"Ica gak mau nikah!"
"Ica! Turun, Nak!" Bibi An berteriak, melupakan sesak napasnya akibat ulah Ica beberapa saat lalu yang berlari ke luar rumah. Lantas dengan gesitnya memanjat dahan pohon mangga. Menjelma menjadi koala, memeluk erat batang pohonnya. Akibat terlalu syok mendengar kabar yang Paman Han bawa. Masalah perjodohan.
"Gak mau! Ica mau sekolah. Ica mau kursus jahit. Ica mau jadi desainer. Ica mau jadi koki juga. Pokoknya Ica mau jadi orang sukses dulu!" teriaknya diselingi tangis makin kejer.
Bibi An memeras jemari, sementara Paman Han di sampingnya memeras otak. Mencari akal supaya tangis Ica berhenti. Beberapa tetangga mulai mengintip dari jendela dan pintu. Mereka tak mau drama di hari Minggu mengundang pertanyaan dan mengusik ketentraman penghuni lain.
"Setelah nikah, kamu juga bakalan sukses. Calon mertuamu akan mewujudkan keinginanmu. Semuanya!" Paman Han berucap, penuh bujuk rayu.
Seketika tangis Ica meredam. Memandang Bibi An dan Paman Han tak mengerti. "Masa?"
"Iya." Paman Han menyakinkan.
"Berapa rius?"
"Seratus rius!"
Ica memandang mangga mentah yang menggelantung di atasnya. Bukan karena ia menginginkan lutisan, melainkan sedang mengawang-awang. Seratus rius? Itu jauh lebih banyak dari serius. Otak limitnya mulai mempertimbangkan.
"Nikah enak, gak?" tanya Ica lagi, bernegoisasi.
"Pasti enak, dong!" Paman Han mengulum senyum. Ica menangkap kail yang Paman Han lemparkan.
"Lebih enak mana, nikah atau rebahan?"
Bibi An dan Paman Han saling pandang. Sebetulnya menikah itu perkara rumit, mempertemukan dua isi kepala yang berbeda. Apalagi lebih rumit jika dua kepala itu belum pernah bertemu sama sekali. Lebih rumit lagi, salah satu dari dua kepala itu adalah kepala Ica. Yang butuh waktu tiga kali lipat dari manusia lain pada umumnya untuk memahami banyak hal.
Namun demi keluarga, mereka berdua harus berbohong.
Bibi An mendongak, menatap Ica tak lebih tokek sekarang. "Enak nikah, sayang!"
Sungguh terlalu Bibi An menjerumuskan bocah delapan belas tahun itu. Meski usia segitu seharusnya sudah mampu untuk berpikir kritis, namun Ica bukan remaja biasa. Ia terlalu lemot mencerna banyak hal. Sebab itulah, bibi dan pamannya masih menganggapnya anak-anak, cenderung balita malah.
Bibi An meringis, memohon pada Tuhan dalam hati. Semoga apa yang ia dan suaminya lakukan bukan tindakan kriminalitas. Menjerumuskan anak seperti Ica ke dalam masalah pernikahan yang masih tabu di kepala bocah itu.
"Oke, Ica mau nikah!"
Bibi An dan Paman Han seketika menghela napas lega. Umpan telah memakan kail.
"Baiklah, sekarang Ica turun," pinta Bibi An.
Menurut, gadis imut itu memijakkan kakinya amat lihai pada dahan satu ke dahan satunya lagi. Tahu-tahu sudah mendarat keren di tanah.
Pasangan paruh baya itu menghela napas lagi. Terkadang terlintas kekhawatiran terhadap tingkah Ica yang terpengaruh pergaulan di desanya yang suka sekali bermain dengan anak SD yang kebanyakan laki-laki, ketimbang dengan sebayanya. Sehingga memengaruhi tumbuh kembang Ica yang cenderung tomboi dan kekanak-kanakan.
"Bibi sudah memasakkan ayam goreng spesial untuk Ica."
"Aye! Ica suka sekali ayam goreng." Ica merangkul pinggang Bibi An. Mereka sama-sama masuk ke dalam rumah.
"Ica, mau tidak paman perlihatkan foto calon suamimu?" tawar Paman Han ketika mereka sudah ada di meja makan, dengan Ica yang menggigit besar daging paha ayam.
Ica mengangguk amat antusias.
Paman Han mengeluarkan selembar foto dari dalam dompetnya dan menunjukkannya pada Ica.
"Tampan, bukan?"
Ica mengedip. Menegun sesaat. "Mirip Gara, Paman."