Dari jarak dekat inilah baru disadari kalau cewek itu ternyata sedang pingsan-atau tertidur-dengan badan terikat di kursi dan bibir yang disumpal selotip.
"Loh, ini kan temannya Aya!" seru Liam histeris kala mengenali pemilik wajah yang sering kumpul bersama Nayara. Dia membuka selotip yang menutup bibir cewek itu. "Kok dia ada di sini?""Mana gue tahu," ucap Felix ikut-ikutan dengan nada panik. "Coba lo buka pintu dan lihat, kali aja Nayara udah beresin Gebi," usulnya.
Liam langsung melakukan apa yang dikatakan Felix. Tapi mukanya berubah memucat bagai tikus kehabisan oksigen. Tangannya mencoba menggeser pintu lagi, tapi tetap tidak bisa.
"Jangan maksain diri," kata cewek pingsan tadi yang tahu-tahu sudah bangun membuat Liam dan Felix berjengit kaget setengah mati. Matanya pelan-pelan terbuka sepenuhnya, dia menegakkan posisi duduknya. "Pintu itu terkunci otomatis setelah ditutup. Cuma bisa dibuka dari luar.""Emang ada ya pintu kayak gitu?" tanya Felix heran.
"Ada weh!" seru Liam tiba-tiba sambil menampakkan cengirannya yang jujur, sangat tidak cocok dengan situasi genting saat itu. Dia menunjuk pintu di depannya. "Ini buktinya."Felix membalas cengiran itu dengan tatapan datar. "Liam, please..."
"Oke-oke," pungkas Liam cepat. "Calm down." Dia tahu memang tidak tepat mengajak orang bercanda di situasi genting begini. Tapi ya, wajah Felix tegang sekali.
Dan Felix tegang karena yang mereka hadapi adalah bom.
"Bisa tolong lepas ikatan ini?" sela si cewek sambil melirik-lirik antara Liam dan Felix. Ketika Felix selesai membukakan ikatan itu dengan hati-hati, si cewek langsung mengulurkan tangannya. Tentu saja tanpa membuat rompi bom yang dia kenakan bergerak.
"Gue Zanna. Temennya Nayara."Tanpa mereka sadari, kala itu waktu sedang terjeda. Mereka mematung dalam artian yang sesungguhnya. Tidak ada suara atau gerakan sedikit pun. Semuanya hening.
Nayara sedang menjeda waktu
•••
"Arghh,"
Ringisan itu menjadi satu-satunya sumber suara yang ada. Nayara susah payah berdiri, dia berjalan menaiki tangga dengan satu tangan yang memegangi bahunya agar tidak bergerak-gerak dan menambah rasa ngilu di tubuhnya.Nayara tiba di hadapan Gebi dan memperhatikan wajahnya.
Terlihat amat bangga, mengingatkannya pada karakter antagonis seorang karyawan kecil yang tersenyum bangga mengira dirinya berhasil merebut semua harta dan jabatan bosnya. Padahal dia secara tidak sadar masuk dalam perangkap yang dia ciptakan sendiri.
Sekarang kondisi Gebi juga sama. Dia mengira dirinya benar-benar berada di puncak kejayaan jika berhasil menekan tombol merah itu.
Sayangnya, dia tidak tahu Nayara bisa menjeda waktu.
Perasaan iba menjalarinya tanpa diminta-minta. Malang bagi Gebi yang sudah kalah bahkan sebelum dia menyicip kemenangannya.
Tapi, Nayara tidak punya waktu lebih untuk berleha-leha sambil mengasihani nasib orang lain yang padahal menjadi penyebab dia bersusah payah datang ke situ.
"Maaf, Bi. Gue turut marah dan tahu menderitanya hidup lo setelah insiden Jebi. Tapi dengan membunuh Arka dan menjadi komplotan dalam kasus ini, lo tetep nggak dapat pembenaran."
Dia mengambil detonator yang digenggam erat oleh cewek itu. Benda itu dia jatuhkan ke lantai, lalu hancur setelah diinjak-injak keras oleh Nayara.
Setelah itu dia mengedarkan pandangan, mengangkat alis heran ketika tidak mendapati sosok Liam dan Felix.
Padahal jelas-jelas pintu keluar hanya ada satu, tetapi dia yakin tidak melihat mereka keluar atau minimal muncul di pintu.
Nayara berpikir. Dia punya waktu tujuh menit untuk menjeda waktu sebelum akhirnya kembali berjalan dengan sendirinya. Dia sudah menggunakan lima menit hanya untuk merebut dan menghancurkan detonator bom itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just For a Moment (REVISI)
Mystery / Thriller"Karena sikap lamban lo, tiga orang itu mati." "Apa?" "Lo istimewa, Na, sama seperti yang dibilang partner gue. Lo bahkan jadi alasan kenapa dia membunuh tiga orang itu." "Maksudnya?" "Lo pikir kenapa semua korban berada di kelas yang sama dengan lo...