Sejak jam pelajaran pertama wajah Yongseung terlihat lesu. Matanya menatap papan tulis namun Kangmin yakin pikirannya menerawang jauh. Sudah hampir seminggu Yongseung seperti ini karena kejadian sang iblis tempo hari. Tetapi tetap saja Kangmin heran karena meski tak bersemangat pada hal apapun selama seminggu, tetap saja nilai kuis harian Yongseung selalu sempurna.
Terbuat dari apa sih otak Yongseung?
Jangan-jangan dia nggak makan nasi lagi?!
Kangmin segera menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Pikirannya selalu tidak masuk akal seperti ini, makanya ia sendiri tidak heran jika selalu mendapat nilai diambang batas kkm.
Sebenarnya Kangmin memiliki kemampuan berpikir dan logika yang tidak kalah dari Yongseung. Ia akan menjadi murid yang cerdas jika ia mau. Hanya saja setiap ia mau belajar beberapa hantu jahil selalu menganggunya. Entah itu di rumah, sekolah, taman, tempat les, mall, jalan raya, dan semua tempat lain pasti ada hantu yang membuat Kangmin frustasi dan memutuskan untuk bermain dengan mereka.
"Yongseung, ayo ke kantin." ajak Kangmin pada teman sebangkunya itu.
Yongseung tidak merespon. Matanya tetap menatap kosong ke arah papan tulis.
Sudah seminggu Yongseung seperti ini yang berarti sudah seminggu pula mereka menunda penafsiran Yongseung tentang unsur-unsur yang mereka pegang. Selama ini mereka pergi ke rumah Yongseung untuk menghiburnya karena masih merasa terguncang akibat merusak mata sang iblis.
Memang benar selama seminggu ini sang iblis tidak menganggu mereka sehingga mereka bisa leluasa pergi ke rumah Yongseung. Tetapi bisa saja kan sang iblis sedang membangun kekuatannya lagi?
Seminggu bukanlah waktu yang singkat.
"Mau sampai kapan lo begini?" tanya Kangmin lagi.
Yongseung tetap diam namun kedua bola matanya bergerak, melirik ke arah Kangmin.
Kangmin mendengus. "Gue tahu lo merasa terguncang, merasa nggak percaya sama sekali. Tapi apa lo pikir kita semua nggak buang-buang waktu? Udah seminggu lo begini. Kita nggak ada peningkatan selama seminggu, lo pikir sang iblis juga sama kek kita? Nggak Yongseung, mungkin aja dia sekarang lagi ngumpulin kekuatannya yang bahkan bisa lebih kuat dari sebelumnya."
Yongseung hanya melirik Kangmin tanpa menjawab ucapannya.
Pada akhirnya Kangmin mendengus sebal. "Tahu ah! Ngomong sama lo kek ngomong sama tembok! Capek gue ngomong panjang lebar!"
Kangmin bangkit lalu menendang kursinya hingga terjungkal ke belakang. Perutnya sudah minta di isi dan jika ia terus berbicara pada Yongseung tak menutup kemungkinan bahwa ia akan meninju wajah teman sebangkunya itu.
"Kangmin?" panggil Yongseung lirih ketika Kangmin sudah berada di ambang pintu. Kelas sudah sepi karena semua murid pergi untuk makan siang sehingga meski suara Yongseung lirih, Kangmin dapat mendengarnya dengan jelas.
Kangmin menoleh sinis. "Apa? Cepetan kalau ngomong, gue udah laper pengen makan biar cacing di dalam perut gue diam."
"Aku diam bukan berarti aku nggak melaksanakan tanggung jawabku."
"Hah?"
Yongseung bangkit dari tempat duduknya lalu menatap Kangmin. "Hah, hah, aja kamu kayak tukang keong."
Kangmin mengernyit. Ia sudah bingung sejak Yongseung berkata perihal tanggung jawab. Lalu ia semakin bingung lagi ketika Yongseung berkata tukang keong.
Sejak kapan temannya yang masih kuno dan hidup di zaman penjajahan itu tahu istilah 'tukang keong'?
"Sejak kapan lo tahu istilah tukang keong?!" tanya Kangmin histeris.
KAMU SEDANG MEMBACA
[i] PHOTO | VERIVERY
Fanfiction[COMPLETED] «Don't keep staring, now it's game over. I catch you.» Ketika kamera, layar, tombol klik, lensa, flashlight, dan memori menjadi foto, semua itu butuh pengorbanan. Pengorbanan dari setiap komponen itu adalah jiwa. Hasilnya berupa foto ya...