“Papaaa! Aya dapat piala! “
Gadis kecil berambut hitam pekat itu masuk ke rumahnya sambil memegang piala. Di bahunya tersampir tas gambar karakter Micky Mouse. Dia berlarian di sekeliling, bersorak ketika menemukan ayah dan ibunya di kebun belakang rumahnya.
“Papaaa!” panggilnya riang. Dua orang dewasa di tempat itu menoleh serempak, tersenyum lebar melihat putri tunggal mereka. Sadewa, si Ayah berlutut, merentangkan tangan untuk menyambut gadis kecilnya.
“Ehey, anak Papa udah pulang, ya,” katanya setelah rentangan tangannya di balas pelukan. Sadewa bergerak ke kanan dan kiri, membuat anaknya memekik tertawa karena kesenangan.
“Pa, Aya dapat piala.”
Sadewa mengurai pelukannya, lalu mengambil piala yang disodorkan Nayara kecil. Dadanya berdesir-desir bangga kala melihat nama putrinya terukir di sana, sebagai peringkat satu lomba menggambar se-sekolahan. Senyumnya kian lebar, dia menepuk kepala putrinya.
“Aya pinter banget,” pujinya. Tangannya merapikan poni tipis Nayara. “Sekarang baru kelas tiga, tapi udah setinggi ini. Anak siapa, sih, kamu?” tanya Sadewa gemas. Dia kembali memeluk Nayara.
“Anak Papa dong!” sahut Nayara setelah tertawa lagi.
“Oh, jadi Mama dilupain, nih? Nggak diajak pelukan juga?”
Sadewa dan Nayara menoleh pada sumber suara. Lalu berpandangan lagi. Setelahnya, mereka tertawa bersama.
“Jahatnya,” rajuk Runa. Tangannya disilangkan, dia memalingkan muka dari dua orang yang selalu menebar ke-uwuu-an tanpa ajak-ajak. Baru saja mau melanjutkan aksinya, sebuah tangan kecil menarik dress merah yang dia kenakan.
“Peluuk!” ujar Nayara dengan kepala mendongak dan tangan terentang ke samping.
Tidak tahan, Runa langsung tersenyum. Dia menyejajarkan tingginya, lalu menangkup seluruh tubuh Nayara dalam pelukannya. Runa menghirup bau shampoo anaknya yang selalu beraroma mint.
Nayara mengurai pelukannya. Mata bulat berwarna cokelat terangnya menatap Sadewa dan Runa bergantian. “Aya mau ke rumah Lia dulu. Lia udah sering latihan, tapi nggak dapat juara. Tapi dia juga nggak nangis.”
“Gih, ke rumah Lia,” sahut Runa lembut. Tangannya mengambil tas yang masih tersampir di bahu Nayara. “Entar malam Aya ajak dia aja. Kita makan sama-sama, main sama-sama.”
Nayara mengacungkan jempolnya. Lagi, dia berlari kencang keluar rumah. Langkahnya makin cepat menuju rumah Lia, tidak sabar bertemu sobatnya yang paling cantik. Hanya melewati beberapa rumah hingga akhirnya dia sampai.
Nayara mengeluarkan sebuah permen mint dari saku roknya. Dia membayangkan wajah Lia yang tersenyum ketika diberikan permen. Sobatnya itu sering ditinggal kerja oleh orangtuanya. Jadi hanya Nayara dan keluarganya yang selalu menemaninya.
Nayara masuk ke rumah besar yang tidak dikunci itu. Riang, dia memanggil, “Liaa, Aya datang!”
•••
Di tengah kelas sebelum jam pelajaran di mulai, Nayara menjambak rambutnya. Ekspresinya yang biasa datar kini berubah nelangsa. Berkali-kali dia membuang napas kasar.Zanna, Putri dan Aurel berkerumun di sampingnya. Mereka saling menatap, lalu ikut berpikir akan hal apa yang sanggup membuat seorang Nayara menghela napas berat. Mereka tersentak kala Nayara menggebrak meja agak keras.
“Apa, sih, Na? Apa? Lo kenapa jadi serem gini?” cecar Zanna ngeri dengan tingkah baru Nayara.
Alih-alih menjawab, Nayara justru melihat Zanna dengan mata membola. Dia membuka mulut ingin bicara. Namun ketika tiga orang itu menunggu, dia kembali mingkem.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just For a Moment (REVISI)
Mystery / Thriller"Karena sikap lamban lo, tiga orang itu mati." "Apa?" "Lo istimewa, Na, sama seperti yang dibilang partner gue. Lo bahkan jadi alasan kenapa dia membunuh tiga orang itu." "Maksudnya?" "Lo pikir kenapa semua korban berada di kelas yang sama dengan lo...