•34•

300 78 9
                                    

Papa Yongseung pada awalnya menolak untuk mengantarkan anaknya pergi ke rumah Kangmin untuk menemui kedua orang tuanya. Tetapi Yongseung mengancam bahwa ia akan pergi sendiri dengan menaiki taksi. Akhirnya sang Mama membujuk suaminya agar menuruti keinginan anak semata wayang mereka.

Dokter yang menangani Yongseung awalnya juga menolak karena Yongseung baru saja siuman. Tetapi, lagi-lagi Mama Yongseung bertindak, membuat sang dokter mengangguk setuju namun dengan beberapa syarat.

Yongseung tetap harus diinfus untuk menyuplai kebutuhan gizi yang selama sebulan ini kurang ia dapatkan. Lalu beberapa luka yang memerlukan jahitan jangan sampai terasa sakit, lebih baik Yongseung duduk sejenak untuk istirahat agar bekas lukanya tidak membuka.

Dengan beberapa syarat yang disetujui oleh Yongseung dan orang tuanya, akhirnya mereka bertiga berangkat ke rumah Kangmin.

Di depan rumah Kangmin ada dua truk besar dan beberapa orang yang sibuk memindahkan barang serta kardus-kardus besar dari dalam rumah menuju truk. Lalu mobil putih milik orang tua Kangmin sudah terparkir rapi di depan truk-truk itu, siap untuk pergi.

Yongseung segera turun dari mobil dibantu Mamanya. Tiang yang menjadi tempat infusnya, ia pegang dan seret perlahan.

Dengan sopan Mama Yongseung menekan bel rumahnya. Meski ramai, mereka bertiga tetap tak berani masuk sebelum diizinkan oleh sang empunya.

Mama Kangmin terlihat turun dari tangga. Ia berhenti sejenak di anak tangga terakhir saat mengetahui bahwa Yongseung yang datang berkunjung. Kemudian Papa Kangmin yang berdiri di belakangnya segera merangkul pundak istrinya lalu membawanya menuju Yongseung dan kedua orang tuanya.

"Syukurlah Yongseung sudah siuman." ujar Papa Kangmin senang.

"Iya, kami sendiri tidak menyangka bahwa Tuhan memberikan keajaiban sedemikian rupa." jawab Papa Yongseung.

"Ya sudah, ayo masuk saja dulu, untung sofanya belum dimasukin ke truk." kekeh Papa Kangmin yang ditanggapi oleh tawa canggung dari Papa Yongseung.

Saat mereka semua sudah duduk di sofa suasana tiba-tiba berubah jadi hening. Mama Kangmin terus-terusan menunduk membuat Yongseung merasa bersalah. Papa Kangmin hanya bisa tersenyum canggung pada orang tuanya.

"Anu-- saya--"

Ucapan Yongseung terpotong karena tiba-tiba Mama Kangmin memeluk leher suaminya. Wanita itu menangis.

"Sudahlah, aku kan udah bilang ikhlasin aja..." ujar Papa Kangmin seraya menepuk pelan punggung istrinya.

Mama Kangmin menggeleng sesenggukan. "Kangmin, anakku--"

Yongseung yang melihat Mama Kangmin seperti itu hanya bisa menggigit bibir bawahnya seraya meremas ujung piyamanya. Yongseung bukan orang bodoh. Ia paham bahwa Mama Kangmin mungkin menyimpan rasa dendam dan marah padanya karena gara-gara Yongseung anak semata wayang mereka jadi pergi lebih dulu.

"Kami meminta maaf--"

"Tidak." jawab Papa Kangmin tegas, memotong ucapan Papa Yongseung.

Papa Kangmin menghembuskan nafasnya perlahan lalu kembali melanjutkan ucapannya. "Ini bukan salah Yongseung. Ini takdir mereka. Kangmin pergi lebih dulu karena ia memilih jalan ini, aku yakin anakku justru bahagia di atas sana karena misinya berhasil."

"Se--sejujurnya sebelum saya siuman, saya bermimpi." ujar Yongseung pelan.

Mama Kangmin segera menoleh lalu menghapus air matanya kasar. "Mimpi apa?" tanyanya.

Bukan hanya orang tua Kangmin yang menunggu cerita Yongseung tetapi juga kedua orang tuanya. Akhirnya Yongseung menarik nafasnya perlahan lalu menghembuskannya secara perlahan pula.

[i] PHOTO | VERIVERYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang