6. Wedding Bells

4.9K 523 17
                                    



"Bisakah kau mempercayainya, Nay?" tanya Jennie marah ketika ia mondar-mandir di kamar apartemen sahabatnya. "Pria itu ingin menghancurkan hidupku!"

Nayeon menghela nafas. "Aku pikir kau sangat berlebihan, Jane. Dia sepertinya pria yang baik."

Jennie berhenti, menatap Nayeon seolah-olah dia kehilangan akal. "Apa kau tidak waras? Apa kau lupa apa yang dia lakukan padaku?"

Nayeon berdiri dan merendahkan bahunya. "Aku tidak pernah lupa, tapi seseorang bisa berubah, Jane. Mungkin dia ingin memperbaiki kesalahannya."

Jennie mencibir. "Dia meninggalkanku untuk menikahi wanita lain, dia bahkan meninggalkan negara ini dan sekarang dia kembali ingin menikahiku. Bukankah dia seperti bajingan sombong?"

Nayeon menyisir rambutnya dengan tangan dan menghembuskan napas. "Kau benar, tapi kau tidak punya pilihan, Jane. Kau harus menikah dengannya."

Jennie bisa melihat tatapan sedih di wajah Nayeon. "Aku tidak percaya ini akan terjadi. Kau tahu, saat kami bersama, aku selalu membayangkan akan menikah dengannya —tentang hari pernikahan kami. Sekarang aku mendapatkannya dan aku sangat membencinya, sangat membencinya, Nay." Bibirnya bergetar dan sebelum air mata itu jatuh, Nayeon bergegas ke arahnya dan memeluknya.

"Semuanya akan baik-baik saja, Jane, percayalah." Ucap Nayeon menghibur, dengan lembut mengusap punggung sahabatnya itu.

🌼🌼


Waktu berlalu dengan cepat, dan sebelum Jennie dapat memahami apa yang terjadi, hari dimana ia akan berdiri diatas altar telah tiba. Jennie menatap kosong melalui jendela kaca, menonton aktivitas kota sementara ia membiarkan matahari memukuli kulitnya.

"Jane?" Dia mendengar seseorang memanggil namanya tapi wanita itu tidak tertarik untuk menjawab. Tapi dia tahu bahwa itu adalah Ibunya —hanya dia yang tahu bagaimana cara membujuk resepsionisnya agar membiarkannya masuk tanpa izin.

"Jane?" Tiffany memanggil lebih tegas sebelum menghampiri putrinya.

"Tinggalkan aku sendiri, Mom." Protes Jennie ketika Tiffany sampai didekatnya.

"Kau harus segera bersiap-siap, Jane. Dimana pakaianmu?" tanyanya, melirik histeris ke wajah putrinya.

"Aku tidak membelinya." jawab Jennie, tersenyum.

Tiffany memutar matanya. "Aku tahu kau tidak akan membelinya, itu sebabnya aku membeli satu gaun untukmu."

Nayeon melangkah masuk, mengangkat sebuah paper bag dengan gaun. "Ayo, Jane. Kau tahu kau harus melakukan ini."

Jennie memutar matanya malas dan meraih tas itu. "I hate you guys."

Nayeon tersenyum. "Pergilah mandi."

Jennie menghabiskan waktu sangat lama di bawah semburan air, tidak ingin keluar dan menghadapi kenyataan hidupnya yang pahitnya. Dia ingin untuk tetap di kamar mandi sampai pintu kaca ditarik ke samping, memperlihatkan seorang Nayeon di ambang pintu.

"Keluarkan pantatmu sekarang, girl." ucapnya, mengambil handuk dari rak dan memberikannya pada Jennie.

Jennie menurut dan melangkah keluar dan menemukan Ibunya yang sedang menelepon.

"Dia keras kepala tapi kita akan segera ke sana. Oke, ya aku ingat." Setelah itu dia memutus telepon dan berbalik dengan tergesa kearah Jennie.

"Berhenti bersikap seperti anak kecil Jane dan cepat berpakaian."

Dengan susah payah, Jennie menata rambutnya dan mengenakan gaun yang dibeli Ibunya. Gaun itu mempunyai garis leher berpayet. Tepat berakhir diatas lutut Jennie, bahan sangat mencetak tubuhnya.

"Really, Mom. Apa ini gaun terbaik yang bisa kau temukan?" Jennie bertanya dengan datar.

"Gaun itu terlihat bagus, Jane." Tiffany membela diri.

Jennie mencibir. "Untuk seorang wanita berusia enam puluh tahun yang sedang dalam perjalanan ke kuburnya, maka ya ini sangat cocok. Aku tidak akan memakainya." ucapnya, mengangkat bahu.

Pindah ke lemarinya, Jennie memilih sebuah dress hitam kecil dan berbalik, lalu tersenyum. "Sekarang ini lebih baik daripada itu."

"Jane, ayolah!" Nayeon tidak setuju.

Mengabaikan komentar Nayeon, Jennie mengenakan dress itu. Dari lengan panjang bahu, garis pinggang ketat dan bagian bawah pendek berkobar beberapa inci dari lututnya. Jennie tersenyum dan meraih heels favoritnya.

"Sekarang, aku siap. Ayo pergi." mulut Tiffany dan Nayeon ternganga karena terkejut tetapi mereka tidak memprotes. Sebaliknya, mereka mengikuti di belakang tanpa kata.

