Selama dua hari berturut-turut tidak ada sapaan yang dipertukarkan antara Jennie dan Taehyung. Pria itu akan pulang pada saat Jennie tertidur lelap dan pergi di pagi hari sebelum dia bangun, menolak untuk berbicara dengan istrinya karena takut akan mengatakan kalimat yang salah.
Rasa frustrasi Jennie semakin dalam ketika hari-hari berlalu —baik secara seksual maupun emosional. Wanita itu mengabaikan panggilan Jackson, tetapi entah bagaimana setiap kali ia mencoba mengangkat teleponnya untuk melakukan dosa yang dilarang Tuhan, gelombang rasa bersalah mengalahkannya dan membuatnya tak berkutik, tidak mengangkat telepon dari teman tidurnya itu. Terlepas dari betapa palsunya pernikahan mereka, Jennie merasa ragu untuk bercinta dengan pria lain.
Sambil menghela nafas berat, wanita itu mengenakan pakaian renang dan pergi ke kolam renang, berbaring di kursi pantai dengan segelas jus jeruk. Jennie tidak memiliki sesuatu untuk dilakukan dan memilih untuk berjemur di bawah sinar matahari untuk memperbaiki kulitnya.
Wanita itu tidak tahu berapa lama dia disana, dia bahkan berhenti di beberapa titik sampai dia mendengar namanya dipanggil berulang kali. Sambil berdiri tegak, Jennie memutar badannya kebelakang dan menemukan Nayeon berjalan dengan penuh tekad ke arahnya dengan air mata mengalir di wajahnya.
"What’s wrong?" tanyanya, sedikit melangkah untuk merangkul sahabatnya.
Nayeon sangat berantakan, mata birunya kabur oleh air mata, hidungnya yang mancung berwarna merah dan wajahnya berkilauan karena air mata.
"Aku-aku mungkin telah menghancurkan seluruh hidupku." Nayeon menangis.
Membawa temannya menjauh dari kolam renang menuju ke dapur, bergerak ke arah lemari es untuk mengambilkan segelas air dengan kebingungan.
"Hei, hei. Katakan ada apa?" Jennie berkata dengan lembut, memberikan Nayeon segelas air.
Nayeon mendengus. "Mino memintaku untuk menikah dengannya!" katanya tanpa sadar.
Pergerakannya terhenti dengan mata membelalak. Jennie tidak kaget pada kenyataan bahwa kakaknya akhirnya melamar sang sahabat, tapi wanita itu terkejut karena reaksi Nayeon.
"A–apa yang kau katakan?" Tanya Jennie bingung.
Bibir Nayeon bergetar, menatap Jennie dengan kesedihan di matanya. "Aku mengatakan Tidak padanya."
"Kenapa?"
Nayeon menggelengkan kepalanya dan mengendus. "Aku-aku tidak tahu, Jane. Dia sangat romantis, dia membawakanku sarapan ke tempat tidur dan kemudian mengucapkan kata-kata yang paling romantis dan aku bahkan tidak bisa mengatakan apa yang ingin dia dengar."
"Kenapa tidak?" tanya Jennie yang terkejut. "Kau mencintai Mino, dia juga mencintaimu. Kalian telah bersama sejak kalian cukup umur untuk melakukan ciuman terkutuk itu!" ujar Jennie, tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Bukankah wanita akan senang jika mendapatkan lamaran seperti itu?
"I know I know!" Nayeon berteriak dengan isakan. "Aku benar-benar takut dengan seluruh gagasan itu. Aku mencintai Mino, aku benar-benar mencintainya, tapi bagaimana jika pernikahan mengubah segalanya —mengubah kita?"
Jennie menghela nafas, meletakkan tangan di bahu Nayeon dan menatap jauh ke dalam mata birunya yang berkabut.
"Tidak, hanya ada beberapa orang yang cukup beruntung untuk memiliki cinta seperti yang kau miliki bersama Mino." Jennie terkekeh seraya menghapus air mata Nayeon. "Dia telah meminta wanita yang ia cintai untuk menghabiskan sisa hidup bersamanya. Jika ada perubahan, akan ada lebih banyak cinta untuk dibagikan dengan satu-satunya pria yang kau cintai, Nay."Nayeon menelan ludah dengan susah, mengangguk setuju saat lebih banyak air mata mengalir di wajahnya. "Kau benar, tapi apa yang harus aku lakukan sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Bed ✔️
FanficPassion. Price. Possession. Hanya ada dua hal yang disukai Jennie Gray selain heels enam inci dan penthouse suite miliknya. Seks dan keluarganya. Ketika Ayahnya mengusulkan pernikahan untuk menyelamatkan bisnis keluarga mereka, Jennie terkejut-terle...