Prolog

908 142 22
                                    

Rumah kosong itu kini telah terisi. Sang pemilik tengah sibuk menata barang-barangnya. Sejak kemarin mereka pindahan mereka langsung menata barang-barang yang cukup banyak itu, untunglah pekerjaan itu hari ini akan selesai.

Seorang anak kecil berusia lima tahun berlarian sembari membawa mainan robotnya menghampiri sang Mama yang saat ini tengah menata mainannya di almari kaca.

"Mama~" panggilnya manja seraya memeluk leher Mamanya.

Wanita itu menoleh dengan senyumannya. "Ada apa sayang?"

"Papa di mana?"

Wanita itu melirik sekelilingnya lalu beberapa saat kemudian ia mendengar suara dari lantai atas. "Sepertinya sedang di kamarmu. Sana, bantu papa menata kamarmu."

Anak itu segera bangkit seraya bersikap hormat. "Siap Mama."



***



"Papa!" serunya setelah menemukan sang Papa di kamarnya.

Lelaki yang dipanggil Papa itu tersenyum lembut. "Adek kasurnya mau di sebelah mana?"

"Di situ, di deket jendela."

Matanya menyipit karena tersenyum lalu bergegas menggendong anaknya. "Siap kapten!"

"Mau adek bantuin, Pa?"

"Boleh."

Meski begitu pada akhirnya hanya sang Papa yang sibuk menata dan si anak kecil hanya bermain.

"Papa, ini foto apa?" tanyanya ketika secara tak sengaja menemukan sebuah foto di kardus yang berisi buku dongengnya.

Di foto itu ada papanya dan enam orang lain yang tak ia ketahui.

Sang papa mendekat dan ketika ia melihat foto itu raut wajahnya langsung berubah. Wajahnya tak lagi menampilkan senyum, hanya kesedihan yang tertinggal di sana.

"Papa kenapa?" tanyanya khawatir.

Sang papa segera mendudukkan dirinya lalu menyuruh anaknya untuk duduk di pangkuannya. Ia mengambil foto itu dan melihatnya seksama.

Kenangan bertahun-tahun lalu masih tersimpan di foto ini.

Padahal memori otaknya berusaha menghapusnya.

"Ini foto papa dan teman-teman papa, nak."

Mata sang anak berbinar. "Ganteng semua, ya."

Ia hanya tertawa renyah mendengar celotehan anaknya.

"Yang ini namanya siapa Pa?" tanyanya menunjuk pada salah seorang di foto itu.

Ia diam sejenak. Lidahnya terasa kelu setiap menyebut nama teman-temannya. Rasa sakit itu hingga kini tak pernah bisa hilang meski ia terus mencoba menyembuhkannya.

Nyatanya obat untuk sakit itu tak bisa ditemukan di dunia ini.

"Yu Kangmin." jawabnya singkat setelah menguatkan hatinya.

Sang anak mendongak. "Kok namanya sama kayak adek?"

"Karena adek imut kayak Kangmin."

"Jadi yang namanya Kangmin itu imut ya, Pa?"

Sang papa mencubit hidung anaknya gemas. "Iya."

"Tapi adek nggak mau jadi imut. Adek mau jadi ganteng aja kayak kakak ini. Kakak ini siapa namanya, Pa?"

Belum sempat papanya menjawab pintu kamar terbuka. Wajah sang mama menyembul dari balik pintu sembari tersenyum.

"Seru banget kayaknya. Ayo makan siang dulu nanti dilanjut beresinnya."

"Yeay makan!!!" serunya seraya berlari terlebih dahulu meninggalkan kedua orang tuanya.

Setelah sang anak pergi meninggalkan mereka, kini sang istri berjalan mendekat ke arah suaminya yang masih termangu menatap sebuah kertas.

"Kak Yongseung kenapa?"

"Ah, ini Kangmin nemuin fotoku dulu."

Sang istri hanya mengangguk singkat. "Ayo makan dulu kak."

Yongseung mengangguk dan mengikuti langkah istrinya menuju dapur.

Namun pikirannya masih menyelam dalam foto itu.

Seingatnya ia telah membuang foto itu, tetapi kenapa masih ada?


















Tbc
150620

[i] PHOTO | VERIVERYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang