Masih di hari yang sama, Nayara memutuskan kembali ke kelasnya setelah bel masuk berbunyi. Baru sedetik dia mendudukkan diri di bangkunya, Putri dan Zanna langsung mendekatinya.
"Na, lo kemana aja?" tanya Zanna setelah duduk di sampingnya.
"Rooftop. Kenapa?"
Putri duduk di bangku depan Zanna. "Lo dicariin Bu Ira. Katanya, kalo lo udah sampe, suruh langsung ke ruangannya aja."
Nayara kontan menepuk dahinya. Dia lupa mengambil rekap data keanggotaan Klub Musik. Otaknya tidak sempat berpikir saat itu. "Yaudah, thanks. Gue ke sana dulu. Titip izin kalo guru udah masuk, ya."
Setelahnya, dia beranjak keluar kelas. Tidak pergi ke ruang Klub Musik, tapi langsung ke ruangan Bu Ira. Dia ingin menjelaskan situasi ruangan Musik kepada gurunya itu.
Nayara mengetuk pintu, lalu melangkah masuk saat mendapat sahutan.
"Loh. Kok kalian disini?" tanya Nayara heran. Di dalam ruangan Bu Ira, ada Felix, Liam, dan Pak Hamid —guru BK SMA Bumi Khatulistiwa— sedang duduk di sofa. Mereka memberi atensi pada Nayara.
"Kami dipanggil sebagai saksi kasusnya Nada," ungkap Liam.
"Gue nggak dipanggil?"
"Ekhem, jadi gini," tukas Pak Hamid sebelum semuanya semakin lama. "kami baru mau memanggil kamu. Tapi karena kamu sudah datang duluan, jadi kita mulai sekarang saja."
Nayara mengangguk dan duduk di samping Liam setelah diberi izin. Dia lihat Bu Ira dan Pak Hamid berpindah posisi. Mereka duduk di sofa yang berhadapan dengan tiga murid itu.
Pak Hamid yang pertama bertanya. "Jadi, siapa yang pertama kali menemukan Nada?"
"Saya, Pak," jawab Liam. Dan setelah itu dia menjelaskan semua rincian kronologi sampai kedatangan Nayara dan Felix.
"Apa ada hal aneh yang kalian temukan di tempat itu?"
Nayara mengeluarkan kertas dari saku rok dan memberikannya pada Pak Hamid. "Itu kertas yang saya temuin di tangan Nada."
Pak Hamid menerima dan membacanya. Setelahnya, dia mangut-mangut pelan. "Ada lagi?"
Baru saja Nayara ingin mengungkapkan kejanggalan yang mereka temukan, tetapi dia merasa ada senggolan kecil di lengannya. Saat dia melirik dari ekor matanya ke arah Liam, samar-samar Nayara menangkap gelengan dari kepala Liam.
Tapi Nayara tidak suka berbohong. Dia memilih mengungkap faktanya. "Tangannya ter—"
"Nggak ada, Pak. Kami belum sempat melihat sejauh itu," sela Liam memotong ucapan Nayara.
Beberapa detik, mata Pak Hamid terlihat memicing, tapi kemudian dia mengangguk dan mengukir senyum tipis. "Apa ada orang yang terlihat mencurigakan saat kalian keluar?"
Tiga murid itu kompak menggeleng.
"Apa saya bisa percaya pada kalian?"
"Tentu dong, Pak," timpal Felix santai. Tidak tertebak apakah dia berbohong atau tidak.
"Baiklah," Pertama kalinya Bu Ira melontarkan sesuatu saat itu. "Terima kasih. Berkat kelakuan kalian yang tenang, polisi bisa membawa dan mengevakuasi mayat Nada keluar dari sekolah tanpa menimbulkan kehebohan."
"Kalau boleh tahu, siapa nama polisi yang memimpin kasus ini, Bu?" tanya Liam.
"Inspektur Leon."
Sesaat, Liam dan Felix melempar tatapan. Lalu Liam berdiri, disusul Felix dan Nayara. "Kalo gitu, kami permisi Bu, Pak."
Mereka berjalan menyusuri koridor yang cukup panjang. Di tengah perjalanan, Nayara berhenti. "Liam, elo kok bohong?"
"Lihat sikon, Ay." Tahu-tahu saja Liam merangkul bahu Nayara. "Mereka kelihatan nggak peduli sama kasus ini."
"Loh, kenapa?"