🌼🌼


Jennie berhenti ketika mencapai pintu masuk gereja. Begitu dia memutuskan untuk masuk, Ibunya memegang lengannya.

"Ini, ini untuk Taehyung." ujar Tiffany sambil menyerahkan kotak kecil pada Jennie.

Jennie membukanya dan melihat cincin kecil berlapis berlian yang berkilau di dalam kotak.

Jennie menggelengkan kepalanya. "Kalian pasti sangat menyukai pria ini." Dengan mengatakan itu, ia berjalan masuk untuk melihat Taehyung, Ayah dan saudaranya di dalam bersama seorang pastor.

Jennie bisa melihat keterkejutan dalam tatapan mereka. Lalu tersenyum dan mendekati mereka, berhenti tepat dihadapan Taehyung.

"Maaf aku butuh waktu lama. Aku mengalami keram kaki." Ujar Jennie sambil tersenyum, melirik pakaian Taehyung.

Tuxedo.

"Dapatkah kita memulainya?" tanya pastor itu, yang mendapat anggukan dari Taehyung yang membalas tatapannya untuk menatap intens pada Jennie.

Ketika kata-kata pertama keluar dari mulut Taehyung, Jennie mengeratkan giginya, tidak bisa mempercayai semua yang terjadi. Harapan yang dia buat bertahun-tahun lalu menjadi kenyataan, tapi sekarang itu bukan keinginan yang lagi dia sukai. Jennie tidak menyukai setiap kata yang keluar dari mulut pendeta, Jennie tidak suka bahwa Taehyung menatapnya lembut -seolah-olah perasaannya nyata dan dia sangat mencintai wanita itu.

Tenggorokan Jennie berdengung ketika ia memalingkan muka, ketika Taehyung mengulangi kalimat yang diucapkan pendeta kepadanya, dengan keyakinan pada setiap kata. Ketika tiba giliran Jennie, dia melakukannya dengan paksa, ingin menangis tetapi tidak ingin ada yang salah mengira tangisnya karena kebahagiaan.

Ketika semuanya selesai, mereka bertukar cincin, Jennie menelan ludah ketika matanya bertemu dengan cincin berlian yang indah. Bibirnya semakin bergetar, membuatnya merapatkan bibirnya rapat-rapat untuk mencegah isakan.

"Aku sekarang mengumumkan bahwa kalian sudah sah menjadi suami dan istri, sekarang silahkan mencium pengantin wanita." seru pastor itu dengan gembira.

Jennie tidak tahu harus berbuat apa, tetapi dia merasakan ketika bibir Taehyung turun dan menyentuhnya dengan lembut. Hatinya semakin hancur. Ciuman Taehyung selalu agresif dan lapar tetapi kali ini ia melakukannya dengan lembut. Jennie tidak bisa menahan air matanya yang sudah mengalir dan berbaur dengan bibir mereka.

Ketika Taehyung menjauhkan badannya, keluarga Jennie bertepuk tangan di belakang, lalu ia dengan cepat menghapus air mata dari wajahnya, melihat cara Taehyung menatapnya, seolah-olah mengatakan bahwa pria itu sangat menyesal.

"Happy now, Kim?" Tanya Jennie dengan suara serak. "Selamat, kau mendapatkan apa yang kau inginkan."

Setelah mengatakan itu, Jennie bergegas ke mobilnya dan pergi ke hotel, mampir di bar hotel untuk minum. Jennie memesan vodka dan cranberry kesukaannya, meminumnya perlahan ketika ia mengenang hidupnya. Memang pernikahan mereka hanya diadakan sangat sangat sederhana, seperti apa yang diinginkan Jennie.

Melirik cincin yang tersemat di jarinya. Lima tahun mungkin dia akan sangat senang diberi cincin seperti itu, tapi sekarang semuanya tampak sia-sia.

"Cincin yang bagus."

Kepala Jennie berputar ketika ia mendengar suara Jackson. Selain Taehyung, Jackson adalah orang terakhir yang ingin ia temui.

"Jack, apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Jennie, meletakkan tangan di pangkuannya.

"Aku datang untuk menemuimu." Jackson melirik tangan Jennie. "Apakah itu palsu?"

"I wish."

"Kau sudah menikah?!"

Jennie mengangguk. "Sayangnya, ya."

Jackson tampak kaget, dia tentu tidak mengharapkan ini terjadi. Hei, dia bahkan merelakan pernikahannya hanya untuk tetap disini dan bersama Jennie.

"Selama ini kau sudah bertunangan dan—"

"Bukan seperti itu. Semuanya hanya settingan." Jelasnya.

Mata Jackson melebar. "Settingan?"

"Aku melakukannya untuk menyelamatkan perusahaan Ayahku."

Jackson mengerjap, lalu menyisir rambutnya kebelakang dengan jarinya. "Ya Tuhan, Jane. Dunia ini telah berevolusi dan tidak ada lagi perjodohan."

Jennie mengangkat alis dan meneguk minumannya. "Ya, aku juga berpikir begitu, tapi sepertinya beberapa hal tidak pernah berubah."

Setelahnya Jennie kembali berdiri, lalu meletakkan bayarannya di atas meja dan tersenyum pada Jackson. "I’ll call you later, Jack.


🌼🌼



What do you think, guys?
Finally, they're married!!
But....... IDK 😌

Nana lagi rajin update nih! Makin sayang ga sama Nana? 😅

See you later, honey!


Love, Nana;)

Wedding Bed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang