Semua anak sekolah terlihat berlalu lalang untuk merayakan hari keberhasilan melepas masa sekolah. Tapi tidak untuk Ira dan Rio, mereka memilih pulang ke rumah dan merasakan kebahagiaan melalui bercerita pada orang di rumah. Mereka ingin mempersiapkan hal baru yang akan dimulai oleh suasana berbeda.
"Kok kamu engga duluan aja sih Ri, aku lama mutar sepedanya"
Ketus Ira karena dari tadi risih sama Rio yang jadi lama karena mengikuti perjalanannya yang bersepeda.
"Terserah aku dong, besok kan kita engga sekolah lagi. Kalau aku kangen gimana?"
Jawab Rio dengan cepat ditambah senyuman jahil.
"Kan aku kerja di rumah kamu jadi kamu itu masih ketemu sama aku. Aku jadi bersyukur deh kerja di rumah kamu. Jadinya aku tetap memiliki teman"
Ungkap Ira dengan jujur."Tapi aku kayaknya akan kuliah"
Kata Rio dengan muka lesu."Eh Ri, kayaknya aku duluan deh. Pasti Ibu aku udah nungguin. Bayeee Ri sampai jumpa nanti sore"
Jawab Ira dan langsung menggayuh sepeda meninggalkan Rio.
"Kebiasaan banget deh teman satu ini, main cabut aja"
Omel Rio dengan keadaan tetap diam di tempat, sedagkan Ira sudah jauh pergi sama sepedanya.
"Bangun pak.. Tolong"
Ira sangat mengenali suara yang menjerit meminta tolong itu. Iya tidak salah lagi, itu suara sang Ibu.
Ira langsung berlari memasuki rumah. Terlihat Ibu sedang menangis sambil memeluk Bapaknya yang sudah terbaring lemah tidak berdaya, tanpa satu orang pun warga ke rumahnya.
Hati Ira hancur melihat semuanya, walaupun ia tahu tetangga sebelah rumahnya memang orang yang cuek. Andai Ibu Ira bisa melihat, dia pasti sudah berusaha pergi mencari pertolongan. Namun saat itu Ibu Ira tidak tahu apa yang harus ia lakukan kecuali menangis dan berteriak meminta tolong.
"Bapak kenapa bu?"
Tanya Ira dengan mata sudah dibendung tangisan menyakitkan."Tidak tahu, tadi ada suara jatuh. Ibu rabah ternyata Bapak"
Jelas Ibu dengan wajah telah terpenuhi air mata."Nak"
Panggil Bapak Ira dengan suara terlihat serak."Bapak kenapa, kita pergi berobat ya pak. Ira akan antar Bapak"
Ira langsung berusaha menuntun sang Bapak untuk mengubah posisi agar ia bisa membawa pergi berobat."Jangan nak, tidak usah"
Tolak sang Bapak dengan menggenggam tangan Ira"Beri senyuman pada Ibu, kamu pasti bisa"
Ucap sang Bapak dengan hembusan nafas terakhir."Bapaaaaakkkkkkkkk"
Semua seakan hancur. Semua harapan Ira lenyap. Satu-satunya orang yang membantu ia mencari kebutuhan hidup, orang yang selalu menyemangati untuk kuat demi Ibu, sekarang telah pergi.Ira hanya mampu memeluk sang Ibu, ia hanya memiliki Ibu sekarang. Ia tidak tahu apakah dia bisa tanpa seorang Bapak atau tidak. Sekarang pikiran Ira kosong dalam lamunan.
"Ra"
Panggil Rio pelan dan mendekati Ira yang masih setia duduk di sebelah nisan sang Bapak.Tidak ada sahutan sedikitpun dari Ira. Ira tetap termenung dengan bendungan air mata yang telah membuat matanya menjadi sembap. Rio merasakan apa yang Ira hadapi saat ini, perlahan Rio meneteskan air mata dan mengusapkan tangannya ke puncak kepala Ira.
"Kamu jangan siksa diri kamu begini Ra, coba kamu lihat tu Ibu kamu, dia benar-benar terpukul. Kamu tahu kan apa yang Ibu rasakan? Dia tidak bisa melihat Bapak untuk terakhir kalinya Ra. Jadi kamu harus kuat untuk menguatkan Ibu kamu"
Rio berusaha menenangkan Ira dan menyuruh Ira pandangi kesedihan Ibunya.
Dengan cepat Ira mengangkat kepalanya dan mengarahkan pandangan ke sang Ibu. Secepatnya ia melangkahkan kaki dan memeluk sang Ibu yang orang satu-satunya Ira miliki saat ini.
Hisak tangis kembali menderu. Rio menatap Alina yang ada di samping Ira dan Ibunya, seakan Rio memberi isyarat pada Alina untuk menenangkan keduanya dan mengajak mereka pulang, karena di sana hanya tersisa mereka berempat.
"Bu jangan nangis terus"
Ira memeluk sang Ibu yang berada di kamar milik Ibunya."Ira juga akan menangis lagi kalau Ibu masih menangis"
Ira perlahan menetaskan kembali air matanya. Ia benar-benar belum siap kehilangan sang Bapak dan ia belum siap untuk melihat Ibu terus merasakan kesedihan yang Ira sangat tahu bagaimana rasanya.
Tidak ada jawaban sama sekali dari sang Ibu. Ira cukup bingung harus bagaimana, ia takut Ibu akan sakit jika terus menangis. Perlahan Ira melepaskan pelukannya pada sang Ibu, ia berusaha menjauh.
"Bagaimana hidup kita nak?"
Suara Ibu seketika keluar saat Ira sudah melangkahkan kaki untuk keluar.Ira kembali mendekat dan menggenggam tangan sang Ibu yang terasa dingin.
"Tugas kita mendoakan bapak. Masalah hidup kita, Ira sudah selesai sekolah, Ira mampu untuk terus bekerja"
Jawab Ira dengan meyakinkan Ibunya."Ibu benar-benar tidak berguna. Bahkan Ibu tidak bisa melihat Bapak dan melihat kesedihan kamu"
Sesak, iya itulah rasa yang Ira terima saat sang Ibu menyalahkan diri sendiri karena kekurangan yang dimilikinya. Ira tahu Ibu sudah terlalu banyak merasakan sakit dari kata-kata orang yang menghinanya, karena itu ia selalu menyalahkan dirinya.
"Ibu istirahat ya. Kalau Ibu sayang Ira Ibu engga akan membuat Ira merasakan kesedihan. Ira pamit ke kamar sebentar"
Ira tidak sanggup lagi harus berlama-lama mendengarkan kesedihan Ibunya dan mendengarkan sang Ibu terus merasa bersalah.
"Aku bingung Lin"
Ungkap Rio dengan suara pelan pada Alina yang ada di sebelahnya."Bentar Ri, aku ambil minum sebentar lalu aku kembali ke sini lagi"
Jawab Alina dengan meninggalkan Rio yang tengah duduk di teras rumahnya karena tadi Rio mengantar Alina pulang dari rumah Ira.
"Kamu minum dulu, karena kamu juga terlihat pucat karena tadi banyak membantu di rumah Ira"
Alina menyodorkan teh hangat ke arah Rio, ia pun duduk di kursi yang ada di sebelah Rio.
"Kamu tadi mau bilang apa?"
Tanya Alina dengan wajah menghadap ke Rio."Aku bingung bagaimana caranya agar Ira tidak terus-terusan menangis. Aku engga tahu Lin melihat kesedihan Ira hatiku juga merasakan"
Jelas Rio dengan muka serius."Hmmm, aku tahu Ri. Tapi aku yakin kalau Ira pasti akan kembali bersemangat"
Jawab Alina dengan santai"Kok kamu bisa bilang gitu Lin?"
Tanya Rio dengan penasaran ke Alina"Ri, kita berteman sama Ira udah lama. Apalagi kamu yang sudah dari kecil, kita tahu sendiri keadaannya sehari-hari gimana. Pasti Ira akan bangkit demi Ibunya"
Jelas Alina dengan pasti"Semoga aja ya Lin. Aku benar-benar kasihan sama Ira"
Jawab Rio dengan nada pasrah pada jawaban Alina dan dibalas anggukan oleh Alina. Karena Alina tidak ingin memperpanjang pembicaraan tentang Ira lagi."Bapak... Ira merasa tidak akan senggup melewati hari-hari selanjutnya tanpa bapak"
Ucap Ira dengan memandang jalanan yang terlihat dari jendela kamar miliknya."Apalagi melihat keadaan Ibu seperti sekarang"
Ira masih berbicara sendiri dengan iringan air mata yang perlahan jatuh.Sedih, sesak, sakit semua menyatu menjadi satu rasa dalam perasaan Ira saat ini. Namun ia memutar kepalanya mendekati tulisan dalam kertas yang tertempel di dinding kamarnya.
"Mimpi dan Ibu"
Ucap Ira sepontan dan dengan tangan mengusap air mata yang ada di pipinya.Ira merasa bahwa ini adalah awal yang sesungguhnya. Ia akan berjuang menjadi tulang punggung sesungguhnya dan bekerja keras menggapai mimpi demi Ibu.
Ira meyakinkan dirinya, sesaat ia hadirkan senyuman tipis arti sebuah semangat yag luar biasa harus ia tanamkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Untuk Ibu(Tamat)
General FictionTidak peduli seberapa tinggi mimpi yang Qoirah miliki. Yang terpenting baginya adalah apa yang ia lihat dalam mimpi malamnya akan ia dapatkan secara nyata demi sang Ibu. Event_35hari_thebwwhydraksi