"Lo nggak pernah denger tentang guru-guru yang mati-matian menjaga reputasi sekolah? Mana mungkin mereka berdiam diri kalo ada murid yang berpotensi menyebar kabar buruk di sini?"
"Apalagi kalau gosip pembunuhan. Semuanya pasti cepat menyebar," tambah Felix.
"Jadi mereka bertanya cuma untuk mastiin kita nggak tahu apa-apa. Bukannya untuk menggali info. Really?"
"Yes."
Nayara mendengus kasar. Saat mereka berbelok di lorong koridor, ada Aurel yang berjalan berlawanan arah dengan mereka.
"Hai, Liam, Felix, Naya," sapanya.
"Aurel? Lo mau kemana?"
"Gue nyariin lo. Kita kan sekelompok tugas biologi."
"Tapi kan gue pasti balik ke kelas. Nggak perlu nyariin juga," lontar Nayara.
Aurel tersenyum. "Nggak pa-pa. Lo mau ikut? Biar sekalian," tawarnya.
"Boleh." Nayara menengok ke arah Liam. Dia menunjuk tangan cowok itu yang masih bertengger di bahunya. "Pindahin tangan lo."
"Eh?" Liam cengengesan, tidak sadar dari tadi tangannya masih di bahu Nayara. "Hehehe."
•••
Nayara menatap dirinya di cermin. Kali ini dia memakai celana jins hitam panjang, dengan kaos putih polos yang dimasukkan ke dalam celana. Lalu kemeja hitam merah kotak-kotak berlengan panjang sebagi luaran. Dan sepatu kets hitam di kakinya.
Nayara memakai riasan tipis. Hanya untuk merapikan wajahnya. Setelah siap, dia meraih tas ranselnya dan berjalan keluar dari kamar.
Tugas kelompok biologinya belum selesai. Dan atas usulan Aurel, mereka akan mengerjakannya di perpustakaan umum.
"Mama? Tumben sore-sore udah pulang," ujar Nayara pada wanita berpakaian kantoran yang baru ingin masuk ke dalam rumahnya.
"Ada file projek Mama yang ketinggalan," ungkap Runa. "Kamu mau kemana?"
"Perpustakaan umum. Ada tugas kelompok."
Runa mengangguk singkat. Dia menepuk rambut hitam yang terikat milik Nayara. "Yaudah. Bye."
Setelah ibunya masuk, Nayara menyalakan mesin motornya dan melesat menuju perpustakaan. Dia menjadi orang pertama yang tiba disana.
Setelah meletakkan tasnya di salah satu meja, Nayara memutuskan pergi ke toilet. Mendadak saja dia ingin buang air kecil. Mengabaikan suasana yang cukup sepi, dia menyelesaikan kebutuhannya lalu melangkah keluar.
Nayara menggoyang-goyangkan kenop pintu. Tapi tidak bisa terbuka. "Ini kok terkunci, sih?" gerutunya.
Dia memukul pintu bilik toilet keras. "Ada orang?! Tolongin, gue kekunci."
Nayara terus memukul pintu. Dia mengedarkan pandangan ke seisi toilet. Hanya ada sapu dan pel. Dua benda yang saat ini tidak berguna. Dia mendongak, dan melihat celah yang cukup besar. "Apa gue manjat aja, ya?"
Cewek itu menaiki closet, menaruh kedua tangannya di puncak kusen pintu. Setelahnya, dia menggantung, lalu menaikkan tubuhnya seperti gerakan pull up.
Saat inilah Nayara benar-benar menyukai tinggi tubuhnya, juga kemampuannya dalam hal olahraga. Cukup mudah baginya memanjat dan berhasil keluar dari bilik toilet.
"Orang gila mana yang janggal pintu toilet ini pake gagang sapu?" gumamnya. Sudah pantas pintu itu tidak bisa terbuka. Ternyata itulah penyebabnya.
Nayara tidak merasa punya musuh yang tega menguncinya di dalam bilik toilet sempit dan rada bau. Tapi apapun itu, Nayara tidak suka.
"Hell !"
∆∆∆
Algriff Spinx.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just For a Moment (REVISI)
Mystery / Thriller"Karena sikap lamban lo, tiga orang itu mati." "Apa?" "Lo istimewa, Na, sama seperti yang dibilang partner gue. Lo bahkan jadi alasan kenapa dia membunuh tiga orang itu." "Maksudnya?" "Lo pikir kenapa semua korban berada di kelas yang sama dengan lo...