"Lo keren, Ay."
Di depan pintu Kantor Polisi, Nayara, Liam dan Felix berdiri. Setelah dibuat mampus oleh Nayara, akhirnya Samudra di bawa oleh Inspektur Leon untuk penyelidikan lebih lanjut. Mereka bertiga dipanggil ikut serta untuk dimintai keterangan lebih lanjut.
"Nggak usah muji. Banyak kok cewek yang bisa kayak tadi," sangkal Nayara datar. Walau begitu, tak urung senyum kecil menghias wajahnya.
"Emang banyak," kata Liam. "Tapi yang gue tau kan, cuma elo."
Berdeham, Nayara menggaruk lehernya kaku. Tidak merespons selain berucap, "Makasih."
Inspektur Leon datang menghampiri. Polisi muda itu memegang beberapa lembar kertas dan pulpen. "Kalian, ayo masuk. Aku antar ke ruang tunggu."
Walau berjalan mengikut di belakang Inspektur Leon, Liam tetap mengeluarkan protes. "Loh? Kami di ruang tunggu doang? Nggak bakal lihat Samudra di interogasi?"
"Untuk saat ini, iya."
"Hee?! Kami kan udah berusaha nyari tersangkanya. Sampe mataku rasanya ikutan berkeringat gini. Tapi cuma disuruh ke ruang tunggu. Duhh. Abang nggak kasian? Kami juga mau ikutan, tahu!" Panjang lebar Liam mengomel, diakhiri dengan embusan napas. Dia menatap Nayara dan Felix bergantian. "Ya, kan?"
Felix mengangguk. Mukanya lesu. "Kuakui, iya. Kalo Cuma disuruh nunggu, rasanya nggak sip gitu."
Kompak protes, Nayara ikutan mengangguk. "Walau mataku nggak sampe 'berkeringat', aku setuju sama Liam. Ngulik informasi tanpa kelihatan mencurigakan itu agak susah."
"Jangan protes dulu, dong!" Inspektur Leon memukul pelan kepala Liam dengan kertasnya. Dia membuka salah satu pintu lalu menyuruh mereka masuk. "Samudra nggak langsung diinterogasi. Ada beberapa hal yang mesti dicocokkan terlebih dulu."
"Seperti?"
"Seperti rekaman yang kalian temukan. Aku juga harus mastiin orang bertopeng itu siapa." Kali ini Inspektur Leon memandang Felix. "Aku boleh lihat video yang kamu dapat?"
Felix mengeluarkan sebuah flashdisk dari tasnya lalu diberikan pada Inspektur Leon. Polisi itu mengangguk. "Aku tinggal, ya. Liam, jangan macam-macam di sini."
Sepeninggal Inspektur Leon, mereka bertiga duduk bersampingan di sofa. Nayara mengamati sekeliling. Tidak ada yang terlalu menarik, ruangan itu hanya berisi sofa super panjang dan meja berukuran sama. Di sudut kiri ada dispenser dan keranjang kecil berisi kopi dan gelas plastik. Temboknya berwarna abu-abu.
"Kok dimana-mana gue selalu disuruh diem, ya?" Liam bertanya, entah karena tidak tahu atau dia pura-pura tidak tahu. "Padahal, hidup tanpa macem-macem itu ... jadinya pasti nggak macem-macem."
"Liam, lo ngomong apa, sih?"
"Ini juga!" Kali ini Liam mengangkat telunjuknya. "Udah jelas gue membicarakan soal kehidupan, masih aja dipertanyakan."
Nayara melirik. "Lo mau macem-macemin hidup lo kayak gimana lagi?"
"Semacem-macem semua yang gue bisa, dong!" banga Liam. Matanya menyipit saat mengukir senyum. "Gue suka jadi pusat perhatian. Bukan berarti gue haus perhatian, ya. Rasanya seneng aja jadi manusia mencolok."
"Orang famous dan mencolok biasanya sering tebar pesona, megang 'fans'-nya sana-sini. Bukannya dari awal lo nggak suka disentuh?" Nayara mengernyih bingung. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran Liam yang kadang berbenturan.
Di matanya, kadang cowok itu bersikap gila full luar dalam. Kadang juga iseng luar biasa. Tapi satu yang pasti. Liam selalu tahu kapan memunculkan keseriusannya. Tidak lagi menunjukkan ketengilannya, dia justru menjadi manusia berotak encer yang pandai mengobservasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just For a Moment (REVISI)
Mystery / Thriller"Karena sikap lamban lo, tiga orang itu mati." "Apa?" "Lo istimewa, Na, sama seperti yang dibilang partner gue. Lo bahkan jadi alasan kenapa dia membunuh tiga orang itu." "Maksudnya?" "Lo pikir kenapa semua korban berada di kelas yang sama dengan lo...