Selamat membaca^^ jangan lupa vote dan komennya yahhh💗
***
¥¥¥Baru saja Zelia diantar oleh papanya langsung ke sekolah, karena papa dan mamanya melarang Zelia untuk berangkat bersama Artala.
Awalnya cowok itu bingung saat Zelia tiba-tiba mengatakan untuk tidak menjemputnya, tetapi akhirnya Artala mengerti maksud gadis itu. Mungkin Zelia memang menutupinya dari Artala, tapi Artala jelas tahu semua yang terjadi di rumah Zelia.
Zelia memelankan langkahnya saat melihat Adeline yang berjalan ke arah pos penjaga sekolah untuk mengambil sebuah kantong kresek kecil dari satpam. Ia menyadari arah asal Adeline yang sedikit berlari seperti baru saja dari arah kelas.
"Adel!" panggil Zelia lalu mendekat pada gadis itu.
Adeline menoleh saat baru saja ingin kembali. "Eh!" Adeline segera menyembunyikan benda itu di belakangnya takut Zelia bertanya.
"Lo tadinya dari kelas?" tanya Zelia.
Adeline mengangguk. "Iya, ini mau balik lagi."
"Tumben lo pagi banget?" kekehnya.
"Oh, itu tadi... bangunnya cepet! Nah! Bangunnya cepet, makanya buru ke sekolah, deh." Adeline gelagapan sendiri jadinya.
Zelia hanya mengangguk lalu melanjutkan langkahnya bersama Adeline.
***
Jevan merangkul gadis itu dari belakang, bisa dilihat wajah gadis itu yang kesal saat rambutnya terjepit oleh tangan Jevan, dan ia pun langsung menyikut sepupunya itu.
"Lo ngerangkul aja pake otot, anjir!" sela Zelia membuat Jevan menyengir tanpa dosa.
"Lia, tadi lo berangkat sama siapa?" tanya Jevan.
"Dianterin papa," balasnya.
Jevan mengangguk-angguk saja awalnya, lalu selang beberapa saat ia malah mengernyit bingung. "Papa? Lo punya papa baru?"
"Baru apanya, Jev? Papa gue cuma satu."
"Lho?"
"Kenapa?" Zelia ikut mengernyit.
"Serius, Lia. Terus selama ini papa lo ke mana? Bukannya papa lo udah nggak ada?" tanya Jevan lagi dengan mudah.
"Hah? Siapa yang bilang papa udah nggak ada?" balas Zelia menepuk punggung belakang Jevan yang masih merangkulnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔︎ TEMARAM | END
FanfictionJika masa kecilnya itu rusak, maka dewasanya hancur. Nyatanya kekerasan tidak diberi padanya untuk dilupa. Kesedihan juga tak datang padanya untuk digambarkan. Hanya Artala, yang memendam luka terdalam semasa hidupnya. "Sudah temaram."