27. Buku

171 27 0
                                    

“Gimana, Lix? Udah nggak ngantuk lagi?” tanya Nayara ketika melihat wajah Felix yang lumayan segar dengan kantung mata yang memudar banyak.

“Gue tetep ngantuk,” balas Felix sambil menguap. Yah, kapan sih waktunya dia tidak ngantuk? Hanya saja ada beberapa waktu dimana dia tidak bisa mengendalikan kantuknya itu. Sisanya beres.

“Kapan sih lo nggak ngantuk?” cibir Liam iseng. Mukanya seperti anak-anak yang menemukan mainan terbaru dan terbaik. Girang luar biasa. “Ayo kita cabut!”

Hanya butuh waktu sangat singkat untuk berjalan dari depan ruang Klub Musik ke depan tangga.

Karena hanya mereka yang ada, rasanya suara sepatu yang biasanya tidak kedengaran kini menggema-gema ke penjuru tempat.

“Lihat, nggak ada CCTV di area ini sampe di lantai dua. Itu artinya di sini mereka bebas mengoperasikan apapun tanpa takut dicurigai,” jelas Felix sambil menunjuk sudut-sudut dinding area itu yang memang tidak dipasangi CCTV.

Nayara berjalan ke arah tangga bagian bawah. “Kalaupun ada yang menanyakan alibi mereka, udah pasti bisa langsung terbukti karena kelasnya ada di atas,” tambahnya. Wajahnya menerawang ke sekeliling, mencari-cari sekiranya ada tempat transparan yang tidak disadari.

“Gebi sekelas dengan lo kan, Ay?”

Bukan hanya Liam yang mau bertanya seperti itu, tapi juga Felix. Mereka menatap Nayara.penuh sinar ingin tahu, dengan mata yang berkali-kali dipergok meliriknya antusias.

Nayara mengembuskan napas. “Iya. Tapi jangan tanya, gue sendiri nggak terlalu kenal dia,” kelitnya membuat dua cowok yang menanti-nanti info itu cukup kecewa.

“Yaudah deh,” cicit Felix dengan wajah nelangsa yang saat ini tampak tidak cocok sama sekali. Mendadak keningnya berkerut, dia menunjuk dinding di balik tangga yang hampir tidak diperhatikan. “Itu ... bukannya pintu?”

Mereka mengikuti arah yang ditunjuk Felix. Pada dinding warna hitam di balik tangga yang harus benar-benar ditatap saksama agar kelihatan keberadaannya. Untuk sampai ke sana, mereka harus berputar sedikit, masuk ke bagian dalam tangga yang gelap.

Sesaat tidak ada yang salah dengan dindingnya. Tapi lama-lama dilihat, ada sedikit celah yang menandakan itu bukan murni dinding.

Felix segera saja mendorong pintu yang ternyata pintu kayu itu—karena tidak ada kenopnya, jadi mestinya dibuka dengan cara ini.

Tapi pintu tidak terbuka. Walau bergerak-gerak hingga celahnya makin lebar, mereka tidak bisa masuk dari situ. “Pintunya kekunci,”

“Minggir,” timpal Nayara hingga dua cowok itu sedikit menepi.

Brak!

Tahu-tahu saja Nayara meninju pintu itu hingga terbuka lebar dan menghantam dinding saking kerasnya. Cewek itu menyeringai, menatap kedua temannya dengan wajah ala-ala pemilik rumah yang mempersilahkan tamu-tamunya masuk.

“Ay, tangan lo...” Liam masih saja terpaku sesaat setelah melihat Nayara menggebrak pintu dengan tangan kosong.

“Oh, gue emang paling suka dan lumayan jago mukul. Semua yang nyusahin biasa langsung gue pukul kok,” sahut Nayara ringan tanpa beban. Tidak sadar dua laki-laki di depannya menelan ludah ngeri, mendadak takut berbuat macam-macam.

“Ekhm,” gumam Felix kaku. “Kita langsung masuk aja, kuy!”

Begitulah Nayara masuk dengan santai tapi tetap waspada kalau-kalau yang menyambutnya adalah sesuatu yang berbahaya. Sedangkan dua cowok itu masuk dengan perasaan yang rada keder—pada Nayara tentu saja.

Just For a Moment (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang