25. Pesan Ancaman

184 30 0
                                    

"Coba lo baca," pinta Felix dengan wajah tidak sabaran.

Nayara membalikkan laptop itu. Lebih mudah jika mereka sendiri yang membacanya.

Inbox (unknown number)

Nada, lo nggak capek dibully terus?


Ini siapa?

Lo nggak bisa ngelawan? Orangtua lo nggak nyekolahin lo Cuma buat ditindas

Ini siapa, sih?

Kalo gue sebarin hal ini ke seluruh orang di kampung lo, pasti orangtua lo bakal malu banget kan?

Mau lo apa?
Kok lo tau orangtua gue di kampung?

Bayangin perasaan mereka pas tau anaknya yang capek-capek disekolahin di kota dengan biaya mahal, justru malah berakhir sering dibuli.

Apaan, sih? Siapa yang bilang gue sering dibully?


Mereka pasti ngerasa gagal. Sedih karena nggak bisa bantu anak mereka

Jangan macem-macem ya. Gue laporin lo


Haha

Kalo nggak mau orangtua lo tahu, temuin gue di tangga sekolah gedung lab. Kimia. Jam pelajaran kedua. Tinggalin ponsel lo di rumah. Tau sendiri kan akibatnya kalo lo nggak datang atau berani lapor?


"Sialan!" desis Felix tidak sadar. "Orang yang ngirim ini licik banget. Dia tahu caranya buat Nada menuruti permintaannya walau dengan paksaan. Jahat banget!"

"Bukan cuma Nada yang dapet pesan kayak gitu," sela Liam sambil menatap ponsel milik Arka. "Gue periksa e-mail Arka, siapa tahu dia juga dapet. Kotak masuknya hampir semua nggak dibaca sama dia. Tapi setelah gue scroll lagi, ternyata ada pesan serupa yang pengirimnya nggak diketahui."

"Arka diancam dengan apa?" tanya Nayara dengan muka kepo.

"Ayahnya," cetus Liam. "Dia kan kabur karena sering dipukuli ayahnya. Ada orang yang tahu itu dan menggunakannya untuk mengancam Arka. Pola pesannya sama seperti punya Nada. Pengirimnya kemungkinan besar sama. Si pengirim ini pastilah licik luar biasa!"

Felix membuka-buka pesan lagi. "Tenri juga punya. Seperti yang kita tahu, dia diancam dengan kondisinya yang lagi hamil. Bedanya, dia Cuma di suruh ke kantin."

Nayara menatap dua cowok itu. "Ini sinkron dengan surat bunuh diri yang ditemuin di TKP mereka, kan?"

"IYA!" teriak Liam sambil berdiri.

Sial! Liam entah tidak sadar atau memang sengaja, berteriak nyaring hingga hampir semua orang di Kafe 62 menoleh pada meja mereka.

Nayara memelototkan mata bulatnya hingga jadi lebih besar. Dia menunjuk-nunjuk kursi, isyarat agar Liam segera duduk kalau tidak mau dihabisi.

"Jangan berisik," desis Nayara geram setelah Liam duduk. Cowok itu meringis pelan, merinding saat pelototan Nayara masih mengikuti pergerakannya.

"Udah pasti salah satu dari orang bertopeng adalah si pengirim pesan. Terbukti dari lokasi pertemuan yang sesuai dengan prediksi kita tentang tempat mereka melakukan modus operandinya," pungkas Liam buru-buru agar tidak melulu dipelototi Nayara.

Just For a Moment (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang