•08•

376 116 8
                                    

Setelah mendengar ucapan Kangmin tadi siang, Yongseung jadi frustasi. Bahkan ia tak sanggup menulis rencananya untuk besok karena semuanya terasa kacau.

Mulai dari melihat bayangan hitam yang menyeramkan serta posisinya yang berperan sebagai foto. Semuanya terasa tak masuk akal dan tak bisa dijelaskan secara ilmiah. Yongseung tidak ingin mempercayai ucapan Kangmin tapi bukti bahwa ia dapat melihat sosok menyeramkan itu membuat otak dan hatinya berpikir dua kali.

Lalu fakta bahwa ia mungkin saja mati membuat bulu kuduknya kembali meremang. Apa-apaan ini? Kenapa hidupnya jadi berubah seratus delapan puluh derajat?!

Ketika Yongseung sibuk dengan pergulatan pikirannya tiba-tiba ponselnya berdering. Ia mengambil ponselnya dan mendapati nomor tak dikenal tertera di layar.

Jujur, rasanya Yongseung seperti diteror. Sebenarnya sudah biasa bagi Yongseung mendapat nomor tak dikenal yang meneleponnya. Sejak dulu ia memang tak pernah menyimpan nomor teman-teman sekolahnya karena mereka hanya akan menelepon disaat membutuhkannya.

Tetapi kali ini berbeda.

Pikiran buruk terus menyerang Yongseung tanpa henti. Suara dering ponselnya pun tanpa henti terus berbunyi seolah-olah hanya Yongseung tujuannya.

Ia menarik nafasnya kuat-kuat lalu menghembuskannya. Akhirnya Yongseung memilih untuk menerima panggilan itu. "H--halo?"

"Hhh... Yong--seung--"

"Kangmin?!" suara Kangmin seperti orang yang sedang kesakitan membuat Yongseung panik.

"Gue di serang."

"H--hah?"

"Iblis itu--dia, arghhhh sakit sialan, hati-hati dong! Dia nyerang gue, sial tubuh gue rasanya remuk."

"Kamu lagi sama siapa?"

"Ada temen gue yang ngobatin luka gue. Gue mohon, lo jaga diri lo baik-baik. Sejauh ini gue rasa lo masih aman karena masih ada satu unsur yang belum pernah lo temui."

Angin bertiup kencang hingga sanggup membuat gorden jendela di kamar Yongseung tertutup. Tiba-tiba udara menjadi sangat dingin dan kesunyian melanda kamar Yongseung.

Ada yang aneh.

Ini tidak biasa.

Yongseung memberanikan diri untuk menoleh, menatap jendela kamarnya yang saat ini sudah sepenuhnya tertutup oleh gorden.

Meski begitu masih ada sedikit celah diantara gorden itu. Lalu di sana Yongseung mendapati mata merah menyala sedang menatapnya tajam.

Ia langsung jatuh terduduk karena terkejut. Tubuhnya mati rasa karena sosok itu terus menatapnya tanpa berkedip.

"Ka--kangmin, dia--"

"Dia? Maksud lo--tunggu! Nggak mungkin kan dia sekarang ada di kamar lo?!"

"Dia natap aku."

"Ambil jimat yang gue kasih ke lo tadi siang. Cepat!"

Yongseung segera bangkit dan merogoh tasnya. Sunyi dan dingin masih melanda. Sosok itu tetap menatap Yongseung tanpa berkedip maupun bergerak sedikit pun.

Tiba-tiba tasnya bergerak ke atas dan dibanting tepat di depan jendela. Semua isi tasnya berhamburan keluar termasuk jimat yang diberi oleh Kangmin.

Dengan mengesampingkan rasa takutnya Yongseung berusaha mengambil beberapa jimat itu. Namun angin bertiup lebih kencang membuat jimat yang terbuat dari kertas itu pergi menjauh menelusup di bawah ranjangnya.

Meski begitu ada satu jimat yang tersangkut di kaki kursi belajarnya. Yongseung segera meraihnya dan sesuai dengan ucapan Kangmin ia segera mengarahkannya pada sosok hitam itu.

Angin kencang yang tak terelakkan pun menerpa seluruh isi kamarnya. Namun bersamaan dengan itu, perlahan-lahan suara-suara kembali bermunculan disertai hawa dingin yang perlahan hilang. Lalu mata merah itu berangsur-angsur meredup dan tak lama kemudian hilang sepenuhnya.

"Hah--" Yongseung menghela nafasnya lega.

Seketika tubuhnya terasa lemas seolah energinya terkuras habis padahal pergulatan itu hanya berlangsung sebentar. Dengan gontai ia kembali mengambil ponselnya yang sebelumnya ia letakkan begitu saja di atas kasur.

"Halo?"

"Yongseung, gimana? Lo berhasil kan?!"

"Kalau aku nggak berhasil terus yang bicara sekarang siapa?"

"Ck, gue khawatir sialan!"

"Kamu bilang kalau aku aman, buktinya? Aku hampir mati tadi!"

"Pasti ada sesuatu yang gue lewatin. Besok kita bahas di sekolah. Taruh satu jimat di bawah bantal lo pas lo mau tidur. Jangan lupa di jendela dan pintu juga ditempel jimatnya."

"Oke."

Lagi-lagi ia menghela nafasnya berat. Malam ini akan terasa begitu panjang bagi Yongseung.



***



"Gue masih belum nemu sesuatu yang terlewat dari kejadian semalam." ujar Kangmin seraya menyibak rambutnya ke belakang.

Hari ini Kangmin masuk dengan lehernya yang di perban serta beberapa plester yang menutupi lengannya.

"Dia bisa nyerang kamu?" tanya Yongseung setelah melihat leher dan lengan Kangmin yang terluka.

"Tentu bisa. Dia itu kuat."

"Tapi aku kemarin--"

"Dia belum bisa nyerang lo. Ah, maksudnya, belum saatnya dia nyerang lo."

"Maksudmu, dia punya jadwal buat ngambil takdirnya itu?"

Kangmin mengangguk. "Makanya kita harus ngulur waktu sebanyak mungkin."

"Caranya?"

"Kita harus berteman dengan anak buahnya dulu."

Lihat!

Sekarang Kangmin bahkan menyuruhnya untuk berteman dengan anak buah iblis itu!



















Tbc
130720

[i] PHOTO | VERIVERYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang