33. Flashback (2)

195 27 2
                                    

Lima tahun yang lalu...

Aku pulang ke Indonesia setelah tiga tahun lamanya. Tidak ada yang berubah dari kehidupanku, kecuali Aya dan keluarganya yang tidak lagi menemani.

Hal pertama yang kulakukan saat sampai di Indonesia adalah kabur dan pergi ke rumah Aya. Sampai di sana, aku berdiri mematung beberapa saat. Rumah itu ditempati keluarga lain yang pastinya belum pernah kulihat.

“Permisi,” salamku. “Pemilik rumah ini ke mana, ya?”

Sekeluarga yang terlihat baru mau masuk itu menoleh padaku. “Ah, dua bulan lalu Bu Runa pindah dan menjual rumah ini pada saya,” kata sang bapak. “Suami dari Bu Runa meninggal setelah kecelakaan. Kalau terus tinggal di sini, katanya takut tidak bisa melanjutkan hidup dengan tenang.”

“Anaknya?”

“Dia ada, kok. Waktu rumah ini dijual, anaknya bantu proses pemindahan barang.”

“Bapak tahu di mana rumah mereka sekarang?”

“Kalau itu saya kurang tahu. Tapi beberapa kali saya melihat anaknya masuk ke rumah terbengkalai di pojok komples sana,” tunjuk si bapak pada rumah kumuh yang terpisah dari pemukiman rumah lainnya.

Aku mengangguk kaku. Karena sudah pro, sebuah senyum tipis terukir di bibirku. “Terima kasih, Pak!”

•••

Keberuntungan mungkin berpihak padaku. Setelah berlari kencang ke rumah itu, aku mendapati Aya berdiri memunggungiku sambil mengelus bunga mawar merah.

Dia tidak sadar kehadiranku. Karena aku punya  aura dan kemampuan tampil low-profile.

“Mawar, apa kau tahu siapa orangtuamu?” tanya Aya yang kini sudah makin tinggi. Rambutnya terurai hingga bawah punggungnya. “Kalau aku tidak tahu. Setelah kecelakaan, semua kehidupanku yang sebelumnya sama sekali tidak kuingat. Katanya, Papa meninggal setelah kecelakaan itu. Tapi Mama tidak mau memberitahuku apa-apa.”

Aku tidak mau menghampiri Aya. Dia jelas-jelas sedang bersedih, terbukti dari suaranya yang parau. Dia mungkin menangis, hal yang tertulis di bukuku kalau menangis adalah tanda seseorang bersedih.

Di saat seperti ini, aku sama sekali tidak berguna. Tidak tahu mesti berkata apa untuk menghibur Aya jika aku menghampirinya.

“Jangan bosan mendengarku terus berbicara, ya. Aku sekarang bisa menjeda waktu,” katanya. “Kedengarannya keren banget, ya? Tapi setelah aku menjeda waktu, sesuatu muncul di kepalaku. Dan itu tentang kebohongan orang-orang di sekitarku.”

Jika tidak sengaja mendengar ini dari orang lain, pastinya tidak akan kupercayai. Beda cerita dengan Aya. Sekalipun dia bilang hal yang terdengar mustahil begini, aku percaya padanya.

“Aku mulai takut bohong, Mawar. Karena sesuatu yang masuk dalam kepalaku mengerikan banget. Aku takut orang lain akan berbohong padaku, makanya mulai saat ini aku tidak akan berbohong sebisa mungkin.”

Aya, kamu segitu takut kah, sampai mengulangnya berkali-kali?

“Semoga Mama bakal cerita kenapa aku dan Papa  bisa sampai kecelakaan. Aku bakal belajar keras, agar Mama suka dan akhirnya mau cerita.” Aya meletakkan pot bunga mawarnya di lantai. “Dan semoga aku nggak bertemu berbagai kebohongan orang lain lagi.”

Sebelum Aya berbalik dan melihatku, aku segera berlari pindah ke samping rumah itu. Dia beranjak pergi, menjauh dari sini.

Kudekati pot bunga mawar merah yang sebelumnya dia pegang sambil  memikirkan segala kebaikan yang ditebar Tante Runa. Kebaikan-kebaikan itu yang membuat Aya, Om Sadewa, dan aku pernah bahagia.

Kebaikan yang membuatku candu.

Karena kebaikan itu pula, perselingkuhan yang dilakukan Tante Runa jadi berkali-kali lipat menyakitkan. Hingga Om Sadewa meninggal, dan Aya kehilangan ingatan. Belum cukup, Tante Runa juga membohongi Aya dengan tidak menceritakan yang sebenarnya. 

Di depan bunga mawar itu, aku jatuh berlutut. Untuk pertama kalinya, aku merasakan sesuatu.

Perasaan yang membuatku menangis tersedu-sedu.

•••

Bertahun-tahun kemudian, aku tumbuh menjadi sosok ‘malaikat baik hati’. Tidak lagi melawan, aku benar-benar menjalani hidup dengan menuruti perintah Ayah dan Ibu. Mereka kini tidak lagi mengusikku lantaran sudah cukup yakin.

Aku tidak pernah berbuat macam-macam. Benar-benar tidak pernah. Yang kulakukan hanya menebar kebaikan dengan sebuah senyuman merekah.

Hingga awal masuk SMA, aku bertemu Aya dan bahkan sekelas dengannya.

“Hai,” sapaku sambil mengulurkan tangan dan tersenyum manis. Dia hanya membalasnya singkat tanpa ekspresi. Aku tahu, dia tidak mengingatku.

Cukup lama aku memperhatikan kesehariannya, dan menyadari dia bukan lagi Aya yang kukenal. Dia mungkin bisa berbaur dengan sekitar, tapi aku tahu itu semua hanya bentuk kesedihannya. Dia jadi kaku, menghabiskan waktu hanya untuk belajar dan berlatih hingga mendapat peringkat teratas.

Dia tidak lagi bahagia.

Dan aku menyimpulkan bahwa rasa bahagia hanya semu, bisa menghilang kapan saja.

Aku belajar untuk tersenyum walau hanya merasa  kosong.

Dan mulai hari itu, aku menyusun rencana-rencana kejam untuk membunuh teman sekelasku. Tentunya mereka kupilih terlebih dahulu berdasarkan tingkat penderitaan yang mereka alami.

Aku mendapat sianida dengan mudah lantaran Pratama Corporation adalah perusahaan pertambangan emas. Sianida bisa digunakan untuk membersihkan emas jadi murni.

“Iya, Paman. Praktik kimiaku membutuhkan bahan itu,” kataku saat menelepon pamanku yang bertugas menangani pembersihan emas. “Paman bisa mengirimkan sebotol kaca padaku?”

“Kok banyak banget?”

“Oh, teman-temanku juga butuh. Mereka pastinya nggak tahu bisa dapat bahan praktikum itu dari mana,” sahutku ringan.

Dan keesokan harinya, pesananku datang. Jangan tanya kenapa pamanku mudah sekali percaya. Bukan karena alasanku yang konyol, melainkan karena tidak ada yang meragukan niatku. Selama ini aku kan selalu berbuat baik.

Lalu setelah itu, aku mendapatkan target dari kelasku dan Aya. Aku merekrut partner yang juga sekelas dengan kami.

Aku menandai targetku dengan cat kuku merah yang sengaja dibuat berantakan. Kalian tanya alasannya? Ya karena hal yang paling kuingat dari Tante Runa adalah kuku tangannyanya yang dihias dan diwarnai merah.

Dengan mudah aku menghasut orang-orang ini untuk melakukan apa yang kuinginkan. Mudah juga bagiku untuk tahu rahasia orang lain, karena auraku yang bisa minim banget.

Entah rahasia Aya yang bahkan dia lupakan. Atau rahasia Liam yang belakangan mulai dekat dengan Aya. Semuanya kuketahui. Mereka berdiskusi tanpa sadar kehadiranku.

Lama waktu berjalan, aku diam-diam tumbuh menjadi monster. Sama seperti yang kalian ketahui.

Monster berhati kosong, yang tidak keberatan sekalipun tertangkap. Oleh Aya sendiri.

∆∆∆

Perhatian : Bab ini tidak dibuat dengan tujuan untuk mengasihani apalagi membenarkan tindakan Aurel.

Just For a Moment (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang