambil tersenyum hangat. Dia menepuk bahu rekan kerja yang lebih muda setahun darinya itu. “Di sana masih ada anggota lain yang kosong. Bye!”
Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu, dia berbalik. Untuk semua korban dan pelaku kejahatan yang pernah dia selidiki, ada kepercayaan dalam dirinya tentang sebuah pembalasan.
Bukan hanya Inspektur Leon yang bekerja keras. Semuanya ikut mengambil bagian. Dan dia berharap suatu hari nanti semuanya terbalas. Kebaikan yang mereka tuai—terlepas dari fakta bahwa itu memang tugasnya—sekecil apapun akan berdampak pada apa yang terjadi selanjutnya.
•••
Di depan ruang interogasi, dua polisi yang berjaga memberi hormat pada Inspektur Leon. Setelah membalas dengan senyum, dia masuk dan tidak mendapati satu orang pun dalam ruangan itu. Berkas yang dia bawa diletakkan di meja.
Kembali keluar, satu pertanyaan terlontar darinya. “Kemana orang di dalam dan polisi yang menjaganya?”
Dari dua polisi jaga itu, salah satunya menjawab, “Mungkin di toilet. Kudengar orang itu pengen muntah. Makanya langsung dibawa pergi.”
“Kapan?”
“Sekitar lima belas menit yang lalu.”
“Haish!”
Inspektur Leon kontan berdesis geram. Instingnya mulai merasa ada yang tidak beres. Cepat setelah mendengar jawaban itu, dia berlari menuju toilet terdekat dari posisinya.
Dan perasaannya tambah tidak enak menyadari toilet terdekat itu juga tempat tersepi dari gedung itu.
Si Polisi mengetuk-ngetuk pintu toilet, tapi tak kunjung ada sahutan dari dalam. Meski sudah berteriak memanggil-manggil, yang dia dengar justru gema suaranya sendiri.
Tidak ingin berlama-lama, Inspektur Leon memutuskan mendobrak pintunya. Pada tendangan pertama belum berhasil. Baru setelah menendang untuk kedua kalinya, pintu itu terhempas keras ke dinding.
Hal pertama yang dilihatnya adalah tubuh yang tergeletak di depan bilik toilet. Dan sebuah borgol tidak jauh darinya.
“Sial!”
Inspektur Leon menghampiri polisi itu lalu mengecek napasnya. Kontan dia lega ketika masih merasakan embusan napas. Hanya saja kepalanya mengeluarkan darah yang ditebak karena pukulan keras.
Benar saja. Tutup kloset keramik yang berlumuran darah dia temukan di dalam bilik kloset. Mendongak, lagi-lagi satu umpatan kecil keluar dari mulutnya. Ventilasi kaca di toilet itu pecah, menciptakan lubang yang cukup besar untuk dilewati manusia.
Ada beberapa jejak darah di pecahan kaca yang masih menempel di ventilasi. Inspektur Leon melongok keluar, dan saat itu dia yakin Samudra sudah benar-benar kabur.
Ada pagar beton pembatas yang tidak terlalu tinggi terhubung tepat di depan ventilasi. Kalau seseorang niat kabur, pastilah tempat itu memberikan kesuksesan yang tinggi. Karena yang ada di balik pagar beton pembatas adalah jalan raya.
Suara batuk memasuki telinga Inspektur Leon. Saat berbalik, dia melihat polisi yang awalnya pingsan itu perlahan mulai bangun. Dia menghampiri, membantunya duduk dan bersandar di dinding.
“Kamu nggak apa-apa?”Pertanyaan klise. Tapi dijawab dengan anggukan oleh orang itu.
“Tunggu di sini, ya. Aku panggil polisi lain buat bantuin kamu,” pesan Inspektur Leon.Beranjak, dia menghentikan orang pertama yang ditemui setelah keluar dari toilet dan menyuruhnya membantu polisi itu. Setelah itu langkah besarnya menyusuri jalan menuju ruang tunggu.
Cepat dia membuka pintu, tanpa mengendalikan raut panik dan napasnya yang sedikit terengah. Maniknya mengabsen sekeliling. Tanpa lama dia memutuskan untuk memberitahu anak-anak itu.
“Samudra kabur.”
∆∆∆
KAMU SEDANG MEMBACA
Just For a Moment (REVISI)
Mystery / Thriller"Karena sikap lamban lo, tiga orang itu mati." "Apa?" "Lo istimewa, Na, sama seperti yang dibilang partner gue. Lo bahkan jadi alasan kenapa dia membunuh tiga orang itu." "Maksudnya?" "Lo pikir kenapa semua korban berada di kelas yang sama dengan lo...