•29•

295 83 25
                                    

"Salah satu di antara kita berdua akan mati, Kangmin."

Kangmin meremas pinggiran sprei kasurnya ketika Yongseung mengingatkannya akan hal itu. "Kita akan tahu hasilnya setelah kita mencoba."

Hening. Yongseung tidak menjawab. Hal itu membuat Kangmin berpikir mungkin sahabatnya itu sedang ketakutan sekarang.

"Lo takut? Halah nggak peduli lo takut atau enggak tunggu gue sebentar. Gue bakal ke rumah lo."

Tidak ada jawaban di seberang sana namun Kangmin tetap bergegas memakai hoodie miliknya dan membawa tas ranselnya.

"Tunggu sebentar ya, jangan matiin telepon gue mau nyari taksi bentar soalnya ortu gue lagi gak ada di rumah." ujar Kangmin lagi.

Kali ini bukan hanya tidak menjawab tetapi sang penelepon justru menutup sambungan telepon mereka.

Kangmin mengernyit menatap ponselnya. "Kok dimatiin sih?"

Mendapat sesuatu yang janggal dari kejadian tersebut ia segera berlari keluar kompleks perumahan tempat tinggalnya. Bergegas menuju jalan raya, mencari taksi untuk segera pergi ke rumah sahabatnya.

Seraya mencari taksi Kangmin menelepon sang Mama. Bagaimanapun juga Mamanya harus tahu hal ini.

"Halo, Ma?"

"Halo, Nak, ada apa?"

"Kangmin mau izin nginep di rumah Yongseung."

"Oh temen kamu yang katanya jadi takdir sang iblis itu?"

"Iya."

"Beneran cuma nginep?"

Kangmin mengigit bibir bawahnya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia takut Mamanya akan khawatir.

"Kangmin... Dengerin Mama, Mama tahu kamu kesana bukan sekedar nginep kan?"

Kali ini Kangmin terisak. Jujur ia sedikit takut mengatasi semua ini.

Ia takut Yongseung akan pergi sama seperti Minchan dulu.

"Mama tahu kamu masih dendam karena kematian Minchan dua tahun lalu. Tapi Mama mohon jangan sampai kamu melukai dirimu sendiri." ujar sang Mama dengan suara bergetar.

"Kangmin nggak mau kehilangan temen Kangmin lagi Ma." tutur Kangmin yang saat ini sudah tidak bisa menyembunyikan isakannya.

"Iya Mama ngerti. Mama juga nggak pengen kehilangan anak Mama satu-satunya."

"Mama, Kangmin minta maaf..."

"Kangmin--"

"Maafin Kangmin yang belum jadi anak penurut buat Mama."

"Kangmin, kalau butuh sesuatu segera telfon Mama atau Papa, ya?"

"Mama mau maafin Kangmin?"

"Kangmin, kenapa kamu kayak gini?"

"Udah ya Ma, Kangmin tutup dulu teleponnya, taksinya udah dateng. Kangmin sayang Mama sama Papa." jawab Kangmin final.

Ia segera menghapus air mata di kedua pipinya. Kalau ia ingin menyelamatkan Yongseung maka ia yang harus mati.

Hanya ada dua pilihan, mati dengan kesakitan atau hidup dengan penyesalan seumur hidup.

Kangmin tidak mau kedua bola matanya melihat hal yang sama untuk kedua kalinya.





***





Sesampainya di depan rumah Yongseung, Kangmin segera mendongak menatap kamar Yongseung.

[i] PHOTO | VERIVERYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang