•20•

317 92 11
                                    

Yongseung memberanikan diri pergi ke rumah Kangmin pada malam hari, tentu saja dengan diantar oleh Papanya.

Tak sampai di situ, bahkan ketika Yongseung sudah sampai di rumah Kangmin ia mendapati kedua orang tua Kangmin sedang melakukan pengusiran roh jahat di sebuah kalung milik klien mereka. Kalung yang memiliki liontin berwarna hijau zamrud itu terus bergerak saat Ayah Kangmin mengucapkan sesuatu yang Yongseung duga sebagai mantra. Sedangkan Ibu Kangmin berusaha keras melindungi kliennya agar tidak kerasukan.

Kedua orang tua Kangmin melakukan pengusiran itu di ruang tengah keluarga.

"Kok mereka ngelakuin pengusiran roh jahat di ruang tengah? Bukannya rumahmu ada ruangan khusus yang buat kita rapat itu?" tanya Yongseung pada Kangmin saat mereka sudah sampai di kamar Kangmin.

"Inget boneka yang dimainin kak Yeonho?"

Yongseung mengangguk.

"Boneka itu dirasuki lagi. Makanya ruangan itu sekarang di kunci karena kalau bonekanya sampai keluar bisa bahaya."

"Terus cara ngusih rohnya gimana kalau di buka aja bisa langsung bahaya?"

"Tunggu rohnya agak baikan dulu." jawab Kangmin seraya merebahkan diri dikasurnya.

"Emang bisa gitu?"

Kangmin mengangguk. "Semua roh jahat itu pasti punya masa tenangnya juga."

"Berarti iblis itu--"

"Nggak, itu udah beda konsep lagi."

Yongseung memanyunkan bibirnya. Ia pikir iblis itu juga bisa tenang dan mereka bisa melakukan negosiasi, ternyata tidak semudah itu. Ia pun berjalan mendekati Kangmin dan duduk di sisi ranjangnya.

Yongseung merasa bingung karena Kangmin terlihat santai di saat lantai bawah rumahnya sangat gaduh. Saat mendengar teriakan mengerikan dari bawah serta teriakan Ayah dan Ibu Kangmin mengucapkan kalimat yang tidak Yongseung ketahui, bulu kuduknya langsung meremang.

Belum lagi suara pintu yang di dobrak tanpa henti akibat boneka itu. Jika Yongseung tinggal di rumah ini, pasti ia tidak pernah bisa tidur di malam hari.

"Kok kamu bisa santai sih?" ujar Yongseung memutuskan untuk bertanya daripada harus menyimpan semua pertanyaan itu di otaknya.

Kangmin mengendikkan bahunya acuh tak acuh. "Udah biasa sejak kecil."

"Kamu pernah kerasukan?"

"Bolak-balik."

"Rasanya gimana?"

"Lo mau coba?"

Sontak Yongseung menggeleng tegas.

Masa iya dia mau mencoba kerasukan di saat hidupnya sudah diteror?!

"Ngapain lo kesini?" tanya Kangmin.

Ia penasaran mengapa Yongseung kemari di saat tidak ada tugas kelompok. Ini pertama kalinya Yongseung berkunjung kerumahnya, biasanya Kangmin yang ke rumah Yongseung untuk menyontek.

Jangan tanya mengapa Kangmin tidak meminta jawaban via chat dimana zaman yang sudah serba teknologi ini. Jawabannya karena Yongseung tidak pernah melihat ponselnya kecuali saat ia membutuhkan.

Bahkan ketika Yongseung ingin benar-benar fokus belajar, ia akan mematikan ponselnya semalaman.

Bagi Yongseung, ponselnya tidak pernah berguna, kecuali untuk mengangkat telepon dari keluarganya.

"Mau ngomong sesuatu." jawab Yongseung ragu.

"Boleh ngomong tapi lo harus contekin gue ya? Betewe, ini gue maksa."

Yongseung mendengus lalu merogoh ranselnya untuk mengambil buku tulis fisikanya.

"Nih." ujarnya seraya melempar buku tulis itu tepat di wajah Kangmin.

Kangmin segera mengambil buku itu dan bangkit menuju meja belajarnya sambil nyengir. "Makasih bos."

"Kamu juga harus belajar, Kangmin."

"Kan masih ada lo, ngapain gue belajar?"

"Bentar lagi kan nyawaku mau di ambil sama sang iblis."

Kangmin langsung memutar kursinya menghadap Yongseung. Ia menatap Yongseung tak suka.

"Nggak, lo gak bakal mati!"

"Gimana kita bisa ngelawan sang iblis kalau kita bertujuh aja terbagi jadi dua kubu?"

Kangmin memutar kedua bola matanya malas. "Kalau lo ke sini cuma mau ngomong masalah kak Dongheon dan kak Hoyoung mending lo pulang aja."

"Lho, kan nggak ada salahnya kita denger penjelasan dari mereka?"

"Gak ada yang perlu dijelasin."

Yongseung mendengus lalu bangkit menghampiri Kangmin di meja belajarnya. "Kenapa kamu batu banget sih?"

"Gue percaya kak Minchan!"

"Bohong."

"Apa-apaan sih lo? Kenapa jadi sok tahu gini?!" jawab Kangmin seraya bangkit dan mendorong pundak Yongseung.

Yongseung menepis tangan Kangmin dari pundaknya. Ia menatap teman sebangkunya itu tajam. Kangmin pun tak kalah dari Yongseung, ia mendelik dengan amarah yang siap meletup kapan saja.

"Aku inget di perpustakaan tadi kamu mau nyeritain tentang kematiannya kak Minchan, kak Gyehyeon dan kak Yeonho."

Tatapan mata Kangmin langsung berubah. Ia menunduk, memilih tidak menunjukkan wajahnya pada Yongseung.

"Kamu bilang kak Dongheon dan kak Hoyoung ngomong sesuatu sama kamu dan kamu gak mau denger omongan mereka. Kamu bilang kamu menyesal sampai saat ini dan itu penyebab kenapa setiap denger namanya kak Minchan hati kamu langsung sakit."

Kangmin mendongak menatap Yongseung. Air matanya telah lolos keluar karena kesedihan yang tak sanggup ia bendung lagi.

Yongseung tidak tahu alasan jelasnya karena ia sendiri belum tahu pasti cerita masa lalu kelima hantu itu. Namun melihat Kangmin yang selalu menangis setiap cerita masa lalu itu dibicarakan, membuat Yongseung sadar bahwa semua ini bukanlah perkara sepele.

"Bukan kak Dongheon dan kak Hoyoung kan yang bunuh mereka?"

Kangmin menggeleng pelan. "Mereka memang membunuh, tapi hanya sebagai alat."

Mengetahui fakta itu Yongseung mengusap wajahnya lelah. "Terus kenapa kamu usir mereka sebelum mereka jelasin semuanya? Toh,  kalau kak Minchan denger penjelasan mereka juga gak ada ruginya kan?"

"Gue percaya kak Minchan. Kepercayaan gue inilah yang membuat insiden masa lalu itu terjadi, gue terlalu percaya kak Minchan sampai gak mau denger omongan kak Dongheon dan kak Hoyoung. Gue pikir dengan mempercayai kak Minchan sekali lagi, gue bisa nebus kesalahan gue di masa lalu."

"Itu nggak rasional, Kangmin!"

"Gue minta maaf."

Kangmin segera melangkah maju dan memeluk Yongseung. Perlakuan Kangmin yang tiba-tiba itu membuat Yongseung berdiri kaku seperti manekin. Apalagi ini pertama kalinya ia dipeluk oleh orang lain selain anggota keluarganya.

Sesaat sebelum Yongseung melepaskan pelukan mereka, tiba-tiba Kangmin berbisik dengan sangat lirih tepat di telinga Yongseung.

"Sebagian ucapan gue tadi bohong. Di perpustakaan pun sebenarnya gue dan kak Minchan cuma sandiwara."

"Tap--tapi, ke--napa?" jawab Yongseung tak mengerti.

"Iblis itu mulai ngawasin kita."

"H--hah?"

"Sekarang dia lagi berdiri dibalik gorden jendela kamar gue."

















Tbc
240820

[i] PHOTO | VERIVERYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang