Mengeluarkan erangan palsu, melengkungkan punggung saat ia menikmati orgasme palsu yang tampaknya sangat diminati oleh sang kekasih. Jennie mengerang, memegang pinggulnya, memamerkan perasaan ekstasi saat ia menggigit bibir dengan mata tertutup.
Berpikir itu adalah gambar yang paling mengganggu yang pernah dilihatnya—ingin segera menyelesaikannya—Jennie berguling dari atas tubuh sang pria dan seprai dingin langsung menyambut punggungnya.
"Itu sangat menajubkan!" ucap sang pria dengan terengah-engah, berbalik untuk tersenyum dengan tangan yang melingkari pinggang sang wanita.
Jennie memaksakan senyum. "Epik." setelahnya merenung datar, menahan keinginan untuk memutar mata malas.
Melepaskan tangan yang melingkari tubuhnya, lalu segera berdiri untuk memunguti barang-barangnya.
"Kau akan kemana?" tanya pria itu, mengubah posisi menjadi berdiri dan memperhatikan Jennie dengan penasaran.
"Home honey. Aku punya pekerjaan di pagi hari." ucapnya berbohong, mengambil pakaiannya yang tersebar di seberang ruangan.
Jennie mendengar pria itu mengutarakan ketidak setujuannya, tapi ia hanya mengabaikannya dan malah terus mencari barang-barangnya. One night stand bukan hanya pekerjaannya akhir-akhir ini. Setiap sabtu malam selama empat pekan terakhir wanita itu telah menjelajahi beberapa kejantanan dan tidak sekali pun ia menemukan seorang pria yang bisa bercinta dengan benar.
"Tidak bisakah kau tinggal sedikit lebih lama?"
"I'm sorry. I can't."
Mike atau apa pun itu namanya, pria itu menggaruk kepala belakangnya, tampak kecewa. Jennie akui bahwa teman pria nya itu tampan. Tapi........Kalau saja penisnya sama mengesankannya dengan wajahnya, mungkin wanita itu akan sedikit puas.
Akhirnya selesai dengan tugas berpakaian, Jennie menghela napas dan membalik rambutnya yang panjang ke belakang.
"Lebih baik aku segera pergi. Sampai jumpa." ucap Jennie dengan senyum kaku, mengoleskan sedikit lipgloss ke bibirnya sebelum menuju pintu.
"Tunggu!" panggil pria itu, tapi Jennie tidak tertarik dengan apa yang akan dikatakannya. "Aku bahkan tidak mengetahui namamu."
"Aku pikir sudah terlambat untuk itu, sayang. Goodbye."
Mendesah panjang ketika ia telah berada di luar, Jennie segera mencari ponselnya di dalam dompet, hanya untuk menyadari bahwa ia telah menerima tiga panggilan tidak terjawab dari sang Ayah dan empat panggilan lainnya dari semua pria yang pernah bercinta dengannya.
Sambil menggumamkan kutukan, Jennie men-dial ulang nomor Ayahnya sambil berjalan menuju mobil. Wanita itu tahu ini sudah terlambat, tapi ia tahu Ayahnya akan menjadi sulit tidur jika ia tak menghubunginya kembali.
Jonathan Gray menjawab di dering pertama, suaranya yang berwibawa membuat dirinya langsung dikenali—suara yang selalu ditakuti Jennie sebagai anaknya.
"Dad, kau mencoba meneleponku sebelumnya, ada apa?" Tanya Jennie, meluncur masuk ke dalam mobilnya.
"Apa kau masih belum belajar cara meningkatkan volume ponselmu?" Ayahnya bertanya dengan kasar, jelas sedang kesal.
Jennie memutar mata malas dan menyalakan mobil. "Ini akhir pekan, kuharap kau punya alasan kuat untuk menggangguku." ucap Jennie dengan datar, mengabaikan komentar sang ayah sebelumnya.
"Aku ingin bertemu denganmu sesegera mungkin. Datanglah ke rumah sesegera mungkin, bagaimana dengan besok pagi?"
"Apa ada hal yang begitu mendesak sehingga aku harus bergegas pada hari Minggu. Jika ini adalah satu lagi trik kecil yang dilakukan Mom, kau bisa memberitahunya bahwa aku tidak tertarik dengan makan malam di hari Minggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Bed ✔️
FanficPassion. Price. Possession. Hanya ada dua hal yang disukai Jennie Gray selain heels enam inci dan penthouse suite miliknya. Seks dan keluarganya. Ketika Ayahnya mengusulkan pernikahan untuk menyelamatkan bisnis keluarga mereka, Jennie terkejut-terle...