Seorang pemuda berseragam sekolah lengkap tengah menyusuri koridor. Ia mengencangkan genggaman tangannya pada ransel tasnya lalu menghela nafas berat.
Ini hari pertamanya memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ia bukanlah sosok pemuda yang supel, mudah bergaul dan mudah dicintai semua orang. Pemuda itu sebaliknya, ia pemalu dan baginya berbicara lebih dulu pada orang asing jauh lebih memusingkan daripada mempelajari matematika.
Sebenarnya ia cukup tampan dan lumayan populer di kalangan gadis. Senyumnya yang hangat dan tulus membuat siapapun dapat jatuh hati dalam sekejap. Ia juga siswa teladan dan mendapat banyak penghargaan karena menjuarai banyak olimpiade. Hanya saja sikapnya yang pemalu membuat mereka enggan mendekatinya karena mereka berpikir bahwa ia adalah lelaki membosankan.
Itu rumor yang benar sih sebenarnya.
Fakta bahwa ia membosankan tak bisa disingkirkan.
DUAK!!
Sebuah bola basket melayang kencang mengenai bahunya. Ia sempat terhuyung namun dengan sigap ia meraih pilar didekatnya dan bersandar di sana.
Seorang pemuda berjalan tergesa-gesa kearahnya. "Ah, maaf gue gak sengaja. Apa bahu lo sakit?"
Ia mengangguk.
Bagaimana tidak, bola basket itu melayang dengan sangat kencang mengenai bahunya. Sekarang bahunya terasa linu dan jika digerakkan rasa nyeri menyerangnya.
"Ayo gue antar ke UKS."
"Ah, nggak usah. Nggak perlu repot-repot."
Tiba-tiba pemuda lain yang tadi ikut bermain basket menghampiri mereka. "Eh Dongheon gimana sih lo? Bukannya di bawa ke UKS malah diem-dieman aja di sini."
Pemuda yang dipanggil Dongheon itu menatap sinis ke arah temannya. "Dianya yang nggak mau."
Kini temannya beralih menatap sosok murid yang menjadi korban.
"Kim Yong—Seung? Kelas 10 ya? Gue gak pernah lihat lo sebelumnya."
Yongseung segera membungkuk canggung. "Ah, i—iya."
"Ayo ke UKS."
"Ng—nggak perlu."
"Duh batu banget sih ini anak."
"Kan, gue bilang juga apa." jawab Dongheon seraya memutar kedua bola matanya.
"Ya udah kalau itu mau lo. Mau kita antar ke kelas lo aja kalau gitu?"
Bagai mendapat sembako ditengah merosotnya ekonomi, Yongseung langsung mengangguk dengan mata berbinar. Sebenarnya sejak tadi ia sudah berkeliling sekolah ini namun tak kunjung menemukan kelasnya dan ia malu untuk bertanya pada orang lain.
Jadi bantuan ini jelas tak bisa ia tolak.
"Oh iya kenalin gue Bae Hoyoung." ujarnya seraya mengulurkan tangan.
Yongseung segera menyambut uluran tangan itu meski ia masih menunduk karena merasa canggung. Namun Dongheon dengan cepat menarik kembali tangan Hoyoung sebelum mereka berdua benar-benar bersalaman. Hoyoung menatap sinis ke arah Dongheon namun pemuda itu memberinya beberapa isyarat hingga membuat Hoyoung mengangguk paham.
"Kim Yongseung." jawabnya meski tak tahu mengapa uluran tangan Hoyoung ditarik paksa begitu.
"Gue Lee Dongheon."
"Kim Yongseung."
"Ya udah kita antar lo ke kelas sekarang, bentar lagi masuk nih."
Sepanjang perjalanan Yongseung menunduk kaku meski Hoyoung dan Dongheon merangkulnya seolah mereka telah berteman sejak lama. Setiap murid yang mereka lewati berbisik-bisik, membuat Yongseung merasa semakin tidak nyaman.
"Ng—kalian di kelas mana?" tanya Yongseung setelah mereka sampai di kelasnya. Ia memutuskan untuk bertanya, setidaknya ia harus buka suara karena sepanjang perjalan tadi hanya Dongheon dan Hoyoung yang berusaha mengajaknya berbicara.
Mereka berdua saling berpandangan sejenak lalu serempak berkata,
"12-2."
Seketika kedua mata Yongseung membola. Sontak saja ia membungkuk untuk menghormati mereka yang lebih tua darinya.
"Santai aja kali." jawab Hoyoung seraya tertawa.
"Nggak usah gitu, justru kita pengen temenan sama lo." sahut Dongheon.
"Te—terima kasih banyak, Kak!"
***
"Itu siapa sih ngomong sendiri di depan pintu?"
"Nggak tahu, gak jelas banget."
"Baru masuk aja udah gak waras gitu. Mana temen sekelas lagi."
"Ganteng sih, tapi kalau ngomong sendiri gitu—"
"Idihhh amit-amit dah..."
Tbc
190620
KAMU SEDANG MEMBACA
[i] PHOTO | VERIVERY
Fanfiction[COMPLETED] «Don't keep staring, now it's game over. I catch you.» Ketika kamera, layar, tombol klik, lensa, flashlight, dan memori menjadi foto, semua itu butuh pengorbanan. Pengorbanan dari setiap komponen itu adalah jiwa. Hasilnya berupa foto ya...