Lho, memangnya salah bisa melihat dua kakak kelasnya itu?Sebenarnya jawaban apa yang Kangmin inginkan?
"Ya wajar dong aku bisa lihat mereka."
"Yongseung, asal lo tau ya, mereka itu nggak seharusnya terlihat oleh mata normal."
Yongseung tertawa sinis. "Jadi maksudmu mereka itu hantu gitu?"
Kangmin mengangguk mantap. "Mereka udah meninggal belasan tahun lalu."
"Ucapanmu gak lucu!"
"Gue beneran, Kim Yongseung! Gue gak mau lo jatuh ke dalam lubang yang sama kayak gue!"
Setelah itu tiba-tiba raut wajah Kangmin berubah sendu. Wajahnya menampilkan raut bersalah dan seperti ada sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan pada siapapun.
"Kalau lo gak percaya gapapa. Gue balik dulu." ucapnya berlalu pergi meninggalkan kamar Yongseung.
Yongseung tak bisa mencegahnya. Ia hanya bisa melihat Kangmin dari lantai atas. Saat turun ke bawah Kangmin berusaha keras mengubah ekspresinya menjadi kembali ceria dan berpamitan pada kedua orang tuanya.
Ia kembali ke dalam kamarnya dan memikirkan maksud ucapan dari teman sebangkunya itu.
Bagaimana jika yang diucapkan Kangmin itu benar?
Ah, tapi mana mungkin ia bisa melihat hantu? Lalu bukankah hantu berwajah menyeramkan?
Atau Kangmin hanya berusaha menakutinya? Jika iya, keuntungan apa yang ia peroleh?
"Apa ini cuma halusinasinya dia aja ya? Kalau dipikir-pikir sikapnya aneh banget."
***
Saat istirahat Kangmin langsung meninggalkannya begitu saja. Selama dikelas pun pemuda itu tak berbicara apapun. Jujur saja Yongseung senang karena ia bisa konsentrasi selama pelajaran tadi.
Kaki panjanganya terus melangkah menuju perpustakaan sembari terus berpikir tentang ucapan Kangmin semalam dan perubahan sifatnya yang drastis.
Tadi malam Yongseung sempat mencari sesuatu yang mirip dengan perilaku Kangmin di internet, katanya itu skizofrenia. Penyakit di mana membuat sang penderita berhalusinasi seolah itu benar-benar nyata.
Tak lupa ia juga mencari gambar hantu. Lalu internet memunculkan gambar-gambar seram hingga membuat Yongseung kesulitan tidur.
Dari situ Yongseung berspekulasi bahwa apa yang dikatakan Kangmin hanyalah halusinasi anak itu semata.
Di perpustakaan ia segera mencari buku-buku tentang psikologi. Ada banyak judul dan Yongseung mengambil semuanya untuk di baca. Karena ia butuh ketenangan akhirnya dipilihlah meja yang terletak paling ujung.
Ada dua anak yang sedang tidur di sana, yah, tempat ini cukup strategis untuk bolos pelajaran karena tempatnya yang jarang dilihat oleh penjaga perpustakaan. Meski begitu Yongseung tetap memberi salam pada mereka karena itu adalah tata krama yang harus ia junjung di manapun ia berada.
"Maaf, boleh saya duduk di sini?"
Padahal Yongseung merasa bahwa ia berkata lirih, namun reaksi keduanya yang nampak terkejut dengan mata membulat sempurna membuat Yongseung merasa bersalah.
"Ah, maaf jika menganggu tidur kalian." ucapnya tak enak.
"Ng—nggak kok. Tapi—" ucapan anak itu seperti tersangkut di tenggorokannya dan ia menoleh pada teman disampingnya yang saat ini mengendikkan bahunya.
Karena tak sanggup melanjutkan kalimatnya, temannya itu menoleh pada Yongseung. "Anu, kita mau pergi dulu ya."
"Kalau kalian merasa terganggu aku saja yang pergi." jawab Yongseung pada akhirnya.
Namun dua siswa laki-laki itu justru segera berdiri dan pergi meninggalkan Yongseung. Meski merasa bersalah, tetap saja ia harus menunaikan urusannya di perpustakaan.
Untunglah Yongseung sempat membaca name tag mereka. Setidaknya jika bertemu mereka lagi Yongseung harus meminta maaf karena ia telah mengganggu acara tidur mereka.
"Barusan lo ngomong sama siapa?"
Yongseung sedikit tersentak karena sebuah suara familier itu. Ia menoleh dan mendapati Kangmin sedang menatapnya tak suka.
"Penting banget ya kamu harus tahu?" jawab Yongseung berani. Ia memutuskan seperti itu karena tak mau hidupnya di atur oleh seseorang yang bahkan baru dikenalnya kemarin.
"Gue tanya lo sekali lagi. Barusan lo ngomong sama siapa?" tanya Kangmin lagi menghiraukan jawaban Yongseung.
"Jo Gyehyeon dan Ju Yeonho. Puas?"
Raut wajah Kangmin langsung berubah saat itu juga.
Tbc
060720
KAMU SEDANG MEMBACA
[i] PHOTO | VERIVERY
Fiksi Penggemar[COMPLETED] «Don't keep staring, now it's game over. I catch you.» Ketika kamera, layar, tombol klik, lensa, flashlight, dan memori menjadi foto, semua itu butuh pengorbanan. Pengorbanan dari setiap komponen itu adalah jiwa. Hasilnya berupa foto ya...